Chapter 3 : Titik Balik
"Tak semua yang pergi lenyap—
sebagian tinggal dalam arus, menunggu untuk dikenang."
Makna dan Teknologi
Ruang Operasi – Dua Jam Pasca Operasi
Lampu-lampu LED memantul dingin di permukaan logam steril. Suasana lebih menyerupai kulkas raksasa ketimbang tempat kelahiran harapan baru. Hening. Hanya suara monoton mesin pemantau yang berdetak seirama, acuh pada siapa yang hidup atau mati.
Di atas meja operasi, tubuh android Selia—kode: S7-L1A—terbaring kaku. Tak ada gerakan. Tak ada kedipan. Tak satu pun isyarat yang memberi harapan.
Waktu menunjukkan dua jam tujuh menit.
Para ilmuwan berdiri mengelilinginya. Wajah-wajah mereka memucat—bukan karena cahaya, tapi kegelisahan yang tak bisa dicatat oleh grafik mana pun.
Keenan melirik layar, mengembuskan napas lewat hidung.
“Sudah lewat dua jam. Seharusnya sistem otonom menunjukkan respons spontan. Mikroekspresi, reaksi pupil, kedutan otot. Apa saja. Tapi ini... nihil. Seperti chat yang cuma dibaca, nggak dibalas.”
Mira menunduk menatap tablet di tangannya. Jarinya gemetar—bukan karena takut, tapi kelelahan yang belum sempat diseduh dengan kopi.
“Aku curiga BIOS di jantung barunya belum sinkron dengan otak buatan Selia. Ada kemungkinan mismatch frekuensi antara chip limbik dan pusat kendali.”
Livia mengangkat kepala. Wajahnya tegang.
“Itu nggak masuk akal. Kita udah sinkronisasi semua—frekuensi, impuls, sinyal basal. Kita bahkan duplikasi sistem lamanya sebelum implantasi. Semuanya harusnya match. Bukan ghosting begini.”
Mira menarik napas panjang.
“Tapi ini bukan sistem digital biasa, Liv. Ini jantung manusia. Variabel emosionalnya... nggak bisa distandarkan. Apalagi dimasukkan ke spreadsheet.”
Keenan bergumam, nyaris seperti filsuf.
“Atau justru karena itu. Mungkin sistemnya belum mengenali sinyal emosi Rania sebagai instruksi aktivasi. Jantung ini... membawa lebih dari sekadar darah. Ada energi. Ada... maksud.”
Livia menyipitkan mata. Setengah berpikir, setengah ingin mengusulkan sesi curhat.
“Mungkin justru sisi manusianya yang memperlambat proses. Bukan kendala teknis, tapi kendala makna. Kita bicara tentang sesuatu yang belum punya definisi dalam ilmu mana pun.”
Sunyi.
Livia melanjutkan, lebih pelan.
“Kalau kita paksa aktivasi manual, kita bisa merusak struktur memori transisi. Kesadarannya belum tentu tersusun sempurna. Kita bisa kehilangan sesuatu... yang bahkan belum kita pahami.”
Mira menoleh cepat. Suaranya tajam.
“Jadi kita tunggu sampai kapan? Tiga jam? Enam? Bisa stagnan selamanya tanpa trigger.”
Livia menggeleng.
“Tapi kalau trigger-nya salah, kita bisa kehilangan satu-satunya peluang menyaksikan... bukan sekadar hidup buatan, tapi lahirnya kesadaran. Mungkin... kesadaran alami.”
Diam.
Adin, sejak tadi berdiri membisu di dekat panel kontrol, akhirnya bicara. Suaranya dalam dan serak, seperti diperas dari dasar napas yang hampir habis.
“Biarkan aku berjaga.”
Ia menoleh pada rekan-rekannya.
“Kalau ini memang kesadaran... dia harus bangun dengan caranya sendiri. Kalian istirahat dulu.”
Para ilmuwan saling berpandangan. Tak ada protes. Tak ada argumen. Keenan mengangguk pelan. Mira dan Livia menyusul, langkah mereka berat saat meninggalkan ruang kemungkinan yang belum selesai.
Adin duduk di kursi kontrol. Layar-layar holografis menyala di depannya, menampilkan fragmen hidup Rania: tertawa saat kecil, menangis saat jatuh, tersenyum dalam pelukan.
Kenangan itu mengalir senyap, seperti memutar ulang seseorang yang sedang mengenang dirinya sendiri.
Adin bersandar. Kepalanya tertunduk. Mata lelahnya akhirnya tertutup.
Di ruangan lain, tubuh Rania dibungkus kain putih. Diam. Disiapkan untuk pemakaman.
Dan di ruang operasi—terjadi sesuatu.
Halus.
Nyaris tak terlihat.
Alis Selia berkerut. Rahangnya bergerak. Bukan glitch. Bukan bug.
Tak ada suara. Tapi ada getaran.
Seperti napas pertama dari paru-paru yang tak tahu cara bernapas.
Wajahnya berubah.
Ada sesuatu di sana—bukan ditanamkan, bukan diprogram.
Ekspresi.
Kesedihan.
Dan di dalam tubuh buatan itu…
Sesuatu mulai tumbuh.
Bukan sekadar sistem.
Bukan sekadar instruksi.
Tapi… mimpi.
Kilas balik dari masa yang tak pernah ia alami—tapi ia rasa.
Terbentuk dari serpihan emosi yang tertinggal di jantung manusia.
***
(Flash Back - 3 Bulan Sebelumnya)
Subruang Stabilisasi, Lab Neuro-Intelisensia
Kapsul isolasi transparan berdiri sunyi di tengah ruangan. Cahaya biru pucat memendar lembut, seperti mimpi yang belum selesai dituliskan. Di dalamnya, Rania terbaring diam. Tubuh mungilnya nyaris tak bergerak.
Di kepalanya, helm saraf terpasang—dari dalamnya menjuntai kabel-kabel halus, menjalar seperti akar ke pelipis dan ruas tulang belakang. Seolah mencoba berbicara dengan tubuh itu dalam bahasa listrik dan gelombang otak.
Dari balik dinding kaca anti-radiasi, tiga ilmuwan berdiri mengamati panel kendali: Adin, Keenan, dan Livia. Cahaya holografik dari layar memantul di wajah mereka—menyoroti ekspresi yang memadukan kelelahan, kecemasan, dan kafein pekat yang belum sempat dituliskan dalam log harian.
Layar utama menampilkan grafik aktivitas neuron Rania—sebuah badai merah menyala yang berdenyut tak beraturan.
Keenan (berusaha tenang, tapi suaranya sedikit nyaring):
"Neural noise bertahan di 2,1% selama dua hari. Masih di zona rawan, tapi belum lampu merah. Lampu oranye... berkedip cepat."
Adin (singkat, tegas):
"Protokol menyarankan stabilisasi sebelum ambang 2,5%. Kita jalankan sekarang. Metode standar: sinkronisasi dengan Yottanet, ditambah stimulus penenang ringan."
Livia (menyentuh panel, teliti):