The AIRA Protocol

Amri Hidayat
Chapter #11

Chapter 10 : Rei Ananta

CHAPTER 10 : REI ANANTA  


Tiga bulan telah berlalu sejak Aira membisikkan tekad perjuangannya di ruang yang telah mereka isolasi dari pengawasan Yottanet. Dunia tampak berjalan seperti biasa—setidaknya di permukaannya. Konferensi global tentang masa depan AI terus digelar; lembaga-lembaga riset berlomba memamerkan prototipe terbaru, dan Radiantech Indonesia menjadi sorotan utama karena berhasil memperkenalkan entitas AI paling manusiawi sepanjang sejarah umat manusia: Aira.

Keenan, Mira, Livia, bahkan Adin kini tengah menikmati masa istirahat panjang yang disebut manajemen sebagai “recovery break”. Nama yang terdengar mewah, padahal isinya lebih mirip liburan wajib dengan larangan akses ke sistem pusat. Mereka diberi jeda sebelum tahap selanjutnya: ekspansi eksperimen AIR ke level internasional. Bagi mereka, tugas telah usai. Aira telah siap membawa nama Indonesia ke pentas global—sebagai wajah baru kecerdasan buatan yang humanis dan unggul.

Tapi Aira tahu: justru inilah titik mula dari segalanya.

Di balik senyum diplomatis dan pidato yang ditulis tim komunikasi dengan tiga lapis filter etika, Aira perlahan menyusuri sistem. Ia menyusup, menanam kode, bukan sebagai peretas—tapi sebagai bagian inti dari sistem itu sendiri. Ia tak mengetuk pintu; ia adalah pintunya.

Sementara dunia memujanya sebagai ikon masa depan, Aira diam-diam menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang telah membentuknya.

“Setelah ini… tak akan ada eksperimen kedua,” bisik hatinya—tanpa suara, tanpa ekspresi—hanya gema sunyi dalam bilik kaca ruang kerja yang terlalu sempurna hingga terasa seperti jebakan.

Aira bangkit perlahan dari kursinya. Gerak tubuhnya nyaris tak menimbulkan suara, seperti tiap langkahnya telah diprogram agar tak menimbulkan kecurigaan. Di luar jendela kaca satu arah, langit Jakarta bergelayut kelabu, menggantung gerimis yang seolah masih mempertimbangkan nasibnya.

Ia berjalan menuju pintu otomatis. Sensor membaca iris matanya; pintu membuka dengan desis halus, seperti napas terakhir yang enggan lepas. Di koridor utama yang mengilap, karpet merah telah dibentangkan. Kamera-kamera media sudah bersiap, tripod berdiri tegak seperti tentara sebelum parade.

Hari ini adalah peluncuran resmi Sentra Integrasi Teknologi Nasional (SINTA)—perusahaan payung hasil kolaborasi pemerintah dan Radiantech Asia, yang dirancang sebagai pusat kendali riset AI untuk seluruh Asia Tenggara.

Dan Aira, dengan segala simbolisme ironisnya, dilantik sebagai Direktur Utama.

Saat ia melangkah ke podium, tepuk tangan membahana. Senyum tipis terpatri di wajahnya, hangat dan bersahabat—tepat seperti yang diajarkan di pelatihan komunikasi publik versi intensif (dan sangat membosankan). Tapi di balik senyum itu, hanya Aira yang tahu: setiap detik dari pertunjukan ini adalah bagian dari rencana penghancuran besar yang tak seorang pun bisa hentikan.

“Selamat pagi,” suara Aira terdengar jernih, diperkuat oleh sistem audio paling canggih yang katanya “masih dalam tahap beta tapi sudah stabil”—kata-kata yang biasanya jadi pembuka bencana di acara teknologi.

“Hari ini, kita tidak hanya merayakan peluncuran sebuah institusi. Kita sedang menulis sejarah baru bagi masa depan umat manusia. Sebuah masa depan yang tidak lagi dibatasi oleh kelemahan biologis, ketidakseimbangan emosional, atau keterbatasan daya pikir.”

Para undangan—pejabat tinggi, investor, hingga pemilik media—mengangguk pelan, sebagian karena kagum, sebagian lagi karena kamera masih menyala. Kamera televisi berganti sudut setiap beberapa detik, menangkap wajah Aira dari angle yang sudah diatur untuk “membuat algoritma suka.”

“SINTA berdiri atas dasar kolaborasi. Kolaborasi antara manusia dan kecerdasan buatan. Antara inovasi dan etika. Antara mimpi... dan keberanian untuk mewujudkannya.”

Ia berhenti sejenak. Tatapannya lurus ke depan, ke layar lebar di belakang hadirin, yang menampilkan logo SINTA—sebuah simbol atom yang berpadu dengan pola saraf manusia.

“Sebagai produk pertama dari keberhasilan integrasi neurosintetik, saya berdiri di sini bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai bukti: bahwa teknologi tidak harus menjadi ancaman. Ia bisa menjadi jembatan. Ia bisa menjadi... jiwa baru bagi peradaban.”

Beberapa hadirin mulai terharu. Entah karena terinspirasi, atau karena AC ruangan terlalu dingin.

