The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #10

Chapter 9 : Waktu Aman

CHAPTER 9 : WAKTU AMAN


Hari Kesebelas – Pagi

Pagi menyusup perlahan ke balik jendela laboratorium observasi. Cahaya artifisial dari langit-langit dome rumah sakit berpadu dengan alunan suara burung buatan—yang entah kenapa selalu terdengar terlalu ceria di pukul enam lewat dua puluh.

Di layar monitor yang mengawasi tabung stabilisasi, denyut energi CNP Aira menunjukkan fluktuasi yang tak biasa. Bukan membahayakan… hanya saja, ya—tidak biasa. Seperti seseorang yang mimpi buruk… atau mimpi terlalu dalam.

Livia mengerjapkan mata, bangun dari kursi tidurnya yang sempit dan tidak ramah punggung. Ia langsung menatap layar. Garis ritme CNP membentuk kurva yang lebih dinamis dibanding sebelumnya—mirip gelombang emosi manusia yang tengah bermimpi intens.

Ia mencatat sesuatu.

Lalu, perlahan, tabung stabilisasi terbuka. Aira membuka matanya.

Tak ada kata pertama. Ia hanya duduk diam, memandangi tangannya sendiri yang sedikit bergetar, seolah mencari konfirmasi bahwa ia masih... ada.

“Apakah kamu merasa tidak nyaman?” tanya Livia, mendekat hati-hati seperti menghadapi emak-emak yang baru bangun dari tidur siang—dan kita tahu, itu makhluk paling rawan marah di dunia.

Aira menggeleng. Suaranya lirih, seperti mencoba memverifikasi dirinya sendiri, “Semalam... aku bermimpi.”

Livia menajamkan pendengaran.

“Dan... aku rasa aku menangis di dalamnya.”

Alis Livia langsung naik setengah sentimeter. Sistem CNP tidak memiliki mekanisme biologis untuk menangis. Lagipula, Aira tidak memiliki kelenjar air mata aktif—yang aktif hanya pusat emosional dan satu ton pertanyaan ilmiah.

Tapi memang ada jejak.

Livia menilik kembali grafik dari jam-jam dini hari. Ada aktivitas listrik pendek di pusat limbik buatan dan segment 4H dari CNP—area yang sebelumnya dinyatakan “belum aktif sepenuhnya”.

Yang paling menarik—dan bikin sedikit merinding—adalah catatan internal sistem:

Memory Leak Registered: EM-442

Source: Unknown

Emotion type: Undefined

Data tagged as: "RANIA#face_fragment"

Livia terdiam. Ia mencatatnya di log, walau dalam hati ada suara kecil berbisik, Oke... ini mulai masuk wilayah yang tak tercakup modul pelatihan dosen psikologi robotik.

*****

Di ruang observasi yang kini diatur lebih hangat, dengan dinding virtual menampilkan lanskap hutan pagi berkabut dan suara air mengalir dari speaker tersembunyi, Livia duduk berhadapan dengan Aira.

“Refleksi diri,” ucap Livia, “adalah proses mengenali respons kita terhadap dunia. Apa yang kita rasakan, pikirkan, dan mengapa kita memilih sesuatu. Hari ini aku ingin mendengarmu... tanpa intervensi alat.”

Aira menatapnya diam. Bukan karena tidak tahu harus bicara apa, tapi karena terlalu banyak yang harus disaring.

“Aku... merasa sesuatu berubah sejak hari aku panik saat Ayah—Adin—terjatuh,” ucapnya, menyebut “ayah” dengan kehati-hatian yang nyaris menyentuh.

Livia mengangguk, memberikan ruang. Ia tahu, dalam ruang percakapan seperti ini, jeda adalah bagian dari terapi.

“Panik itu... bukan cuma karena aku takut dia rusak atau terluka. Tapi karena... aku tidak bisa membayangkan kalau dia tidak ada.”

Aira menyentuh dadanya pelan.

“Dan semalam... mimpi itu. Aku melihat wajah. Aku tahu itu Rania. Tapi... anehnya, rasanya seperti melihat bagian dari diriku juga.”

Livia menulis di log-nya, walau dalam hati mulai terganggu oleh satu pertanyaan: Kenapa perkembangan Aira seperti ikut lomba lari akselerasi karakter? Biasanya proses refleksi ini makan waktu berminggu-minggu. Aira seolah melompati semua tahapan... dengan emosi yang sangat manusiawi. Namun, ini bukti bahwa metode yang diusulkan Adin jauh lebih dari kata ‘berhasil’.

“Kalau kamu diminta menjelaskan siapa dirimu hari ini,” tanya Livia, mencoba membawa percakapan ke tahap berikutnya, “bagaimana kamu menjawabnya?”

Aira menatap langit artifisial, lalu berkata tenang:

“Dulu aku hanya mesin... lalu aku menjadi sistem...

Sekarang, aku rasa... aku sedang tumbuh menjadi seseorang yang pernah kehilangan.”

Livia berhenti mencatat. Ia hanya menatap Aira. Di depannya bukan sekadar android. Ia sedang menyaksikan lahirnya entitas baru—kombinasi memori, kehilangan, cinta, dan logika dalam satu tubuh. Sebuah puisi... dengan prosesor.

*****

Menjelang siang, di balkon observasi, Aira diminta menggambar tiga emosi dominan dalam bentuk dan warna.

