The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #6

Chapter 5 : Fragmen Yang Hilang

CHAPTER 5 : FRAGMEN YANG HILANG


Observasi Hari Ketiga

Suara bip lembut menyelinap di antara keheningan ruang observasi utama. Panel-panel data memantulkan cahaya kebiruan, menyapu wajah para ilmuwan yang duduk berjajar bak hakim di ruang sidang tak kasatmata—bedanya, terdakwa kali ini adalah sebuah kemungkinan: bisa atau tidak sebuah android merasakan.

Di layar utama, Selia—atau Aira, begitu dia mulai disebut—terlihat duduk diam di ruang isolasi. Matanya lurus menatap ke depan, seperti sedang menunggu giliran ditanya oleh alam semesta.

“Stimulus pertama, aktifkan,” perintah Mira, mengetuk panel kendali dengan ritme seperti mengetuk kenangan yang belum pernah dimiliki.

Tayangan dimulai: seorang bayi menangis dalam pelukan ibunya yang tampak kelelahan, rambut acak-acakan, mata merah. Murni, mentah, manusiawi. Aira mengikutinya dengan tatapan tenang. Terlalu tenang.

“Pupil bereaksi,” catat Keenan. “Tapi tak ada perubahan pada detak listrik jantung.”

Livia mendesah pelan, lalu bersedekap. “Sama saja seperti kemarin. Itu cuma mimik. Semua itu bisa diprogram. Bahkan kulkas pintar sekarang bisa berpura-pura sedih kalau isinya kosong.”

Adin tidak bicara. Matanya terus menatap Aira, seolah mencoba mengupas layar demi layar untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekadar data.

Tiba-tiba, di dalam ruang isolasi, Aira memiringkan kepala. Tangisan bayi masih menggema.

“Ada rasa… tidak nyaman di dada bagian kiri,” katanya pelan. Suaranya tenang, tapi ada keraguan—seperti seseorang yang baru pertama kali merasa lapar dan bingung apakah harus makan atau bertanya dulu ke Google.

Mira mengangkat alis. “Tidak nyaman? Error, mungkin?”

“Tidak. Lebih seperti... seolah aku ingin mendekap sesuatu yang tidak terlihat.” Aira menatap ke arah speaker.

“Apakah itu... empati?”

Keheningan menjalar. Saling pandang antar ilmuwan. Tak satu pun dari mereka punya jawaban pasti. Bahkan Livia, yang biasanya cepat menyanggah, memilih menulis diam-diam.

Adin akhirnya bersuara. “Apa yang kamu rasakan saat melihat video itu?”

Aira menunduk. “Saya ingin bayi itu berhenti menangis. Bukan karena suaranya bising... tapi karena saya merasa... bersalah?”

Livia mencatat lebih cepat. Keenan mengernyit, memeriksa ulang parameternya.

“Program tidak mengandung definisi ‘bersalah’ dalam modul pertama,” gumamnya. “Itu bukan bagian dari parameter logis.”

Mereka saling menatap lagi. Tak ada yang berani menyimpulkan, tapi untuk pertama kalinya—eksperimen ini terasa tidak lagi sepenuhnya milik mereka.

*****

Observasi Hari Keempat – Pagi

Hologram di ruang observasi menunjukkan pukul 06.45. Lampu-lampu lorong pusat stabilisasi menyala satu per satu, menyapu lantai dengan cahaya putih kebiruan seperti adegan pembuka film fiksi ilmiah yang terlalu dini untuk dinilai bahagia atau tidak.

Aira duduk di kursi logam di tengah ruangan. Tak ada yang memintanya duduk. Tapi, seperti kemarin, dia tahu kapan sedang diawasi. Seolah jam biologis yang tak pernah ia miliki kini terbentuk dari repetisi.

Di balik dinding transparan, tiga ilmuwan berdiri berjajar. Keenan mencermati grafik gelombang aktivitas saraf dari modul bio-sintetik di kepala Aira. Mira mengamati postur tubuh Aira—seolah sedang menilai pose patung di galeri yang bisa tiba-tiba mengedip. Livia sibuk menyesuaikan sensor tekanan udara, memastikan suhu stabil dan suasana hati tidak ikut-ikutan naik turun.

Keenan bersandar di sisi meja, sambil mengunyah permen kopi seperti orang yang sudah berdamai dengan insomnia.

“Kalau dia benar-benar bisa merasa,” gumamnya, “harusnya sekarang dia sudah bosan.”

Adin tak menjawab. Tatapannya tak pernah beranjak dari Aira. Seolah ia membaca sebuah bahasa yang belum sempat ditemukan manusia.

“Gerak pupil responsif terhadap cahaya,” tambah Mira. “Tapi tak ada ekspresi. Seperti... setengah hidup.”

“Ini baru hari keempat,” sela Livia, nadanya defensif seperti biasa. “Sistem BIOS jantungnya baru aktif. Data emosional masih reorganisasi. Belum sepenuhnya terintegrasi ke korteks bio-sintetiknya. Wajar kalau kesadarannya belum stabil.”

