The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #8

Chapter 7 : Dia Adalah Anakku

CHAPTER 7 : DIA ADALAH ANAKKU


10 Tahun yang Lalu

Langit pagi tampak bersih, seolah tak menyimpan luka. Tapi di balik birunya yang menipu, atmosfer bumi sejatinya telah rusak sejak empat dekade lalu—terkontaminasi oleh perang, keserakahan, dan kegagalan umat manusia menjaga rumah satu-satunya.

Di sebuah pantai buatan di pulau terpencil Kepulauan Riau, Adinata bersandar tenang di kursi malas. Kulitnya menghangat di bawah cahaya matahari sintetis—ciptaan sistem orbit Radiantech, perusahaan yang kini lebih berkuasa dari sebagian besar negara.

Sekitar 200 meter dari bibir pantai, berdiri tembok hologram setinggi 20 meter, membentang membentuk segi empat raksasa. Di tengahnya, menjulang sebuah hotel berlantai empat, tempat Adin bermukim selama tujuh hari terakhir.

Tembok itu bukan sekadar dekorasi digital. Ia adalah medan energi aktif—perisai pelindung dari sisa radiasi Perang Nuklir 2030. Perang yang tak cuma menghancurkan kota-kota besar, tapi juga batas moral kemanusiaan.

Panorama di tembok memamerkan laut membiru, langit cerah, dan deretan pohon kelapa yang melambai seolah ditiup angin laut. Semua palsu. Tapi bagi mata yang lelah dan hati yang ingin percaya, keindahan tetap terasa nyata. Seperti jeda hening sebelum sejarah kembali menggeliat dan menampar umat manusia.

Seorang android perempuan mendekat. Penampilannya seperti perempuan dua puluhan, mengenakan seragam putih kebiruan khas layanan resor berteknologi tinggi. Dengan anggun, ia meletakkan nampan berisi segelas jus tropis sintetis dan sepiring camilan rendah sodium di meja kecil di sisi Adin.

“Biasanya Tuan Adin cuma dua hari di sini. Itu pun cuma sekali dalam dua tahun...” ucapnya ringan, dengan senyum sopan yang hampir berhasil menipu siapa pun. “Sudah seminggu sekarang. Tumben, ya?”

Adin tak langsung menjawab. Ia hanya menyesap jusnya perlahan, memandangi laut palsu yang terlihat lebih jujur daripada banyak manusia yang pernah ia temui.

“Ada proyek besar. Dan jangka panjang,” gumamnya akhirnya. Suaranya serak, nyaris melayang bersama hembusan angin artifisial. Ia menoleh ke arah android itu, walau pandangannya hanya menyentuh separuh.

“Mungkin setelah ini... aku tak akan kembali kemari sampai dua puluh tahun mendatang.”

Android itu mengangguk pelan. Tak ada tanya, tak ada komentar. Hanya anggukan default—dilatih untuk tak membebani suasana. Seandainya android bisa menulis memoar, mungkin ia akan mencatat: ‘Klien ini... capek tapi denial.’

Minuman di gelas tinggal seperempat ketika jam holografik di pergelangan tangan Adin menyala. Proyeksi biru muncul, disusul suara lembut namun tegas:

Waktu terpenuhi. Komunikasi prioritas.

Adin menyentuh permukaan jam. Sosok hologram Riva muncul—jas putih rapi, rambut tersisir sempurna, dan ekspresi serius khas seseorang yang lupa caranya tersenyum.

“Sudah waktunya. Besok pagi pukul 06.30, kau harus sudah ada di Pekanbaru.”

Tak ada basa-basi. Tak ada ‘semoga liburannya menyenangkan’. Hologram itu menghilang seperti bos HRD yang selalu hilang tiap kita butuh tanda tangan cuti.

Adin menarik napas pendek. Ia berdiri, lalu berjalan menuju bar kecil di tepi pantai. Tak ada bartender, hanya meja kasir yang dijaga oleh pemindai otomatis. Layar transparan menyala saat ia mendekat, seolah menyapa pelanggan tetap yang terlalu jarang datang.

