Chapter 2 : Sebelum Hening
"Beberapa cinta diciptakan bukan untuk bertahan,
tapi untuk menjadi jantung baru bagi sesuatu yang belum pernah hidup."
Makna dan Teknologi
Ruangan itu dingin.
Lampu keperakan memantul di dinding baja laboratorium bawah tanah yang tersembunyi di balik fondasi RS Radiantech Neurologi Centre. Cahaya itu tak pernah padam, sama seperti keheningan yang menyelubungi para ilmuwan yang duduk melingkari meja bundar.
Empat orang. Empat wajah yang biasanya tenang, kini dibayangi keraguan yang tak bisa didefinisikan—seperti error yang tak muncul di log, namun terasa nyata di sistem.
Layar hologram di hadapan mereka memancarkan bayangan biru ke wajah masing-masing. Grafik neuron Rania mengambang di udara, menyerupai langit digital yang penuh gugusan sinaps berdenyut.
Dr. Keenan menyipitkan mata. “Ini... ngaco,” gumamnya. “Prediksi awal kita: shutdown sistem neuron artifisial baru akan terjadi saat usia 16 hingga 18. Tapi lihat ini. Dua minggu lalu sudah masuk zona merah. Padahal umur Rania bahkan belum masuk fase pubertas.”
“Lebih parah dari itu,” sela Dr. Mira, menyilangkan tangan dengan ekspresi gelisah. “Bahasa yang dia gunakan? Pola pikirnya? Anak itu bicara soal eksistensi seperti alumni filsafat yang kelelahan bayar cicilan hidup.”
Dr. Livia mengangguk pelan. “Aku baca transkrip interaksinya dengan Selia. Dia bilang—kutipan langsung—‘kenapa aku merasakan hal yang tidak bisa dijelaskan tubuhku’. Itu bukan sekadar rasa penasaran. Itu... intuisi. Dia tahu. Dalam dirinya, ada sesuatu yang tidak benar.”
Di sisi meja, Tuan Adin berdiri diam, seperti patung perak yang dipahat dari rasa bersalah. Matanya terpaku pada hologram: Rania tertidur di kamar perawatan, napasnya tenang, tubuhnya tampak kecil di tengah segala sistem yang mengelilingi.
Keenan memecah keheningan. Suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau bedah.
“Adin. Kamu melakukan sesuatu yang tidak kamu laporkan ke kami?”
Adin menatap balik. Tatapan keras itu menyimpan lebih banyak lelah daripada amarah. Ia tak menjawab.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, diiringi dengungan lembut dari mesin pendingin di sudut—seolah mencoba mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang menggantung.
Livia maju dan menyentuh panel kecil di lengan android perawat, Selia. Cahaya biru redup menyala.
“Selia mencatat semua interaksi dan pemeriksaan rutin harian. Tapi bahkan sistem ini tidak bisa mendeteksi perubahan kesadaran yang... terjadi diam-diam. Ini bukan bug. Ini semacam... kesadaran bawah sadar.”
Akhirnya, Adin membuka suara. Pelan. Patah-patah.
“Rania ditanam chip biometrik generasi ketiga. Setiap fluktuasi psikis dan fisik tercatat otomatis. Aku tidak menyembunyikan apapun.”
Keenan mendekat. Wajahnya kini hanya sejengkal dari Adin.
“Kalau begitu, kau pasti sudah tahu data ini: reaksi emosional yang terlalu kompleks, pola linguistik non-linear. Ini bukan hasil sistem default. Ini... modifikasi. Kau membiarkannya membayangkan. Kau beri ruang untuk sesuatu yang kita larang dalam eksperimen: imajinasi.”
Ia menghela napas pendek, setengah sinis.
“Kau tahu, imajinasi itu seperti malware, kan, Adin?”
Adin tak mengelak. Tak membantah. Ia menatap Keenan dengan luka yang tak bisa dihapus oleh logika.
“Aku tidak melakukan apapun di luar yang kita sepakati,” ujarnya lirih. “Aku hanya... memperlakukannya seperti anakku sendiri.”
