The Art of Knowing You

Alvi Aprilia
Chapter #4

Bab 3: Setelah Berbulan-bulan Berlalu

Sasti mencoba mencari celah kemungkinan kecil untuk bisa bertemu Nadiko di perjalanan ke kantor. Hari ini ia berangkat lebih pagi. Kalau biasanya Sasti selalu berada di gerbong belakang, kali ini ia berjalan sampai ke tengah. Kantor mereka hanya berjarak 2,6 kilometer. Kalaupun memang naik kereta, Nadiko pasti akan turun di stasiun yang sama dan melanjutkan perjalanan naik transportasi dengan tujuan yang sama pula.

Kalau memang Nadiko indekos di Jakarta, maka peluangnya sangat kecil, bahkan nyaris tidak ada. Tapi sekali lagi, ia hanya berusaha mencari celah dari peluang kecil itu. Jikalau pun, kedua mata Sasti menangkap sosok Nadiko di antara ribuan pengunjung kereta pagi itu, tidak ada yang akan dia lakukan. Maka ketika tidak ada tanda-tanda keajaiban itu akan datang, Sasti tetap menjalankan harinya seperti biasa.

Begitu sampai di kantor, Sasti langsung menulis to do list untuk hari ini. Lalu ia pergi ke pantry untuk menyantap sarapannya. Ia sampai tidak sempat sarapan karena berangkat lebih awal dari rutinitasnya.

“Pagi, Mas.” Sasti menyapa Mas Heru yang sedang menyeduh kopi.

“Pagi, Sas. Tumben sudah datang?” Mas Heru saja sampai terheran-heran melihat kehadiran Sasti sepagi ini.

“Hehe, iya. Pengen tahu bedanya suasana kantor gimana kalau belum banyak penghuninya.” Sasti menjawab asal.

Mas Heru menanggapinya dengan serius. “Apa tuh bedanya?”

Sasti berpikir beberapa detik. “Lebih dingin.”

Mas Heru hanya mendesah. “Sarapan apa, tuh?”

“Nasi uduk. Mau, Mas?” Sasti membuka styrofoam putih yang dibawanya. Isinya ada nasi uduk, tempe orek, telur balado, timun, dan daun kemangi. Terlihat menggiurkan. “Nggak usah lah ya, Mas?”

“Emang kurang ajar lo ya!” damprat Mas Heru kesal. Beliau ini salah satu senior yang paling bisa diajak bercanda, apalagi kalau ada sohibnya, Mas Kilo. Makanya Sasti bisa leluasa untuk iseng seperti itu.

Sasti hanya cekikikan. “Nih, kalau mau. Nggak pedas tapi, soalnya karetnya cuma satu.”

“Lo kata gado-gado!” celetuk Mas Heru yang kini menarik kursi di sebelah Sasti. “Nggak, deh, gue udah sarapan salad sisa semalam.”

“Gaya bener! Kuat tuh perut sampai jam makan siang?”

“Ya paling nanti jam sepuluh udah nyari nasi.”

Sasti hanya tertawa. Kali ini ia menawarkannya dengan serius, tapi Mas Heru juga menolaknya dengan serius. Katanya kopi hitam saja sudah cukup. Soal jam sepuluh sudah cari nasi itu pasti akan terjadi.

“Lo punya pacar nggak, Sas?”

“Kenapa memang?” Sasti malah balik bertanya.

“Ya jawab aja, sih!”

Sasti tertawa, lalu menggeleng. “Nggak.”

“Gebetan?”

“Nggak juga.”

“Masa, sih? Lo galak ya kalau ke cowok?”

Lihat selengkapnya