Chapter 1 : Pixel Senja
"Senja selalu indah, bahkan jika hanya terbuat dari pixel."
Langit di Atas Kursi Roda
Roda kursi itu berderit pelan di atas lantai marmer rumah sakit yang terlalu bersih. Suaranya mirip sandal jepit—menenangkan di siang hari, tapi berubah jadi horor kelas menengah saat terdengar tengah malam.
Seorang anak perempuan, sekitar sembilan tahun, duduk diam di atas kursi itu. Wajahnya pucat, matanya kosong, namun menyimpan kilatan rasa ingin tahu yang ganjil. Sesekali, bola matanya bergerak cepat mengikuti bayangan lampu yang melintas di langit-langit, seolah sedang mencari sesuatu yang hanya dia tahu.
Di belakangnya, sang ayah mendorong kursi itu perlahan. Padahal, kursi roda itu sudah dilengkapi fitur autopilot: bisa belok sendiri, bahkan cukup diberi kode batuk dua kali. Tapi entah mengapa, ia memilih mode manual—seperti sedang menikmati drama dorong-mendorong yang hanya bisa dipahami oleh orang tua dengan kepala penuh beban. Mungkin itu semacam terapi. Atau mungkin... ah, sudahlah.
Jas panjang kelabu membungkus tubuhnya. Saku-saku jas itu seakan bisa menampung satu toko elektronik mini: kabel kusut, bolpen digital, karet gelang misterius—semuanya ada. Jemarinya menggenggam pegangan kursi dengan erat. Terlalu erat. Seolah jika ia melepas, semuanya akan runtuh.
Mereka menyusuri lorong panjang yang senyap. Hanya suara mesin pemindai dan kedipan lampu LED yang menemani. Beberapa petugas medis menyapa dengan senyum, tapi sang ayah hanya membalas dengan anggukan dingin—cukup untuk sopan, tapi tidak lebih.
Hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu bertanda:
Ruang Rawat Khusus 7A.
Pintu terbuka otomatis. Di dalamnya, kamar putih bersih itu terlihat seperti kapsul masa depan. Dinding kaca bisa berubah tampilan sesuai suasana, dan di tengah langit-langit, sebuah proyektor menampilkan langit malam buatan—penuh bintang warna-warni yang tak mungkin ada di langit nyata.
Sang anak hanya menatap ke atas, tepat saat kursi rodanya berhenti di sisi tempat tidur.
Tak ada keluhan. Tak ada pertanyaan.
Langit buatan yang indah itu malah mengingatkannya pada lelucon lama dari ayahnya. Yang satu itu selalu berhasil membuatnya tertawa—dulu.
“Apa yang dikatakan bintang waktu jatuh cinta sama planet?”
“Wah, kamu gravitasi bingiiiit!”
Ia tersenyum tipis.
Tanpa suara. Tanpa tawa.
***
Di Ruang Konsultasi Dokter
Dokter Riva—wanita paruh baya dengan rambut hitam panjang dan sorot mata tajam—menutup pintu ruang konsultasi pelan-pelan. Ia menghela napas panjang, lalu menumpukan tangan di atas meja, seolah sedang menimbang kata-kata yang akan diucapkan.
“Adin... kami mendeteksi ketidakstabilan serius pada sistem neuron Rania. Pola sinaptiknya menunjukkan kegagalan integrasi antara sinyal listrik otak dan jaringan kognitif. Ini seperti... kematangan jantungnya sudah mencapai batas.”
Adin—masih mengenakan jas lab lusuh yang seolah belum pernah ditanggalkannya—menyipitkan mata. “Ini... ini aneh, Riva,” ucapnya lirih. “Sangat aneh.”
Riva menatapnya lekat-lekat. “Apakah ini... sesuatu yang pernah Anda prediksi sebelumnya?”
“Tidak sepenuhnya,” jawab Adin setelah jeda. “Tapi... mungkin sudah waktunya kita lakukan eksekusi.”
Riva tak bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengangguk pelan, dan dalam tatapannya, tersirat beban yang tak dapat dibagi.
***
Kembali ke Kamar 7A
Rania kini terbaring diam di ranjang. Matanya menatap langit-langit digital yang perlahan berganti—dari malam berbintang menuju aurora yang menari lembut. Tak ada ketakutan dalam sorot matanya. Hanya keheningan... dan seberkas rasa asing yang bahkan belum bisa ia pahami.
Ketukan pelan terdengar di pintu kaca. Pintu kamar 7A bergeser otomatis, dan Dokter Riva melangkah masuk. Di tangannya, tablet digital. Di wajahnya, ketenangan yang dipaksakan. Namun sorot matanya memancarkan tanda tanya.
Rania, kini bersandar di ranjang, menoleh pelan. Rambutnya jatuh lembut di bahu. Wajahnya pucat, tapi matanya... terlalu dalam untuk seorang anak seusianya.
“Halo, Rania,” sapa Riva mendekat.
Anak itu tersenyum tipis. “Aku lebih suka dipanggil Aira.”
Riva mengangkat alis. “Aira?”
“Iya. A-I-R-A. Seperti gabungan antara air dan udara. Ringan... tapi punya arti. Puitis, kan?”
Riva tersenyum samar sambil mulai memeriksa detak jantung dan respons pupilnya.
“Dokter tahu apa yang terjadi kalau air dan udara menyatu?” tanya Aira, mengajak bercakap.
Riva berpikir sejenak. “Embun?”
“Bukan! Jadi minuman bersoda dong... ehehe.”
Riva tertawa kecil, lalu melanjutkan pemeriksaan. Tapi senyumnya segera memudar ketika Aira berkata pelan:
“Aku tahu... umurku tidak lama lagi.”
Waktu seperti berhenti. Tawa yang baru saja hadir seolah menguap, digantikan keheningan yang menekan. Aira menatap langit-langit di atasnya—dan di balik tatapan itu, ada kedalaman yang tak wajar untuk anak seusianya.
Riva berhenti sejenak. “Kenapa kamu bilang begitu?”
“Aku bisa merasakannya,” bisik Aira. “Ada sesuatu di dalam kepalaku... seperti ledakan kecil, berkali-kali. Rasanya seperti... petir dalam diam.”