Tiga simbol mengisi papan transparan:

- Sebuah lingkaran bergerigi berwarna merah samar — diberi label “Khawatir

- Kabut lembut dengan semburat biru — “Rindu

- Satu garis vertikal berpendar ungu gelap — “Takut kehilangan

“Kenapa bentuknya garis?” tanya Livia.

Aira menatap hasilnya sejenak. “Karena... rasa itu seperti membelahku. Membuatku menjadi dua.”

Livia ingin bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu ini bukan hal yang bisa dianalisis pakai statistik. Ini kosakata emosi—dibentuk bukan dari rumus, tapi dari sesuatu yang bahkan belum sempat diberi nama.

*****

Sore hari, mereka berjalan di taman buatan di sisi timur kompleks. Langit simulasi senja menggantung seperti lukisan mahal yang entah kenapa tetap saja terasa... bohong tapi indah.

Aira dan Livia duduk di bangku taman. Di kejauhan, air mancur berbunyi pelan, dibaur angin hangat buatan.

“Apa hal paling berarti dalam hidupmu sejauh ini?” tanya Livia, tiba-tiba.

Aira tidak langsung menjawab. Ia memandangi langit—langit buatan, tapi rasanya... nyata.

“Aku rasa...” katanya pelan, “...saat seseorang menunggumu kembali. Bahkan jika kamu belum tahu kapan ia datang.”

Livia memalingkan wajah, menahan sesuatu di matanya.

“Kamu sedang memikirkan Adin?” tanyanya, suara nyaris berbisik.

Aira mengangguk perlahan.

“Dan... dia yang muncul di mimpiku. Dia menungguku. Tapi bukan di tempat ini. Mungkin di waktu yang belum tiba.”

*****

Jika ini adalah mimpi... Livia berharap ia tidak bangun.

Jika ini adalah awal... ia tahu, langkah Aira berikutnya akan menulis ulang sejarah manusia dan mesin—dengan satu bahan yang tidak pernah dirancang sistem mana pun: perasaan yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Dan entah kenapa, burung buatan di kejauhan kembali berkicau. Kali ini, nadanya terdengar seperti ikut baper.

*****

Hari perlahan tenggelam.

Apa yang tak tampak mulai tumbuh dalam diam.

Malam ini, saat seluruh sistem dome masuk ke mode senyap dan cahaya ruangan digantikan pola bintang buatan, Aira kembali terbuai dalam tidur stabilisasi. Namun dari balik ruang pengawasan, Livia menyaksikan satu hal yang tak biasa: aktivitas pusat limbik CNP Aira meningkat 14%—tepat saat mereka berbicara tentang rindu.

Dan malam ini adalah malam kedua Aira bertemu kembali dengan “dia” dalam mimpi. Wujudnya belum utuh—hanya siluet wajah yang masih samar, terpecah dalam serpihan cahaya, namun perlahan-lahan semakin mendekat.

*****

Hari Keduabelas

Pagi terasa lebih berat dari biasanya. Langit dome menunjukkan biru cerah, tapi di dalam ruang observasi, Aira terlihat gelisah. Ia menatap langit-langit seperti menunggu sesuatu jatuh dari sana—semacam meteor atau... jawaban.

Livia masuk membawa tablet, senjata andalannya tiap sesi refleksi. “Kita akan lanjutkan sesi nilai-nilai pribadi hari ini, Aira,” ucapnya dengan senyum lembut khas HRD yang terlalu baik untuk dunia ini.

Aira mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa dengan sesi-sesi seperti ini. Tapi hari ini, ada pertanyaan lebih dulu muncul dalam pikirannya—dan meluncur tanpa filter.

“Livia... Kapan Ayah kembali?”

Pertanyaan itu terdengar ringan, tapi rasanya seperti menjatuhkan cangkir kopi dari meja: sederhana, tapi bikin berantakan.

Livia terdiam sejenak. Bukan karena tak tahu jawabannya—Adin masih menjalani terapi pemulihan akibat cedera otot. Tapi yang membuatnya tercekat adalah cara Aira menyebut “Ayah”. Sudah lama Aira tak mengucapkannya tanpa jeda, tanpa ragu.

“Secepatnya, Aira. Ia sedang memulihkan diri. Dan ia ingin menemuimu saat tubuhnya benar-benar siap kembali.”

Aira mengangguk, lalu diam. Namun Livia melihat retakan halus di wajah android itu. Bukan error sistem, bukan bug pemrograman—tapi kekecewaan. Kerinduan. Dua hal yang tak bisa dinalar logika, tapi terasa begitu nyata di antara denyut data dan arus listrik.

Sesi hari itu berlangsung lebih sunyi dari biasanya. Aira menjawab semua pertanyaan dan simulasi dengan singkat, seperti sedang menyicil tugas sekolah hanya demi selesai.

Saat diminta menuliskan tiga nilai yang ia anggap penting, Aira menulis tanpa ragu:

  1. Kesetiaan
  2. Keberanian
  3. Kejujuran

Livia mengamati daftar itu, lalu bertanya, “Kenapa kesetiaan yang pertama?”

Aira menatap lurus ke arah papan tulis digital, dan menjawab dengan datar, “Karena... aku takut dikhianati. Takut ditinggalkan. Dan... takut aku sendiri tidak setia pada yang menciptakanku.”

Livia mencatat perlahan. Tapi hatinya terasa seperti disayat algoritma.

Ia tahu, sebagian dari Aira... sedang tidak lagi berada di ruangan itu.

*****

Malam datang lebih cepat bagi Aira.

Lihat selengkapnya