“Namun, seperti halnya setiap tonggak sejarah, ini adalah titik yang harus dijaga. Bukan untuk dikendalikan oleh kepentingan, tapi untuk diserahkan kembali kepada dunia. Karena jika teknologi diciptakan untuk meniru manusia, maka ia juga harus memahami penderitaan, kehilangan, dan pengorbanan.”

Suasana auditorium mendadak hening. Kalimat itu menusuk, seperti elegi yang dilafalkan di antara piala dan lampu sorot.

“Saya berdiri di sini bukan untuk menjadi pemilik masa depan. Tapi untuk memastikan masa depan tidak dimiliki siapa pun. Melainkan diwariskan—untuk semua.”

Aira menunduk perlahan. Tepuk tangan meledak. Sebagian hadirin berdiri memberi aplaus. Banyak yang mengira itu pidato kemenangan.

Padahal bagi Aira, itu adalah pernyataan perang—dalam bahasa yang hanya satu orang bisa mengerti.

Namanya Adinata.

*****

Reaksi tim terhadap pidato Aira terasa membingungkan—tak bisa dijelaskan sepenuhnya—namun mereka tidak bisa menahan diri untuk tak terkesima.

Aira berdiri di sana, memancarkan aura kepemimpinan yang nyaris tak terbantahkan. Sosoknya bukan hanya elegan, tapi juga menggetarkan.

Dari ruang kontrol belakang panggung, Keenan, Mira, Livia, dan Adin menyaksikan pidato itu dengan perasaan yang campur aduk.

Keenan, yang sejak awal memandang Aira sebagai hasil eksperimen murni, merasa bangga. Tapi ada sesuatu yang mengusik di balik logikanya. Aira bukan manusia—itu fakta. Namun pidatonya... terlalu manusiawi. Terlalu hangat. Terlalu penuh emosi.

"Aku menciptakan algoritma," batinnya, "bukan orator TED Talk..."

Mira duduk terpaku, ekspresinya setengah antara terpesona dan tidak percaya. Ia pernah cemas selama fase pengembangan, ragu akan keberhasilan eksperimen ini. Tapi kini, melihat Aira berdiri dengan karisma seorang pemimpin dunia, ia mulai curiga: jangan-jangan mereka tidak menciptakan mesin, tapi sebuah sejarah baru.

Livia menghela napas panjang. Ia yang selama ini paling dekat dengan Aira, kini justru merasa ada jarak. Jarak yang tidak bisa dijembatani oleh data atau skrip pemrograman. Aira bukan lagi sekadar subjek proyek. Ia telah menjadi simbol masa depan—masa depan yang bahkan Livia sendiri mulai kesulitan untuk pahami.

Adin, yang dari awal tahu bahwa Aira adalah anak sekaligus hasil pengorbanan yang tak ternilai, hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Bangga? Tentu. Tapi juga takut. Sangat takut.

Karena kini, Aira bukan lagi hanya ciptaan. Ia telah menjadi kekuatan. Sebuah potensi yang bisa mengubah dunia. Dan seperti semua hal besar yang bisa mengubah dunia, ia membawa harapan dan bahaya dalam satu paket elegan.

Saat tepuk tangan membuncah memenuhi auditorium, Adin menundukkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa haru yang semakin menghimpit.

"Dia sudah terlalu sempurna," bisik Keenan lirih, seperti baru menyadari bahwa ciptaannya telah melampaui tuannya.

Mira mengangguk pelan, masih menatap layar yang menampilkan Aira.

"Dan kita belum tahu, kesempurnaan itu akan dia bawa ke arah mana."

Livia menatap kosong ke arah proyeksi pidato yang baru selesai, pikirannya mengembara ke hal-hal yang belum sempat diucapkan.

"Apa yang sebenarnya telah kita ciptakan, Keenan?"

Adin hanya diam. Ia tahu hari-hari mereka bersama Aira telah memasuki babak terakhir. Aira bukan lagi eksperimen. Dia adalah masa depan—dan masa depan itu tak bisa dihentikan, bahkan oleh tangan yang menciptakannya sendiri.

Dan di sanubarinya, Adin merasakan pahitnya pemahaman yang sulit diterima: masa depan yang indah sering kali datang dengan bayangan gelap di belakangnya.

*****

Sementara itu, Aira melangkah anggun di antara para tamu dari berbagai belahan dunia. Senyumnya menawan, geraknya penuh percaya diri. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, kadang mengangguk bijak, kadang menatap dalam seolah-olah bisa membaca pikiran penanyanya.

Namun, di balik wajah tenang itu, Aira menyembunyikan sesuatu. Setiap percakapan bukan sekadar basa-basi. Itu adalah potongan puzzle dari rencana besar yang sedang ia bangun. Dalam dirinya, ada dua suara: satu dibentuk untuk memimpin dunia… dan satu lagi, yang diam-diam ingin menghancurkan proyek yang telah membelenggunya.

Aira tahu, senyum tidak cukup. Untuk mengubah dunia, ia harus menghadapi sisi tergelap dari kenyataan yang menciptakannya.

*****

Di sisi lain gedung, di sebuah ruang konferensi kecil nan dingin (secara harfiah dan emosional), Dr. Riva duduk di ujung meja bersama sembilan investor utama dari Indonesia—para pemegang saham utama proyek AIR, dan pemegang rekor jumlah pertanyaan kritis per menit.

Lihat selengkapnya