Hari ini, pagi dimulai dengan matahari yang bersembunyi di balik awan kelabu. Cuaca pun menjadi mendung, dan angin dingin menyapu jalanan aspal yang basah. Ditambah tetesan-tetesan hujan gerimis yang membuat pagi semakin terlihat muram.
Banyak orang yang lebih memilih untuk tetap hangat bersembunyi di balik selimut, kembali pada mimpi indah yang meninabobokan, dibanding harus bergumul dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk hingga ke tulang.
Namun, rintangan di awal hari ini tak bisa menyurutkan semangat Sam. Bagi dirinya yang sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil, cuaca mendung ini hanya terasa seperti kerikil kecil di jalan raya.
Sam mengayuh sepeda sambil tersenyum pada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Sesekali ia menengadahkan kepala ke atas, membuat gerimis membasahi wajah tampannya yang selalu penuh semangat. Apapun keadaannya, Sam memang selalu tersenyum.
Sepeda BMX berwarna merah maroon itu meluncur deras menerobos genangan air sisa hujan semalam. Kedua rodanya berputar cepat menuju sebuah restoran pizza yang terletak di persimpangan jalan.
Sepeda itu meluncur pelan ke arah bagian belakang restoran, lalu terparkir rapi diantara jajaran motor matic yang mendominasi parkiran. Lahan seluas lima meter kali sepuluh meter memang khusus dibuat untuk para karyawan resto berlogo Menara Pisa itu.
Setelah mengunci ban sepedanya dengan aman, Sam berlari kecil ke arah pintu belakang resto. Ia segera menuju loker di ruang ganti untuk mengambil baju seragam kerjanya.
"Pagi, Kak Fatma," sapa Sam dengan suara nyaring, kemudian mengambil sepotong donat dari kotak makan milik Fatma saat perhatian wanita itu teralihkan.
"Sam! Kebiasaan! Cuci tangan dulu," ucap Fatma sambil berkacak pinggang saat melihat ada beberapa noda hitam di jari-jari tangan Sam.
"Santai, Kak. Aku udah kebal," jawab Sam enteng dengan mulut penuh dengan meises coklat.
Fatma hanya bisa mendengkus kesal lalu mencubit pipi Sam dengan sebal. "Dasar nakal. Dibilangin susah banget. Awas aja. Kalau sakit perut jangan ngeluh ke aku, ya!"
Sam hanya terbahak mendengar celotehan Fatma. Ya, selain makanan-makanan dari kotak bekal Fatma, omelan dari wanita itu juga termasuk ke dalam paket menu sarapan paginya.
Sam mengunyah sisa potongan donat dengan cepat lalu bersenandung pelan. Tangannya sibuk membuka loker yang bertuliskan namanya yang terletak di pojok kanan atas.
"Semalam kamu ambil lembur lagi, ya?"
"Iya, Kak. Lumayan untuk bayar sewa rumah. Heheheheh."
Fatma menghembuskan napas panjang sambil diam-diam menatap Sam. Ia kasihan padanya. Harus kerja keras sana sini setiap hari, membiayai hidupnya sendiri sejak usianya masih sangat muda. Namun, sebagai yatim piatu, Sam tentu tak punya pilihan lain.
Sam mengambil seragamnya yang berwarna hitam di atas tumpukan kaos ganti yang sengaja di simpannya di loker. Ia lalu mengerutkan dahi saat menemukan selembar kertas berwarna putih di lipatan kaos oblongnya yang bertuliskan "Superman".
To : Samudera
Kami ingin bertemu denganmu di resto tepat pukul satu siang.
Jangan terlambat!
Membaca surat itu, dahi Sam semakin berkerut. Samudera. Tak ada yang tau nama panjangnya itu termasuk para pegawai di restoran ini. Orang-orang yang tahu nama itu hanya ibu dan ayahnya. Namun, mereka berdua sudah lama meninggal saat ia kecil.
Ibu Sam sering kali bercerita bahwa ayahnya meninggal karena kecelakaan bus saat Sam baru berusia satu tahun. Sedangkan ibunya sendiri meninggal karena penyakit jantung lima tahun lalu.
Sam mengetuk-ngetukkan jari di pintu loker yang berbentuk persegi. Sejujurnya ia penasaran, siapa kira-kira yang sudah menulis surat kaleng ini. Tanpa nama pengirim dan sangat misterius. Di surat itu juga tertulis kata "kami", itu artinya surat ini tidak hanya mewakili satu orang.
Kemungkinan besar penulis surat ini adalah orang yang ia kenal, karena bisa memasukkan surat ini ke dalam loker bahkan tepat di dalam tumpukkan-tumpukkan baju.
"Kenapa bengong aja, Sam? Kertas apa itu?" tanya Roni yang juga bertugas sebagai pramusaji saat melihat Sam hanya berdiri di depan loker. Di tangannya, terdapat selembar kertas putih bertinta hitam.
Roni membuka pelan loker miliknya sambil terus memandangi Sam dengan wajah heran. Ia sangat penasaran dengan kertas yang dipegang oleh Sam.
"Nggak apa-apa," jawab Sam cepat sambil buru-buru menyimpan kembali surat itu ke dalam tumpukan baju. Ia segera mengunci pintu loker lalu membual pada Roni bahwa kertas itu berisi daftar cicilan yang harus ia bayar bulan ini.
Secepat mungkin Sam berlalu dari ruang ganti agar tak ada lagi orang yang bertanya padanya. Ia sibuk merapikan seragam dan sudah siap untuk bekerja. Tugasnya hari ini dimulai dengan mengelap meja-meja serta dinding kaca setinggi dua meter. Peralatan-peralatan makan ia susun dengan rapi dan artistik.
Sam memang terkenal piawai dalam mendekor dan menata barang. Karena kreativitasnya, Sam juga bekerja sampingan sebagai pegawai lepas di sebuah event organizer terkenal di kotanya.
Kesibukan demi kesibukan membuat Sam tak lagi memikirkan surat kaleng misterius itu. Ia lebih suka mengantar pesanan pada para pelanggan, atau membereskan sisa makanan yang berserakan di meja dari pada harus memikirkan sesuatu yang belum jelas asal usulnya.
Sam sedang mengangkat baby chair yang baru saja selesai dipakai oleh pelanggan saat matanya tak sengaja melirik arloji yang menunjukkan pukul dua belas lewat lima puluh menit.
Angka yang ditunjukkan jarum-jarum jam itu kembali mengingatkan Sam pada pengirim surat misterius. Di surat jelas tertulis bahwa orang itu akan datang menemuinya di depan resto tepat pukul satu siang.
Diam-diam Sam melirik ke arah pintu masuk resto. Dari balik pintu yang terbuat dari kaca, ia tak melihat ada orang mencurigakan yang berada di sekitar sana. Rata-rata dari mereka adalah para pelanggan dengan wajah yang sudah sangat familiar.
Sam mengangkat bahunya. Mungkin surat itu memang dibuat oleh orang iseng. Ia menggelengkan kepala dan tersenyum, mengingat betapa bodoh dirinya yang sempat tertarik dengan sebuah surat kaleng yang tak jelas siapa pengirimnya.