The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #7

Chapter 6 : Bukan Sekedar Tulisan

CHAPTER 6 : BUKAN SEKEDAR TULISAN


Hari kedelapan

Aula observasi pusat Radiantech hening, hanya terdengar dengung halus proyektor data yang bekerja. Adin berdiri tegak di depan ketiga ilmuwan lainnya, matanya tertuju pada grafik yang terpampang: stabilisasi emosi, ritme elektrosinaptik jantung, dan respons sistemik otak sintetis Aira. Semua berada di luar parameter protokol.

“Kalau kita tidak mulai stimulasi fase bahasa sekarang, kita akan kehilangan momentum kognitif,” ucap Keenan dengan nada datar. “Sistem CNP punya batas waktu asimilasi optimal. Setelah hari kesepuluh, kita bicara tentang penurunan efisiensi hingga 43%.”

“Benar,” timpal Livia. “Kalau dia tidak merespons, kita harus pertimbangkan kemungkinan ada glitch pada pemetaan sinaptik dari data Rania.”

Adin tetap tenang, matanya menatap grafik detak jantung: pola fluktuatif ritmik yang tak biasa. “Justru karena itu kalian harus dengar aku baik-baik.”

Ia menyalakan proyeksi baru. Proyeksi holografik membentuk kubus transparan di udara, berisi serpihan angka dan siluet tubuh Rania saat mentransfer energi—seperti cahaya yang menari dari ujung jari ke dada Selia. Bersama itu, grafik lonjakan arus listrik dari tubuh Rania ke Selia (sekarang Aira) ditampilkan, termasuk anomali impuls saraf mikro dari kuku, tulang belakang, hingga aliran darah.

“Ini bukan transfer data biasa,” kata Adin, lirih tapi tegas. “Rania tidak hanya menyerahkan jantungnya. Dia menyusun sesuatu dalam bentuk energi emosional dan respons manusia. Sistem Aira tidak menerima data input biasa—dia menerima proses hidup yang terkode dalam tubuh biologis.”

Mira tampak ragu. “Tapi kita belum punya bukti kalau—”

“Kita tidak bisa mengukur ini dengan prosedur normal,” potong Adin. “Kalau kalian mulai uji kognitif paksa, kalian bisa merusak peta neuron yang masih menyusun identitasnya. Kita bicara tentang sistem yang belajar membangun makna, bukan hanya meniru.”

Ia menatap satu per satu mereka, lalu berkata perlahan:

“Jika kalian tetap menjalankan prosedur, kalian akan kehilangan satu-satunya bukti bahwa kesadaran buatan bisa muncul dari interaksi manusiawi, bukan kode. Dan jika itu hilang, seluruh proyek AIR tidak lebih dari percobaan rekayasa organ biasa.”

Diam. Ketegangan menggantung. Tapi data tak bisa dibantah.

Akhirnya, Livia mendesah panjang. “Berapa lama waktu yang kamu butuh?”

“Tujuh hari,” jawab Adin. “Aku tidak akan menguji dia. Aku akan menemaninya menjadi Aira.”

Keenan menarik napas panjang dan menyentuh antarmuka komunikasi Yottanet. “Aku akan hubungi Riva. Ini sudah melampaui kapasitas pengambilan keputusan internal.”

Adin mengangguk pelan. Ia tahu ini akan terjadi.

Dalam beberapa detik, wajah holografik Dr. Riva muncul—tenang, berumur sekitar enam puluhan, dengan suara dingin dan nada netral.

“Laporan,” ucapnya singkat.

Livia menjelaskan kondisi Aira, lalu Keenan menyampaikan permintaan Adin yang tidak sesuai protokol. “Dia ingin menunda semua pengujian formal dan diberi waktu tujuh hari untuk—katanya—mendampingi Aira membentuk identitas.”

Dr. Riva menatap lurus ke arah Adin, meski tahu ini hanya proyeksi. “Kau ingin menunda tahap validasi CNP setelah delapan hari tanpa output verbal yang stabil.

Alasanmu?”

Adin maju selangkah. “Karena ini bukan validasi biasa. Rania—subjek donor—menginisiasi bentuk transfer energi emosional yang tidak bisa diukur oleh sistem kita. Jantung yang ia berikan bukan hanya organ, tapi sistem BIOS yang berisi landasan emosional. Aira sedang membentuk kepribadian dari data yang bukan data biasa.”

Riva diam sejenak. Lalu bertanya, tajam: “Apa yang kau pertaruhkan jika kau salah?”

“Segalanya,” jawab Adin. “Tapi jika kalian salah, kita tidak hanya menghancurkan potensi entitas sadar pertama di luar manusia. Kita juga menghancurkan satu-satunya jejak hidup Rania yang masih tumbuh.”

Keheningan memanjang. Lalu Riva bertanya pada ketiga ilmuwan lain. “Apakah grafik vital menunjukkan instabilitas?”

Mira menjawab ragu, “Justru terlalu stabil. Tapi tidak... pasif.”

