The Art of Knowing You

Alvi Aprilia
Chapter #3

Bab 2: Kegelisahan Sasti

Ternyata masih ada dua akun sosial media Nadiko yang belum Sasti coba cari: Facebook dan TikTok.

Disclaimer, Sasti tidak bermaksud untuk mengganggu kehidupan Nadiko. Ia hanya ingin tahu, tanpa mengusik. Semalam Sasti membaca artikel tentang cyberstalking. Adalah tindakan penguntitan di dunia maya untuk mendapatkan informasi pribadi, meneror, dan bahkan melecehkan seseorang. Tapi Sasti tidak melakukannya sampai sejauh itu.

Untuk memastikan tindakannya tidak melewati batas, ia sampai bertanya kepada Indy di perjalanan mereka menuju tempat makan.

“Menurut lo, gue cringe nggak kalau sampe cek semua akun sosial media Nadiko?”

“Ya nggak dong?” Indy mengernyit. Ia duduk dibalik kemudi, sementara Sasti duduk manis di sebelahnya. “Kenapa memang?”

“Gue masih penasaran banget sama Nadiko. Akun sosial medianya dikunci semua. Mana kemarin dia segala nanya lagi ke gue! Gue kan jadi…gugup? Aduh, Ndy, lo paham kan gimana rasanya?”

“Iya, paham. Padahal dia cuma nanya soal konten, bukan nanya lo udah punya pacar apa belum.”

“MAKANYA!” Sasti menggebu. Lantunan lagu Strawberry and Cigarettes menjadi latar suara obrolan mereka. “Gue sampai cari tahu di internet dan baca artikel tentang cyberstalking. Takutnya tindakan gue udah menjurus ke sana.”

“Terus?”

“Yaa … cyberstalking itu intinya menggali privasi dan menguntit orang lewat internet. Tindakannya kayak gangguan, ancaman, dan kekerasan.”

“Jadi, intinya?” Indy mengangkat kedua alisnya. Ia paham betul dengan karakteristik Sasti meskipun baru mengenalnya selama satu tahun.

“Intinya gue nggak termasuk cyberstalking?” Sasti menjawabnya dengan ragu-ragu.

“Nah, itu tahu. Terus kenapa?”

Sasti diam beberapa detik. “Iya juga, ya?” kemudian ia mengulang pertanyaan pertamanya. “Jadi menurut lo, gue cringe atau nggak?”

“Kalau itu … coba lo memposisikan diri sebagai Nadiko.”

Sasti mengubah posisi duduknya yang tiba-tiba merasa tidak nyaman. “Takut, sih, kalau ada stranger yang ngulik-ngulik tentang kita.”

“Iya, memang sedikit cringe. Tapi gini, kita pasti tahu batasan informasi diri yang mau kita cantumkan di sosmed, ‘kan? Mulai dari public figure, artis, selebgram, sampai butiran debu kayak kita pasti nggak mengekspos diri kita sepenuhnya. Sekarang gue tanya, lo tau dari mana tempat kerja dia?”

“LinkedIn.”

“LinkedIn tuh memang sosial media profesional, bukan? Tempat kita cari kerja, relasi, dan personal branding. LinkedIn bisa juga dibilang CV online. Di sana pasti tertera nama perusahaan dan jabatan kerjanya. Jadi memang tempatnya. Nah, dari mana lo tahu tanggal dan tahun kelahiran dia?”

“Dari X.”

“Ada pengaturannya ‘kan mau dipublikasikan atau nggak tanggal dan tahun kelahirannya itu? Jadi memang pilihan dia untuk menampilkan di profilnya. Nadiko memang ingin orang-orang tahu.”

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di lampu merah. Indy mengetik sesuatu di ponselnya sebelum diberikan ke Sasti. “Baca.”

“Menurut KBBI, hak privasi adalah kebebasan atau keleluasaan pribadi. Melalui hak privasi, seseorang berhak menentukan sejauh mana informasi tentang pribadinya dapat dikomunikasikan kepada pihak lain ataupun diakses oleh orang lain.” Sasti membaca beberapa kalimat di bawahnya.

Indy menyimpulkan. “Jadi, informasi yang lo dapetin dari semua sosial media Nadiko itu emang udah dia tentukan sendiri apa saja yang ingin dipublikasikan. Buktinya Instagram dan X dia dikunci, artinya Nadiko juga nggak ingin orang-orang tahu kehidupan dia. Inget ya, stalking itu penguntit dan menggali privasi seseorang. Lo nggak, lo cuma ingin tahu.”

Indy tahu betul karakteristik Sasti seperti apa. Sasti selalu tidak percaya diri sehingga membutuhkan validasi atas hal-hal yang ia lakukan. Sasti tahu semua hal baik dan buruk serta konsekuensinya. Peran Indy di sini hanya menumbuhkan rasa kepercayaan itu dan membuang kecemasan yang sebetulnya sangat tidak diperlukan.

Lihat selengkapnya