The Art of Move On

Glen James Alexander Sahetapy
Chapter #2

The Art of Move On

Setelah berbulan-bulan hatinya berpantomim dan melalui berbagai monolog dengan pikirannya sendiri, termasuk, lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa…

Ya, patah hati membuat Deus bisa menikmati lagu-lagu rohani dengan bersungguh-sungguh sekarang. Dia sudah bisa mengangkat tangan saat bernyanyi di gereja, sekonyong-konyong berkata: ‘Amin!’ pada apa yang dikatakan pendeta dan kutipan ayat-ayat alkitab juga berdoa ebih khusyuk.

Pelan-pelan, ia sekarang telah melupakan semua sakit hati maupun kenangan masa kejayaannya dulu dan menikmati kehidupan sebagai seorang seniman. 

Sekira dua minggu yang lalu, secara tidak sengaja dia bertemu Prisca, seorang pengrajin keramik kekinian di Gallery Dogol, tempat ia biasa memamerkan sekaligus memasarkan hasil karya. 

Dia menyukai Priska karena keduanya punya punya ketertarikan yang sama. Apalagi kalau bukan seni. Wanita itu memiliki sebuah studio keramik sendiri yang ia dirikan bersama teman-temannya.

Setelah menutup pintu hati selama sekian lama, akhirnya Deus mulai meruntuhkan kembali benteng perasaan yang ia bangun selama hampir empat bulan.

Mengendarai motor besar tuanya, menjelang sore itu Deus telah tiba di Gallery Dogol. Ia masuk ke dalam galeri dan seperti biasa, sebelum bertemu pria setengah baya yang merupakan ‘bos’-nya itu, ia menyempatkan diri menengok beberapa karya baru yang terpampang di situ.

Perhatiannya kemudian tertuju pada satu lukisan semi abstarak yang menurutnya begitu indah. Ia memperhatikan lukisan tersebut dengan seksama. Timbul rasa kagum didalam hatinya sehingga mematung dihadapan hasil karya seni tersebut.

“Hei, mblo…, ngapain kamu dateng ke sini?”

Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Deus. Itu adalah Pak Dogol. Deus membalikkan badan dengan tersenyum tipis.

“Mau nyairin invoice, Pak,” ucap Deus seraya mengangkat alis singkat.

“Wooo…, bocah bisanya minta uang terus! Kalau kerja lama. Giliran ngambil bayaran aja cuepet…!” kelakar Pak Dogol membuat nada berbicaranya bak keluhan.

Deus tersenyum jenaka sembari kembali menoleh ke arah lukisan besar yang terpampang di hadapannya.

“Kenapa? Lukisannya bagus ya?” Pak Dogol berujar. Ia berdiri di sebelah Deus.

“Ini…?” Deus bertanya singkat menggantung. Sambil memandangi Pak Dogol, dia menunjuk ke arah lukisan.

“Nandang Suryana.”

“Pantesan! Kenapa Kang Nandang kalau bikin lukisan keren amat, ya… dia ngopinya cat kali, ya, Pak?”

“Emang kamu…, patah hati terus banyak menghirup aibon?”

Lihat selengkapnya