Sasti mendatangi meja Refki untuk yang keempat kalinya. Kali ini ia tidak akan kembali ke meja sebelum desain konten hari ini selesai. Social media specialist mana yang tidak panik kontennya belum siap tiga puluh menit sebelum jadwal naik?
“Ki, lama banget, sih?” Sasti tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesalnya.
“Sabar. Lo ngasih revisinya banyak banget!”
“Kan udah dibilang kontennya harus naik jam lima.” Sasti melirik jam di tangan kirinya. 16:31. “Lagian udah dikasih brief masih aja salah.”
“Brief-nya nggak jelas dari awal.” Refki sama sekali tidak menoleh ke lawan bicara. Perhatiannya tetap fokus pada layar PC, tapi meladeni Sasti adalah sebuah keharusan. Karena ia merasa kendala yang terjadi bukan penuh atas kesalahannya.
Sasti sedikit tidak terima hasil kerjanya dibilang tidak jelas. “Makanya kalau kirim draft jangan mepet, biar bisa dicek dulu.”
“Siapa suruh atur deadline-nya salah.”
Sasti menghela napas pendek. Kesalahan di awal emang ada apa dirinya dalam mengatur tanggal posting yang mundur satu minggu dari yang seharusnya. Sasti sudah mengkonfirmasi dari tiga hari yang lalu, tapi Refki baru memberikan draft-nya jam tiga sore tadi.
Jadi Sasti tidak bisa melakukan pembelaan lagi.
Sepuluh menit berlalu, Refki meminta Sasti untuk mengecek desainnya terlebih dahulu. Kali ini ia menoleh ke arah wajah serius Sasti. “Tuh. Apa yang kurang?”
“Warna tulisan headline-nya boleh diganti nggak? Ungu, misal?” intonasi suara Sasti sudah lebih tenang.
“Ungu? Nggak cocoklah!”
“Ya apa kek, gitu? Yang lebih eye catchy?”
Refki mengganti tulisannya dengan warna yang lebih cocok dengan tema yang digunakan, lalu memberikan sedikit efek.
“Ukurannya terlalu kecil nggak, sih?”
Kali ini Refki yang menghelas napas. Tanpa banyak bicara ia mengikuti instruksi tersebut.
“Ih, bukan judulnya! Bagian bawahnya maksud gue.”
“Siram pakai soda api aja, Ki!” celetuk Mas Heru, salah satu senior mereka yang menyimak keributan di meja Refki. “Sekali-kali mah gak apa-apa.”
“Emangnya aku WC mampet?!!” Sasti mencibir, lalu ia membela diri. “Lagian main diganti aja.”
“Ya lo nggak bilang mana yang diganti. Dasar Gen Z!” sahut Mas Heru. Tampaknya Refki sudah tidak perlu ikut berkomentar kalau sudah ada seniornya itu.
“Dia juga Gen Z.” Sasti menunjuk Refki sedang mengotak-atik desainnya. “Kok jadi Mas Heru yang emosi, sih?”
“Gue jubirnya Refki kalau dia tiba-tiba kicep desainnya dicecar kayak gitu.”
Mas Heru pasti sudah tidak asing melihat pemandangan seperti ini yang sering terjadi. Si social media specialist yang nangkring di meja graphic designer sampai desainnya selesai. Kadang tugasnya menengahi kalau sudah berdebat, tapi lebih sering mengompori.
“Coba cek lagi.” Refki kembali meminta Sasti untuk mengecek.