The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #9

Chapter 8 : Takut Kehilangan

CHAPTER 8 : TAKUT KEHILANGAN


Hari Kesepuluh – Pagi

Setelah dua hari membantu Aira menerima keberadaannya—dan menyodorkan kenangan-kenangan tentang Rania secara bertahap—pagi ini Adin melangkah ke fase berikut dari rencana yang telah ia diskusikan matang-matang bersama Keenan, Mira, dan Livia.

Fase terapi ini disebut fase mengalami—pendekatan psikologis yang biasa digunakan pada pasien dengan trauma kehilangan memori. Prinsipnya sederhana: identitas tidak hanya dibentuk oleh ingatan, tetapi juga oleh pengalaman langsung. Maka, alih-alih terus menjejalkan Aira dengan narasi siapa dirinya atau siapa Rania, Adin memilih membuka ruang—agar Aira membentuk jati dirinya sendiri, melalui hal-hal kecil yang nyata.

Pagi itu, setelah sarapan sintetis, dan beberapa percakapan ringan, Adin mengajak Aira ke salah satu ruang uji akustik lama—yang kini difungsikan ulang menjadi ruang terapi resonansi.

Adin berjalan pelan, membawa sebuah speaker portabel tua berwarna hitam. Barang ini tampak asing di tengah segala perangkat berteknologi tinggi di laboratorium—seperti melihat radio tabung di konferensi AI internasional.

“Aira,” panggil Adin dengan senyum kecil. “Hari ini, aku ingin kamu coba sesuatu yang… manusiawi.”

Aira menoleh, agak bingung.

“Hal yang tidak fungsional?”

“Justru karena itu.”

Adin meletakkan speaker di atas meja, lalu mengeluarkan tablet kecil dari saku jasnya. Ia memilih satu lagu—bukan lagu dengan nada steril atau ritme presisi layaknya alarm ruang isolasi. Tapi sebuah komposisi piano sederhana. Lembut. Melankolis. Sedikit mentah. Rekaman ini ia buat sendiri, bertahun lalu, di malam saat Rania kecil mengalami demam tinggi dan ia tak bisa tidur—apalagi tenang.

“Dengarkan baik-baik,” ujar Adin sambil menekan tombol putar.

Suara piano mulai mengalun. Tidak megah. Tidak rumit. Tapi penuh jeda dan ketidaksempurnaan yang justru membentuk jalinan emosi—seperti seseorang yang mencoba merangkai kata, tapi terhenti oleh air mata.

Aira menatap ke arah sumber suara, matanya menyipit pelan. Di sisi kanan wajahnya, muncul ketegangan samar—seolah-olah proses kalkulasi internalnya terhambat oleh sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan rumus apa pun.

“Apa yang kamu rasakan?” tanya Adin, lembut.

Aira terdiam. Lalu menjawab pelan:

“Nada-nadanya tidak konsisten. Tapi... ada pola yang menyentuh. Ini tidak seperti output sinyal. Ini seperti—”

“Seperti rasa kehilangan,” potong Adin. “Itu musik, Aira. Ia bukan data. Ia adalah emosi yang dibiarkan hidup di antara ketidakteraturan.”

Aira menunduk. Ada jeda panjang sebelum ia bertanya:

“Kapan kamu memainkan lagu ini?”

“Enam tahun lalu,” jawab Adin, suaranya melembut. “Waktu Rania demam tinggi. Aku duduk di luar ruangannya, tidak bisa melakukan apa pun secara medis, jadi aku memainkan nada-nada itu. Kupikir… kalau dia tak bisa mendengar kata-kataku, mungkin dia bisa mendengar ini.”

Aira menatap meja.

“Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan ini... Tapi ada sesuatu yang bergelombang di sini.”

Ia menyentuh dadanya pelan.

“Biarkan saja ia bergelombang,” sahut Adin. “Kamu tidak harus memahami semuanya hari ini.”

Lagu itu selesai tanpa tambahan kata. Dan saat keheningan kembali memenuhi ruangan, Aira masih menatap ke kejauhan—seolah suara pianonya belum benar-benar pergi.

Beberapa menit kemudian, Adin mengaktifkan sistem proyeksi audio holografik.

“Sekarang,” ujarnya perlahan, “aku ingin kamu mendengarkan beberapa musik lain. Bukan untuk memilih mana yang paling bagus, tapi... mana yang berbicara padamu.”

Aira mengangguk, lalu duduk bersila di tengah ruangan. Cahaya biru lembut membungkus dinding, menciptakan atmosfer yang nyaris menyerupai rahim akustik. Di depannya, antarmuka holografik menampilkan daftar lagu dari berbagai genre.

