“Kenapa dia tega menghabisi nyawa kakak? Kenapa sampai saat ini polisi belum juga bisa menangkapnya?” Tara mendekap bingkai foto kakak perempuannya yang telah menjadi korban pembunuhan lima tahun silam.
Mata sehijau zamrudnya mulai berkabut. Dalam hitungan detik, setetes demi setetes air bening mulai menggelincir ke pipinya. Untuk beberapa saat, ia terhanyut dalam duka dan lara. Bagai proyektor yang memutar ulang sebuah film, ingatannya kembali ke masa lima tahun silam. Gambar-gambar penuh keputusasaan dan kesedihan saling berlomba menunjukkan rupanya. Masa itu adalah masa tergelap sepanjang hidupnya.
Trisha, kakak perempuan Tara satu-satunya, pulang hanya tinggal nama. Ia ditemukan tewas dibunuh oleh kekasihnya, Dareen Taksa, di perkebunan teh yang terletak sekitar dua kilo meter dari asramanya. Tentu saja kabar itu membuat syok Tara dan orang tuanya. Saat itu Tara berusia 14 tahun. Tara kehilangan sosok yang sangat ia idolakan dan ia sayangi. Tara sangat memuja Trisha, bukan karena Trisha cantik dan cerdas, tapi karena Trisha adalah sosok kakak yang sesungguhnya. Setelah ibunya meninggal, Trisha yang lebih dekat dengannya daripada ayahnya. Trisha lah yang selalu menjaga dan melindungi Tara ketika ayah mereka sibuk dengan pekerjaannya. Sampai tiba waktunya untuk Trisha pergi ke asrama, Tara masih tidak merelakannya. Lalu, ketika ia pulang sudah berada di dalam peti mati, Tara seperti kehilangan separuh jiwa dan napasnya.
“Kamu sudah siap, Tara?” suara bass yang sedikit bergetar itu membuyarkan lamunan Tara.
Tara buru-buru menyapu air matanya dengan sehelai tisu. Kemudian, ia menoleh pada si pemilik suara yang terlihat sudah tidak sabar menunggunya dari ambang pintu.
“Sebentar lagi, Pa. Papa turun duluan saja, nanti Tara menyusul,” jawabnya.
“Baiklah kalau begitu. Papa turun duluan. Jangan lama-lama, ya, nanti keburu siang!”
Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah yang kian menjauh, lalu menghilang. Tara meletakan kembali bingkai foto kayu yang sedari tadi ia dekap, ke atas nakas di samping tempat tidurnya. Ia melangkah pelan menuju kopernya, lalu menarik handle-nya, dan segera menuruni anak tangga.
Seorang pria paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri Tara saat ia keluar dari pintu sambil menyeret kopernya. “Biar Pak Asep saja yang bawa, Non.”
“Terima kasih, Pak Asep.” Tara menyerahkan kopernya pada supir papanya.
Perjalanan menuju asrama di pinggir kota itu cukup memakan waktu. Kadang Tara berpikir, kenapa Perguruan Tinggi bergengsi yang menghasilkan banyak lulusan terbaik itu letaknya harus di pinggiran kota? di perbukitan yang jauh dari keramaian? Kenapa pengelola Perguruan Tinggi itu tidak memilih tempat yang strategis di tengah kota? Mereka mungkin punya alasan tertentu memilih tempat di pinggir kota, pikirnya.
Tiba di asrama yang berdesain Eropa abad pertengahan, Tara dan papanya, Bastian Abinaya, di sambut oleh ratusan anyelir merah yang berbaris rapih di sepanjang jalan masuk. Meskipun bangunannya agak kuno, namun asrama tersebut memiliki tampilan yang sangat menarik. Terletak di lingkungan yang alami dan memiliki banyak ruang terbuka membuat asrama ini tampak sangat nyaman dan kondusif untuk suasana belajar dan beristirahat para mahasiswa.
Dari kejauhan, Tara melihat seorang wanita bersetelan blazer biru melambaikan tangan.
“Pa, itu Bu Mercy.” Tara menunjuk wanita yang tengah menunggunya di depan asrama.