The Author

Chesar Kurniawan
Chapter #1

Bab Satu

Buku rahasia dicuri. Berita lama dimuat kembali. Pada hakikatnya berita itu sudah menjamur beberapa tahun terakhir. Kini terdengar kabar lagi. Seperti sengaja diberitakan karena ada kemungkinan yang menghebohkan. Jauh sebelum itu, ada pelaku kriminal ditangkap pihak berwajib. Orang itu melakukan skandal, tapi tidak ketahui secara jelas kasusnya. Masyarakat tidak peduli dengan berita itu. Mereka hanya mengangguk dan memuji polisi yang cakap menangani sebuah kasus. Berkat buku itu, pamor polisi mendapat stigma positif. Lain denganku, tidak begitu peduli dengan kinerja polisi dan buku yang dipuja-puja oleh banyak orang. Tak pernah ingin tahu apa yang orang lain lakukan, terserah mereka. Aku lebih memikirkan diriku sendiri. 

Goyangan gerbong kereta tidak menggangguku membaca buku. Aku tetap serius membaca deretan kata-kata menarik dan terangkai rapi. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Aku tidak memalingkan wajah, tetap membaca. Menikmati tulisan yang menyihir hati dan pikiran. Seorang wanita duduk di sampingku. Wanita itu menunduk sibuk dengan gadget. Rambut poni halus menutupi sebagian matanya. Sedikit terusik dengan tawanya yang ditahan. Sekali aku diamkan, dua kali coba menahan agar tidak menegur, dan ketiga segera menoleh menatapnya. Dia menoleh dan tersenyum.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Gincu tipis pada bibirnya menegaskan kalau dia wanita paling cantik.

"Aku sedikit terganggu dengan tawamu," jawabku datar.

"Oh ya." Dia tertawa tak bersuara. "Kalau begitu aku minta maaf." Wanita itu mengubah ekspresi tidak enak. Netranya melebar melihat buku yang kupegang. "Kau punya buku milik Dean Koontz?"

"Iya. Memang kenapa?" tanyaku penasaran.

"Tidak apa-apa. Zaman sekarang sudah mengandalkan buku digital, tapi kau masih membaca buku fisik." Wanita itu menunjukkan gadgetnya.

Dia sedang membaca buku digital. Bukan yang sudah diterbitkan, melainkan cerita platform. Aku tidak berkomentar, hanya memperhatikan saja. Akan lebih panjang kami berbicara jika dia tahu aku tidak menyukai buku digital. Mungkin kami akan berdebat sepanjang perjalanan. Aku tidak suka berdebat dan itu tidak penting. Selain itu, tak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.

"Oh ya!" Dia menepukku. "Apa kau tahu buku ini?"

Buku "Mata dan Tangan" telah hilang, tagline dalam berita online. Aku mengangkat satu alis. Judul buku itu baru pertama kali aku baca. Namun, sering mendengar kalau pernah menjadi musuh bagi pelaku kriminal. Semua bentuk kejahatan tercantum di sana. Bahkan penulis diburu oleh orang-orang jahat. Entah golongan dari mana mereka. Rumornya, penulis mengasingkan diri di sebuah tempat. Tidak ada satu orang pun yang tahu dia di mana. Aman atau tidak. Mungkin karena panik, dia memilih menyembunyikan diri.

"Hey." Jemarinya melambai di depan wajahku, menunggu jawaban.

"Aku pernah mendengar saja. Belum pernah membaca atau melihatnya." Aku memasukkan buku ke dalam tas. "Kenapa buku itu bisa hilang?"

"Entahlah." Wanita itu sibuk dengan gadget. "Mungkin salah satu pelaku kriminal sudah menemukan penulis itu dan memaksa menyerahkan bukunya, atau penerbit buku terkait dirampok?"

Aku mengisap gigi. "Itu tidak mungkin. Kalau memang dirampok. Pasti penerbit melapor." Aku mengeluarkan ponsel untuk browsing tentang buku itu. "Tidak ada yang aneh. Hilangnya buku secara misterius."

"Kau benar," timpal wanita itu. "Tapi aku masih penasaran siapa yang mencurinya?" Telunjuknya memukul-mukul dagu.

Obrolan kami terhenti karena aku harus turun dari kereta. Memeriksa kembali barang yang kubawa dari dompet, ponsel, dan tas beserta isinya.

Wanita itu menahanku berdiri. "Kita sudah lama berbincang, tapi belum sempat kenalan. Aku Siska." Tangan putih kurus menjulur.

"Nelwan." Kusambut tangannya. Bergenggaman beberapa detik.

Satu kakiku melewati celah peron dan dia berkata, "Hati-hati. Semoga kita bertemu lagi."

Aku mengangguk dan tersenyum.

Satu menit setelah aku turun, kereta berangkat lagi. Wanita itu sudah tidak ada di sana. Mataku mencarinya. Kurasa dia pindah tempat duduk. Setelah turun, hanya segelintir penumpang di sana. Tentang buku yang hilang itu, membuatku berpikir keras. Rasa penasaran tetiba muncul. Selama ini tidak peduli dengan buku orang lain, tapi sekarang risau dengan buku yang hilang. Setiap kali mendengar buku rahasia, aku seperti sesak napas seperti terhantam palu godam. Merasa dekat dengan buku itu. Aku semakin penasaran dengan penulisnya. Siapa dia?

Jalan raya Rawa Buntu tambah ramai dan macet. Itu disebabkan karena ada pelebaran jalan. Aku berjalan di trotoar lawan arah dengan kendaraan. Melewati beberapa penjual makanan seperti gado-gado, tahu sumedang, dan martabak. Berbelok ke sebuah gang dengan gapura menjorok ke belakang. Banyak anak-anak remaja berkumpul di depan gang. Mereka bercengkerama dan bercanda. Hanya terdengar samar-samar topik pembicaraan mereka karena aku menjejal earphone sebelah. Siang sampai sore di sini selalu ramai. Banyak pemuda yang sekadar nongkrong sambil menikmati kopi. Aku terus melangkah hingga berhenti di sebuah warung. Di depan rumah kontrakan ada dua orang pria berbaju hitam dan satu wanita berambut pirang. Wanita itu berpakaian dress merah tanpa lengan.

"Siapa kalian," tegurku pelan.

Ketiganya balik badan terkejut. Wanita pirang tersenyum penuh arti. Ketiga orang itu menghampiriku. Wanita rambut pirang langkahnya tegas. Hentakan kaki ke aspal sangat kencang. Aku bisa merasakan itu. Tiga orang asing ini membuatku bertanya-tanya. Tak pernah mempunyai teman atau kolega seperti mereka. Mungkin orang jahat, tapi aku tidak pernah mempunyai musuh. Orang suruhan. Tidak mungkin juga. Sepertinya wanita pirang pemimpin dua orang berbaju hitam. Sudah jelas dari posisi mereka berdiri. Wanita pirang berdiri agak ke depan daripada dua pria dibelakangnya. Mataku tertuju pada wanita itu yang sedari tadi tak berhenti tersenyum. Entah apa arti senyuman itu atau mungkin memang dia suka tersenyum ketika berhadapan dengan orang lain.

Lihat selengkapnya