Malam semakin pekat. Embusan angin malam di musim kemarau menjadi satu-satunya teman yang mengiringi langkah gadis itu. Gadis dengan balutan cenala denim biru muda dan kaus putih itu semakin cepat mengayunkan langkahnya. Ia berusaha sesegera mungkin mencapai mobilnya yang terparkir di halaman sebuah gedung pusat kebugaran. Hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum ia mencapai mobilnya, tiba-tiba seseorang mencekal tangannya dengat erat.
“Jangan lakukan itu, Trish. Please!” Suara dingin dan menekan itu sama sekali tidak membuat gadis itu gentar.
Ia menoleh ke si pemilik suara. Dipandanginya wajah lelaki berahang tegas itu beberapa saat. “Aku harus melakukannya. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kita yang bersalah, Dareen.”
“Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya. Kau akan menghancurkan masa depan kita semua, Trish!” Nada suara lelaki yang dipanggil Dareen itu kian meninggi dan mengintimidasi.
Gadis berambut hitam sebahu itu menyatukan alisnya. Ekspresi wajahnya mengeras dan sebelah ujung bibirnya ditarik ke atas membentuk seringai miring. “Apakah kita pernah memikirkan masa depan kita ketika mempermalukan Arini? Apakah di antara kita ada yang mengucapkan bela sungkawa kepada orang tuanya saat Arini dimakamkan? Aku rasa kita semua sudah tahu, bahwa sejak awal kita tidak punya masa depan dengan membentuk perkumpulan sialan itu.”
“Mereka, the Horizon, tidak akan memaafkanmu jika kau bersikeras akan melakukan hal bodoh itu!”