Di pagi yang cerah berselimut matahari, secangkir Macciato yang menggungah selera dihidangkan seorang pramusaji di sebuah meja kayu bulat bertenda merah yang terletak di luar Cafe. Aroma kopi dan steamed milk yang menusuk hidung nyatanya tak cukup untuk membuat cangkir putih itu untuk lekas disentuh.
Sang pemesan Macciato pun hanya diam bersandar di punggung kursi, ditangannya terggenggam erat sebuah ponsel pipih berukuran 6,5 inchi. Jelas sekali sesuatu yang ada di ponselnya saat ini jauh lebih menarik minatnya dibanding secangkir Macciato yang bertengger manis di atas meja.
"Sam, apa kamu yakin masih mau datang kesana? Kalau kamu ragu, masih belum terlambat untuk membatalkannya," usul Jemi yang duduk di hadapan Sam. Berbanding terbalik dengan Macciato milik Sam yang belum tersentuh sama sekali, latte miliknya malah sudah habis tak bersisa.
"Aku nggak punya pilihan lain, Jem."
Sam menatap tiga belas angka berbeda yang tertera di layar ponsel. Deretan angka yang didapat dari kartu nama milik Andre Vertingan.
Pandangannya kemudian tertuju ke sebuah kantor notaris sejauh lima puluh meter dari tempatnya sekarang. Meski jaraknya dekat, tapi terasa amat berat untuk melangkah. Mungkin lebih tepatnya, logika Sam tidak mengizinkannya untuk pergi kesana.
Sekalipun Sam memiliki keinginan untuk menolak, tapi ia tetap tak bisa menghindar. Notaris itu adalah satu-satunya jawaban atas ribuan pertanyaan yang kini memenuhi pikirannya. Ia harus kesana untuk memastikan kebenaran tentang apa yang terjadi pada sang ayah. Serta untuk membuktikan siapa yang sebenarnya sudah berbohong?
Notaris itu? Ataukah ... memang benar ibunya?
"Sam? Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?" Jemi menggerak-gerakkan lima jari di depan mata Sam saat melihat pria beralis tebal itu sibuk termangu sendirian.
"Ya, aku dengar," jawab Sam berbohong. Padahal sejak tadi, ia tak memperhatikan sama sekali apa yang dikatakan Jemi.
"Berarti kita jadi tambah red velvet dan cheese cake, ya?" rayu Jemi dengan wajah memelas.
Sam hanya bisa menarik napas panjang melihat kelakuan sahabatnya yang tak pernah merasa kenyang. "Ya, Jem. Pesan aja yang kamu mau."
Jemi tersenyum lebar. Tanpa menunggu lama ia segera memanggil pelayan untuk memesan kue kesukaannya. Tak hanya itu, Jemi juga memesan secangkir Macciato seperti milik Sam karena tergoda dengan aromanya.
Di saat yang sama, Sam diam-diam menatap jendela kantor notaris itu sambil tersenyum kecut. Ia tak pernah menyangka ayah yang selama ini ia pikir sudah meninggal belasan tahun lalu, kini memberikannya harta warisan.
***
Jantung Sam berdegup tak beraturan saat ia sudah duduk di salah satu sofa panjang di kantor Andre Vertingan. Sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba saja datang. Sedangkan Jemi yang ikut duduk di sampingnya, dibuat terpukau dengan barang-barang mewah yang ada di ruangan itu. Termasuk lampu-lampu kristal berkilauan yang menggantung indah di tengah-tengah ruangan.
"Samudera, saya harap temanmu ini bisa menjaga rahasia seperti yang kamu katakan." Andre Vertingan duduk di sofa empuk berlengan nyaman yang berada di depan Sam. Matanya yang tajam beralih menatap Jemi. "Atau kalau tidak, saya jamin dia akan berada dalam masalah."
Jemi menelan ludahnya dengan susah payah saat Andre Vertingan bicara tentangnya. Mata hitam pekat milik notaris itu terus menatap Jemi, membuatnya merasa seperti sedang dikuliti hidup-hidup.
"Kamu percaya atau tidak, ayahmu memang meninggal beberapa hari yang lalu karena kebakaran di laboratorium milik Perusahaan double H (baca : eitch)."
"Apa itu double H?" tanya Jemi spontan. Ia lalu menutup mulut dengan kedua tangan saat melihat Andre Vertingan kembali menatap tajam padanya.
Tampak jelas sekali bahwa Notaris terkenal itu merasa terganggu saat Jemi tiba-tiba menyela perkataannya. Mungkin kalau Jemi bukan sahabat Sam, sudah sejak lama ia ditendang keluar.
"Maafkan Jemi, dia memang begitu. Otaknya sedikit agak terganggu," ujar Sam sambil tersenyum pada Andre Vertingan. Ia lalu balik melotot pada Jemi dan mencubit perut pria itu yang tertimbun lemak.
Andre Vertingan sempat mendengkus sebelum meletakkan beberapa lembar foto berukuran 10R di atas meja kaca yang dilapisi taplak beludru berwarna biru tua.
"Lihatlah dengan teliti. Ini adalah foto-foto ayahmu yang kami dapat dari CCTV saat dia masuk ke dalam laboratorium itu. Beberapa belas menit setelahnya, gedung itu meledak. Semua yang ada di sana tak ada yang selamat. Termasuk ayahmu."
Sam mengambil selembar foto yang menampilkan wajah seorang pria berkemeja putih yang hendak memasuki pintu. Sam tertegun, ia lalu mengeluarkan sebuah foto kecil dari dalam dompet. Dengan tangan gemetar ia menyejajarkan dua foto berbeda ukuran itu.
Sekilas, kedua foto itu memang memiliki banyak perbedaan. Dari tempat foto itu diambil dan pakaian yang dipakai pria di dua foto, memang terlihat kontras.