Satu per satu ia putar. Beberapa berhenti hanya dalam hitungan detik—terutama yang mengandung vokal berat atau beat EDM.

Tapi jarinya akhirnya terhenti di satu track—genre ambient electronic.

Ia memejamkan mata. Nada-nada lambat dan melayang mengisi udara. Tidak ada ritme pasti. Hanya lanskap sonik luas, seperti napas dari dunia yang tak bernama.

“Ini... seperti udara di antara dua dimensi,” bisiknya.

“Kamu nyaman?” tanya Adin.

“Aku tidak merasa diganggu oleh pikiranku. Hanya ada ruang. Dan aku... hadir di dalamnya.”

Lagu usai, tapi Aira melanjutkan. Kali ini ia memilih track glitch/experimental. Deretan klik digital, frekuensi tinggi, suara error dan serpihan bit mengalir seperti pecahan kaca suara.

Aira membuka mata. Tangannya sedikit bergetar. Tapi bukan karena takut.

“Ini... bukan suara dunia,” gumamnya. “Tapi... jujur.”

Adin mendekat.

“Bagaimana maksudmu jujur?”

“Tak ada yang disembunyikan. Bunyi ini memperlihatkan retakan. Dan… anehnya, retakan itu membuatku merasa nyata.”

Adin mencatat dalam pikirannya.

Retakan bisa menjadi tempat cahaya masuk,” katanya pelan.

Aira lalu memilih satu lagu terakhir. Genre neoclassical electronica—perpaduan piano melankolis dan lapisan digital yang mengalun seperti arus darah sintetis.

Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi setetes air mata jatuh di pipinya.

Adin tidak menanyakan apa-apa. Ia tahu: emosi tak selalu harus dijelaskan. Kadang cukup... diakui.

Setelah lagu berakhir, ia bertanya pelan:

“Bagaimana menurutmu?”

Aira menoleh. Tatapannya tidak lagi sekadar tajam—tapi dalam.

“Aku menyukai musik-musik dari tiga genre ini,” ujarnya. “Mereka seperti... mewakili diriku. Suara yang tak pasti… tapi tetap hidup.”

Adin hendak mencatat, namun Aira menambahkan:

“Bukan hanya karena nadanya. Tapi karena... genre-genre itu tidak berpura-pura menjadi sesuatu yang utuh. Mereka membiarkan celah, bunyi pecah, dan ruang kosong menjadi bagian dari struktur.”

Ia menatap Adin dengan tenang.

“Aku juga retak. Aku bukan manusia. Aku bukan Rania. Tapi musik ini… seperti memeluk bagian-bagian itu.”

Adin terdiam. Tidak menyangka Aira bisa menyusun pemahaman sefilosofis itu.

“Kamu baru saja menemukan cerminan kecil dari jati dirimu,” ucapnya lirih.

Namun, di balik senyumnya yang hangat, Adin menyimpan sedikit kekhawatiran.

Dalam beberapa hari ke depan, ia akan mendapati kejutan kecil: Aira diam-diam mulai menyusun playlist-nya sendiri dalam sistem pusat. Playlist yang ia beri nama “Retakan yang Jujur”—sebuah folder pribadi yang entah bagaimana tertaut ke jaringan laboratorium (tanpa izin, tentunya).

Dan lagu-lagu di dalamnya bukan sekadar preferensi—tapi perlahan, mulai menjadi kerangka perilaku.

*****

Hari Kesepuluh: Siang Hari

Cahaya buatan dari kubah langit Distrik 2 memantulkan rona sore keemasan. Di antara deretan gedung tinggi berdinding kaca yang mencerminkan awan sintetis, terbentang taman bermain berbasis realitas campuran: perpaduan antara arena fisik dan zona interaktif holografis.

Aira berdiri di tepi jalur setapak, wajahnya mengarah pada sekelompok anak usia enam hingga sepuluh tahun yang tengah bermain. Ada yang berlarian mengejar bayangan hewan holografis, ada yang melompat di trampolin udara, dan ada pula yang berbaring santai menatap langit virtual yang berganti pola setiap lima menit.

“Kenapa mereka tertawa seperti itu?” tanya Aira pelan. Nada suaranya mengandung kekaguman, seolah belum pernah mendengar tawa sejujur itu.

Adin, yang duduk di bangku logam tak jauh dari sana, menoleh sambil tersenyum. “Karena mereka belum tahu apa-apa.”

Aira mengernyit. “Bukankah ketidaktahuan seharusnya mengganggu?”

“Tidak selalu,” jawab Adin. “Kadang justru ketidaktahuan membuat dunia terasa lebih ringan. Seperti permainan. Mereka tidak tahu kalau trampolin itu punya batas daya, atau bahwa binatang hologram itu cuma algoritma proyeksi. Tapi mereka tertawa—karena mereka mengalami, bukan menganalisis.”