Tangannya terangkat. Sistem segera mengenali identitasnya.

“Pembayaran diterima: empat kali lipat dari jumlah tagihan,” ucap suara mesin, datar tapi jujur—seperti cinta bertepuk sebelah dompet.

Adin menatap laut holografik untuk terakhir kalinya. Tak ada rindu di matanya. Hanya kelelahan—dari keputusan yang sudah bulat, dari dunia yang makin hari makin sulit dipercaya.

“Ambil saja kembaliannya,” gumamnya pelan—bukan untuk mesin, bukan untuk android, tapi mungkin... untuk semesta yang sudah terlalu sering mengecewakannya.

*****

Fasilitas Bawah Tanah, Pekanbaru – 06.20 WIB

Pintu besi berlapis titanium terbuka dengan desisan halus. Di atasnya terpampang tulisan bercahaya biru:

RUANG PERALIHAN: DEKONTAMINASI

Asap putih pendingin masih mengepul tipis dari balik celah pintu. Dari balik kabut itu, Adin melangkah keluar. Jaket laboratoriumnya kini tampak kusam, efek dari reaksi kimia dekontaminasi yang seolah lebih niat menyikat warna kain ketimbang virus mematikan. Langkah Adin mantap, tapi sorot matanya masih menyimpan sisa-sisa liburan yang belum sempat diproses oleh neuron kerja.

Di ruang pertemuan berdinding logam padu, Riva sudah berdiri bersandar pada meja bundar berteknologi antigravitasi, menatap jam holografik yang melayang di sudut ruangan—seolah memantau waktu seperti atasan HRD saat evaluasi tahunan.

Adin:

"Aku datang tepat waktu, kan?"

Riva menoleh. Senyumnya setengah muncul, tapi matanya tajam seperti ingin mengiris argumen.

Riva:

"Ya. Tapi mereka biasanya datang lima menit lebih cepat dari jadwal. Aku hanya ingin melihat responsmu. Kalau kau datang pas pukul 06.30..."

(diam sejenak, lalu mendekat dan menatap lurus)

"You will no longer be needed in this project."

Adin tertawa. Garing. Seperti candaan yang sudah lima kali diulang tapi tetap dipaksa keluar, hanya karena suasana terlalu dingin untuk didiamkan.

Riva:

"Bagaimana liburanmu? Apakah kau... menemukan istri di sana?" sinis.

Adin meregangkan bahu. Senyumnya muncul seperti refleks ilmiah, bukan emosi.

Adin:

"Ahaha... Tidak ada yang lebih nikmat daripada bereksperimen pada tubuh manusia."

(sejenak jeda)

"...Secara profesional, tentu saja."

Riva menggeleng pelan, tak yakin harus tertawa atau menelepon pihak berwenang.

Tiba-tiba, suara sistem otomatis bergema dari langit-langit:

Dekontaminasi kedua selesai. Membuka akses Pintu Dua.

Pintu di sisi kanan ruangan terbuka perlahan. Kabut dingin mengalir keluar seperti napas terakhir ruang steril. Dari dalamnya muncul dua sosok dengan pakaian pelindung ramping.

Sosok pertama, seorang pria berambut perak. Wajahnya tegas, dengan sorot mata setajam pisau bedah—jenis orang yang bisa membedah kesalahan hanya dari deskripsi eksperimen. Di sampingnya, seorang perempuan bermata sipit, postur tegap, dengan ketenangan khas seorang veteran laboratorium—atau seseorang yang sudah terlalu sering melihat mutasi gagal dan tetap bisa sarapan setelahnya.

Riva:

"Selamat datang, Tuan Kenjiro Sakamoto dan Nyonya Haruka Ishimura."

Keduanya membungkuk sopan dengan gaya khas Jepang, nyaris sinkron seperti protokol robotik... hanya lebih anggun.

Kenjiro:

"Senang bertemu kembali, Riva-san. Dan tentu saja, Adin-san... Kurasa ini pertama kalinya kita benar-benar bekerja bersama—bukan sekadar bertukar data lewat jaringan tertutup."

Haruka:

Lihat selengkapnya