Suara itu nyaris pecah. Tapi tetap keluar.
Dan kata-kata itu jatuh seperti diagnosis yang datang terlambat: menyakitkan, dan tak bisa dibatalkan.
Mira menggeleng, mendesis pelan. “Masalahnya, Adin... kalau yang kau tanam itu ‘jiwa’, maka akan ada kehendak. Dan kehendak, sehebat apapun kau rekayasa, akan mulai bertanya: kenapa aku ada di sini?”
Livia menambahkan, dengan suara yang lembut namun berat, “Dan jika ia tumbuh terlalu cepat... mungkin dia sudah tahu. Bahwa waktunya... tidak lama lagi.”
Keempatnya terdiam.
Semua pandangan kini mengarah ke hologram: Rania, dalam tidur yang sunyi, dikelilingi cahaya buatan.
Di tengah kesunyian itu, hanya suara server yang masih berdetak—monoton, mekanis. Seperti napas sistem yang diam-diam menanti keputusan.
***
Sentuhan Pertama
Langit buatan menggantung lembut di atas kamar, warnanya jingga senja elektronik yang bergerak pelan, menyebar di langit-langit seperti lukisan hidup yang tak pernah selesai—cantik, tenang, dan terlalu sempurna untuk dianggap nyata.
Suara mesin-mesin medis berdetak dengan irama lembut, menyerupai napas yang tersembunyi di antara keheningan.
Rania memerhatikan android itu dari tempat tidurnya. Selia sedang memeriksa alat monitor, mengatur suhu kasur, dan memindai kondisi tubuhnya. Gerakannya presisi, cepat, dan sunyi. Tidak ada gerakan yang sia-sia.
“Selia…” panggil Rania pelan.
Selia menoleh. “Ya, Aira?”
“Sudah selesai semua?”
“Ya. Semua sistem pendukung telah disesuaikan. Apakah ada yang terasa tidak nyaman?”
Nada suaranya tetap tenang dan profesional, seolah tidak ada hal di dunia ini yang mampu mengganggu keseimbangannya — atau membuatnya gugup. Rania kadang iri.
Rania menggeleng perlahan. Tubuhnya tampak lebih lelah dari hari sebelumnya. “Tidak. Aku cuma ingin ngobrol.”
Selia diam sejenak, lalu duduk di kursi di sebelah tempat tidur. “Baik. Topik apa yang ingin kamu bicarakan, Aira?”
Rania menggenggam ujung selimutnya, menggulungnya perlahan seperti kebiasaan anak kecil yang belum mau tidur.
“Boleh kita ngobrol sambil kusentuh tanganmu?”
Selia memproses permintaan itu dalam beberapa milidetik. “Izin diberikan.”
Rania mengulurkan tangan. Ujung jarinya menyentuh punggung tangan Selia. Kulit sintetis itu terasa asing, namun anehnya... tidak menolak. Saat kuku Rania menyentuh permukaannya, ada percik halus—seperti loncatan mikro listrik—nyaris tak terlihat.
Selia tetap diam. Matanya yang berbentuk LED berkedip cepat, lalu kembali normal. Sistemnya menganalisis setiap detail sentuhan itu.
“Maaf, ya,” ucap Rania pelan. “Tangan aku kadang suka... aneh sendiri.”
“Tidak terdeteksi kerusakan sistem. Hanya anomali statis,” jawab Selia dengan nada mekanikal, tetapi kali ini ada jeda tipis, seolah sedang... berpikir?
Rania tersenyum kecil. “Tapi kamu nggak mundur.”
Ia menatap mata android itu. “Bagus, Selia. Kamu ingat panggil aku Aira. Beda banget sama Dr. Riva... dia tetap manggil aku Rania, kayak dia gak peduli apa yang aku pilih.”
[
RESPON SISTEM AI:
Delay interpretasi emosi manusia: 0.4 detik.
Opsi: validasi identitas emosional.
]