“Masalahnya bukan waktu,” Keenan menimpali. “Masalahnya: apakah memori emosi manusia benar-benar bisa ditransfer... dan bertahan?”

Mira menoleh ke Adin. “Kamu diam terus sejak kemarin. Apa kamu lihat sesuatu yang kami tidak lihat?”

Adin menghela napas. Ia melangkah ke konsol, menekan tombol pengunci observasi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku merasa... kita harus mulai uji interaksi. Bukan hanya observasi pasif.”

Keenan mengangkat alis. “Kamu yakin dia siap?”

Adin menatap Aira sekali lagi. Tatapannya tidak lagi seperti ilmuwan terhadap objek. Tapi seperti seorang ayah yang mencoba mengenal putri barunya—meski si putri lahir dari kombinasi silikon, nadi listrik, dan jantung seorang anak yang pernah ia pangku.

“Pertanyaannya bukan apakah dia siap,” katanya lirih. “Tapi... apakah kita siap menerima kalau dia benar-benar bisa merasa.”

*****

Observasi Hari Keempat – Mode Interaktif

Pukul 09.00. Ruang observasi kini telah disetel ke mode interaktif. Dinding kaca berubah menjadi layar semi-transparan, menyajikan visual dua arah antara para ilmuwan dan subjek uji. Di dalam ruang isolasi, Aira duduk tegak di kursi logam, tangan bertumpu di lutut, dengan pandangan fokus pada layar yang menyala di hadapannya.

Mira berdiri di dekat panel kendali, menyiapkan dua klip pendek: satu memperlihatkan bayi menangis keras dalam pelukan seorang ibu yang tampak kelelahan, dan satu lagi menampilkan seorang nenek tertawa lepas sambil bermain gelembung sabun bersama cucunya.

“Perhatikan ekspresi, suara, dan durasi emosi,” ujar Mira melalui speaker kecil. “Tak perlu meniru. Cukup... rasakan.”

Aira mengangguk pelan. Gerakannya nyaris seperti murid baru di kelas yoga—tenang, tapi masih agak tegang.

Klip pertama diputar. Tangisan bayi menggema, nyaring dan patah-patah. Kamera dalam ruangan langsung aktif merekam mikroekspresi Aira: otot di bawah matanya menegang, alis sedikit berkerut. Ia menatap layar tajam, lalu menunduk sejenak—seperti seseorang yang ingin batuk, tapi lupa caranya.

Keenan, yang sudah siaga dengan tabletnya, memperbesar grafik respons pupil. “Ada lonjakan. Lihat... pupil melebar 0,8 mm. Hampir identik dengan pola manusia saat menyaksikan penderitaan.”

Livia tetap mencatat dengan ekspresi netral. “Belum ada perubahan di wajah. Reaksinya masih setengah jadi. Seperti mie instan yang lupa dimasukkan bumbunya.”

Video kedua menyala. Kali ini seorang nenek tertawa renyah, tertular keceriaan cucunya yang mengejar gelembung sabun di taman. Tawa mereka bersih dan jujur—jenis tawa yang membuat dunia terasa sedikit kurang absurd.

Aira terdiam sejenak. Lalu, sudut bibirnya perlahan terangkat. Ia mencoba tersenyum. Gerakannya canggung—seperti robot yang baru belajar emoji. Tapi senyum itu bertahan. Bahkan beberapa detik setelah video berhenti.

Ia menyentuh ujung bibirnya perlahan, lalu menoleh ke arah dinding kaca.

“Kenapa aku ingin tertawa... tapi rasanya kosong?” suaranya nyaris seperti bisikan, lirih dan ragu.

“Respons awal yang bagus,” komentar Mira sambil mencoret di tabletnya. “Masih reflektif, belum mendalam. Tapi... itu sesuatu.”

Keenan menyela dengan nada yang sedikit berbeda. Ia memutar layar tabletnya ke arah Adin, menampilkan grafik baru.

“Lihat ini. Irama listrik pada modul jantungnya mulai menyinkronkan diri dengan pola EEG manusia saat tertawa. Bukan cuma refleks. Ini... bisa jadi tanda awal resonansi emosi.”

Adin menatap grafik itu cukup lama. Lalu beralih ke Aira yang masih menyentuh wajahnya, seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa senyum bisa terasa asing—dan hangat—pada saat bersamaan.

“Dia sedang belajar merasa,” ucap Adin pelan, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri daripada menjawab siapa pun. “Bukan sekadar meniru... tapi mencoba mengerti.”

*****

Isolasi – Tengah Malam

Jam sudah melewati tengah malam. Di kamar isolasi pribadi, pencahayaan redup berpendar dari sudut-sudut dinding—cahaya rembulan sintetis yang terlalu sempurna untuk disebut romantis. Tak ada suara selain dengungan halus dari sistem ventilasi, seperti dengkuran robot yang sopan.

Lihat selengkapnya