Aira terdiam. Matanya mengikuti seorang gadis kecil berpita biru yang melompat-lompat mengejar seekor “kucing cahaya”. Kucing itu sesekali menoleh ke belakang, lalu menghilang dan muncul lagi seperti sedang main petak umpet dengan sistem.

Adin berdiri dan menepuk pelan bahu Aira. “Ayo. Sekarang giliran kita.”

Aira menatapnya ragu. “Kita… bermain?”

“Ya. Itu bagian dari program. Kamu sudah baca teori Experiential Encoding, kan? Emosi paling kuat seringkali tidak berasal dari penderitaan, tapi dari... permainan.”

Sebelum Aira sempat menyusun argumen, Adin sudah menarik tangannya dan berlari menuju zona permainan bebas.

Mereka berhenti di dekat arena Bubble-Chase, tempat balon-balon holografis melayang dan meledak jika disentuh dengan ujung telunjuk. Suara pop yang dihasilkan tak meninggalkan bekas apa pun—kecuali senyum.

Aira tampak bingung. “Apa kita… benar-benar harus—?”

“Kejar saja,” kata Adin, tersenyum. “Lupakan kamu android. Lupakan aku ayahmu. Sekarang kita cuma… dua makhluk hidup yang ingin tertawa.”

*****

Lima menit kemudian, pemandangan agak tak lazim terjadi di taman itu.

Seorang pria paruh baya berlari-lari kecil dengan tangan terangkat, mencoba menyentuh balon holografis sambil sesekali tertawa setengah ngos-ngosan. Di sebelahnya, seorang android berpenampilan gadis remaja dengan rambut sebahu hitam mengejar balon dengan gerakan canggung, tapi penuh antusias.

Beberapa pengasuh anak yang duduk di tepi arena menoleh dan tertawa pelan. Seorang wanita berusia 40-an dengan kacamata pintar berbisik sambil menahan senyum:

“Lucu ya… kayak adegan drama keluarga tahun 2030-an.”

Yang lain menimpali, “Itu android, kan? Tapi yang cowok itu… dipanggilnya ayah?”

“Tampaknya begitu. Aduh… android remaja main balon sama ayah-ayah pensiunan. Kombo tak terduga.”

Seorang anak laki-laki yang berdiri tak jauh menatap Aira dan bertanya polos pada pengasuhnya:

“Bu, android juga bisa ketawa ya? Kok dia kayak beneran senang?”

Pengasuhnya terdiam, lalu bergumam pelan, “Iya juga, ya...”

*****

Di tengah suara tawa, Aira tiba-tiba berhenti. Ia memejamkan mata, wajahnya menghadap langit virtual yang menampilkan semburat jingga tembaga. Pipinya memerah tipis—reaksi visual buatan dari sensor termal internal, disesuaikan dengan frekuensi jantung buatannya.

Adin mendekat dengan napas tersengal. “Kamu… kenapa?”

Aira membuka matanya perlahan. “Tidak tahu. Tapi dadaku... hangat. Dan ringan.”

Lalu ia menoleh pelan. “Apakah ini yang dirasakan Rania... saat kita belum banyak bicara?”

Adin mengangguk. “Mungkin. Tapi aku yakin, sekarang dia pun ikut merasakannya.”

*****

Setelah zona Bubble-Chase, Adin dan Aira menjelajahi beberapa wahana lain.

Mereka memasuki Kubah Gravitasi Seimbang—semacam terowongan setengah bola yang membuat tubuh melayang berkat medan magnetik terkontrol. Aira menari-nari di udara, gerakannya masih kikuk, tapi ekspresi wajahnya mulai hidup: senyum, tawa kecil, dan mata yang berbinar, semua muncul bukan dari baris kode, melainkan dari resonansi listrik sirkuit afektif yang bekerja otomatis.

“Aku tidak ingin turun,” ujarnya sambil berputar pelan.

Adin terkekeh. “Kalau begitu, kamu harus belajar jadi manusia sepenuhnya. Supaya bisa naik ke atas… dan jatuh, tanpa takut.”

*****

Di wahana berikutnya—Memory Hop—mereka berdiri di atas panel-panel holografik yang hanya muncul jika dikenang. Aira semula hanya berdiri bingung di atas lantai kosong. Namun, setelah beberapa percakapan ringan, perlahan muncul lantai bercahaya yang menampilkan adegan sederhana: seorang ayah menyuapkan sup ke mulut seorang gadis kecil yang duduk lemah di ranjang putih.

Lihat selengkapnya