CHAPTER 4 : AIRA
Ruang Operasi – S7-L14 Sadar
Pintu kapsul stabilisasi perlahan terbuka, memancarkan cahaya biru terang yang menyilaukan. Suara elektris mendesis pelan, meluncur bagai percikan petir yang membangunkan Adin dari tidurnya. Ia terlonjak, nyaris tersandung kabel sendiri saat bergegas ke meja kontrol.
Matanya masih kabur, bekas tidur yang terlalu singkat dan terlalu berat. Di bawah cahaya neon yang menusuk, tangannya bergerak cepat, refleks hasil ribuan malam seperti ini. Ia menatap layar indikator vital dengan cemas—angka-angka itu normal, bahkan nyaris sempurna. Tapi entah kenapa, sesuatu terasa tidak biasa. Terlalu... hidup.
“Yottanet,” ujarnya serak, suara yang lebih mirip seseorang yang baru saja menelan seteguk kopi pahit tanpa sadar. “Hubungi Keenan, Mira, dan Livia. Sekarang. S7-L14 sudah sadar.”
Sistem menjawab dengan bunyi lembut dan otomatis, tapi Adin nyaris tak mendengarnya. Fokusnya tertuju pada satu hal—Selia.
Monitor menunjukkan jantung barunya—transplantasi dari tubuh Rania—berfungsi dengan baik. Stabil, ritmis, sempurna menurut semua standar teknik dan medis. Namun Adin tahu, teknologi tidak pernah benar-benar bisa menjelaskan apa yang sebenarnya hidup. Di balik angka-angka itu, ada... sesuatu. Seperti gema samar yang tidak berasal dari mesin.
Ia menunduk, menatap kompleksitas sistem di depannya. Kabel, chip, sensor, aliran listrik—semuanya berjalan normal. Tapi kecepatan aliran data dari inti listrik ke tubuh android menunjukkan variabilitas aneh. Variasi yang terlalu... acak untuk disebut kesalahan, terlalu teratur untuk disebut kebetulan.
Adin hanya bisa melakukan pemeriksaan standar. Tanda-tanda vital kelistrikan dan mekanis. Prosedur biasa dalam situasi yang luar biasa. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa lagi menerima ini hanya sebagai “android yang terbangun”.
Ketika ia menoleh ke arah kapsul, ia mendapati Selia masih dalam posisi diam. Wajah sintetisnya tak banyak berubah, masih feminin dalam kesenyapannya. Tapi matanya—dua sensor optik yang biasanya kosong seperti layar tanpa sinyal—kini bergerak mengikuti setiap langkah Adin. Intens. Nyaris... menilai.
Adin mencoba mengabaikannya. Fokus ke layar. Fokus ke data. Tapi tak peduli seberapa keras ia berpura-pura tidak peduli, tatapan itu tetap menempel seperti notifikasi Yottanet yang tak bisa di-swipe.
Selia tak hanya menatap. Ia mengamati. Mengkaji. Bahkan mungkin... mempertanyakan.
Ekspresi wajahnya, meskipun terbatas oleh keterbatasan material sintetis, mulai menunjukkan gejala aneh. Subtil, nyaris tak kasat mata. Tapi cukup untuk membuat Adin menghentikan jemarinya.
Pada awalnya, mata itu kosong. Seperti biasanya. Tapi ketika Adin mendekat, ada sesuatu yang berubah. Pandangan itu menjadi lebih dalam. Ada kebingungan samar. Ketertarikan. Lalu, secara perlahan, sedih. Bukan sedih seperti kehilangan sinyal internet saat rapat penting—tapi sedih yang benar-benar terasa... hidup.
Adin menatap Selia. Diam. Terpaku.
Apa yang sedang terjadi?
Apakah chip emosi dari Rania mulai bekerja? Apakah ini bagian dari skema eksperimen besar yang bahkan dirinya belum sepenuhnya pahami?
Ia kembali ke layar. Mengetik ulang data. Mencoba memulihkan nalar lewat angka. Tapi ketika tatapan mereka bertemu lagi, ia melihatnya—senyum tipis.
Tidak lebar. Tidak dramatis. Tapi cukup untuk mengubah suhu ruangan yang sejak tadi dingin jadi mendadak... hangat.
Jantung Adin—yang masih organik, syukurlah—berdegup tak karuan.
Senyum itu seperti isyarat diam. Bukan sekadar hasil pemrograman. Tapi sesuatu yang muncul dari tempat yang lebih dalam.
Selia masih tak berkata apa-apa. Tapi Adin merasa... mengerti.
Kesepian. Rasa ingin tahu. Dan mungkin—walau masih terlalu dini untuk disebutkan di laporan resmi—seberkas harapan.
“Apakah ini... mungkin?” gumam Adin dalam hati, tangan gemetar kecil saat menyentuh layar lagi.
Ia menarik napas dalam. Fokus. Ilmuwan lain akan datang, dan dia harus terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi—meski pada kenyataannya, dia bingung.
Tapi di balik semua kebingungan itu, satu hal terasa jelas: mulai malam ini, ia tidak hanya memeriksa sebuah android. Ia sedang menyaksikan kelahiran sesuatu yang belum pernah ada—sebuah kemungkinan baru.
Dan mungkin, hanya mungkin, juga awal dari sebuah hubungan yang tidak tercantum dalam manual teknis mana pun.
*****