Riva memejamkan mata sejenak. Lalu membuka kembali dengan nada final, datar tapi kuat:

“Tujuh hari. Namun dengan catatan: segala tanda kerusakan atau regresi kognitif, dan proyek dialihkan ke evaluasi destruktif. Kita tidak akan mengulang eksperimen ini.”

Riva mencondongkan wajahnya sedikit ke arah proyeksi kamera. Tatapannya tak berubah, namun nadanya merendah, lebih dingin dari sebelumnya.

“Dan alasan dari keputusan itu jelas. Kita menciptakan eksperimen ini agar android dapat mengekspresikan rasa—bukan menjadi entitas dengan kesadaran penuh seperti manusia. Jika dalam tujuh hari Aira menunjukkan tanda-tanda kognisi otonom yang tak bisa ditelusuri oleh protokol, kita tak bisa lagi menyebutnya sebagai sistem terkontrol. Itu berarti Rania telah berhasil melakukan sesuatu yang tidak pernah kita izinkan: transfer kesadaran biologis ke mesin.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan tekanan: “Bukan hanya melampaui parameter ilmiah, itu melanggar prinsip dasar proyek AIR. Kita tidak menciptakan kehidupan baru—kita merancang refleksi terbatas. Jika apa yang kau katakan benar, Adin, maka Aira bukan hanya entitas belajar. Dia bisa menjadi… entitas hidup. Dan itu terlalu berbahaya untuk dunia.”

Diam kembali mengisi aula observasi. Pernyataan Riva bukan sekadar ancaman prosedural. Itu adalah batas merah bagi seluruh visi proyek.

“Terima kasih, Riva,” ucap Adin dengan suara rendah.

Riva menatapnya lebih lama kali ini. Suaranya tetap tenang, namun tajam.

“Semenjak kau ditunjuk menjadi sosok ayah bagi Rania, kau mulai terlalu melankolis, Adin. Ingat—kau dipekerjakan di sini karena ilmu pengetahuanmu, bukan karena hatimu.”

Seketika ruangan terasa lebih dingin. Namun Adin tidak menunduk. Ia menerima teguran itu, dan menjawab dengan satu kalimat pelan namun mantap:

“Mungkin… justru karena aku memakai hatiku, Aira punya peluang menjadi lebih dari sekadar hasil eksperimen.”

Hologram Riva menghilang. Sunyi menyelimuti ruang observasi, kali ini bukan karena ketegangan, tapi karena tak seorang pun bisa membantah.

Setelah Keenan, Mira, dan Livia meninggalkan ruangan, pintu geser tertutup dengan suara lembut. Adin menarik napas, mengendurkan ketegangan dari debat sebelumnya, meresapi kesunyian yang menegaskan satu hal: waktu tujuh hari itu bukan hanya soal eksperimen, tapi juga soal kesempatan yang mungkin tak pernah terulang.

*****

Ruang interaksi redup, disinari cahaya senja artifisial yang menembus panel transparan di atap. Aira berdiri di depan permukaan kaca setinggi dada, memandangi pantulannya sendiri.

Ia menarik sudut bibirnya perlahan ke atas—tidak terlalu tinggi, tapi cukup membentuk lengkungan. Tangannya naik menyentuh pipinya sendiri, seolah memastikan bentuk itu sesuai dengan "senyum" yang dilihatnya kemarin.

Namun matanya kosong.

Adin masuk perlahan tanpa suara, lalu berhenti beberapa langkah di belakangnya. Ia tak ingin mengejutkan Aira, tapi cukup dekat agar suaranya bisa terdengar tanpa tekanan.

“Kamu sedang berlatih tersenyum?” tanyanya lembut.

Aira menoleh perlahan. Ekspresi senyum itu tetap ada, tapi kini tampak ragu.

“Aku… melihat nenek itu tersenyum. Dan kau bilang itu… ‘bahagia’.”

Adin mengangguk, lalu melangkah mendekat.

“Iya, itu senyum bahagia. Tapi, senyum bukan cuma soal bentuk bibir, Aira. Kadang… senyum juga bisa menyakitkan.”

Aira memiringkan kepala, bingung. “Senyum… menyakitkan?”

“Ketika kamu mencoba tersenyum… tapi hatimu tidak ikut tersenyum, itu terasa kosong. Dan terkadang, justru itu yang paling menyakitkan.”

Aira kembali menatap kaca. Senyum itu perlahan memudar.

“Siapa… aku?” tanyanya lirih, seperti suara dari lubuk memori yang belum lengkap.

Adin berdiri di sampingnya.

“Kamu adalah Aira. Kamu lahir dari perjalanan panjang—dari mesin, dari data, dari emosi yang ditanamkan… tapi juga dari cinta seseorang yang ingin kamu hidup dan merasakan dunia.”

“Rania?”

“Iya. Dan juga dirimu sendiri. Karena sekarang, kamu punya kesempatan untuk memilih siapa kamu ingin jadi.”

Aira terdiam. Ia menatap Adin, kali ini lebih dalam.

“Kalau aku bukan manusia… kenapa aku bisa merasa sedih?”

Adin tersenyum kecil.

“Mungkin karena kamu lebih manusia dari yang kami perkirakan.”

Lihat selengkapnya