Prolog : Awal Yang Tersembunyi
Tahun 2050, dua dekade setelah perang nuklir global
Di tengah reruntuhan peradaban yang dibangun ulang dengan teknologi, Radiantech berdiri sebagai dewa baru. Di salah satu cabang bawah tanahnya, sebuah pertemuan akan mengubah arah dunia.
***
Langkah kaki Kiba bergema di sepanjang koridor logam yang panjang dan dingin. Tangannya menggenggam erat map bening berisi berkas-berkas simulasi. Setiap halaman di dalamnya mewakili tahun-tahun kerja, pengkhianatan terhadap etika, dan satu janji: keabadian. Tapi kini, yang menguasainya hanya satu hal—gugup.
Tanpa sengaja, Kiba tersandung ujung sepatu boot-nya sendiri. Map itu terlepas dari genggaman, dan lembaran-lembaran kertas berhamburan di lantai.
“Bodoh…” desisnya pelan. Ia buru-buru memunguti kertas-kertas itu, sesekali melirik ke kamera kecil di langit-langit. Mereka pasti sedang menonton.
Pintu baja di ujung koridor terbuka otomatis, memperlihatkan ruangan luas yang remang dan steril. Di dalamnya, duduk seorang wanita tua. Rambutnya keperakan, kulitnya penuh keriput—dan tak sehelai pun riasan berusaha menyembunyikan usia. Ia mengenakan mantel putih panjang seperti ilmuwan lainnya, tapi auranya tak bisa disamakan. Ia memerintah, bahkan dalam diam.
“Maaf atas keterlambatan saya, Nyonya Maesa,” ucap Kiba sambil menunduk. Suaranya serak, ditekan oleh ketegangan.
Maesa menyipitkan mata. Sebuah senyum kecil mengembang di wajahnya—senyum seorang predator yang baru mencium bau darah.
“Waktu adalah ilusi, Kiba,” katanya tenang. “Tapi tetap saja, kita membencinya saat terbuang.”
Kiba mengangguk cepat dan menyodorkan laporan. “Simulasi Yottanet fase lima telah berhasil. Model persepsi emosi pada antarmuka android kini stabil. Kami siap masuk tahap produksi massal.”