Ketika Wrekodara membuka mulutnya untuk bersuara, mendadak Atmosfir di ruangan itu berubah. "Aku tidak suka ini," ujar Wrekodara dengan suaranya yang dalam namun sekaligus menggelegar tiba-tiba tanpa perlu basa-basi. Orang ini bahkan memiliki kebiasaan berdiri ketika sedang berbicara. Ia hampir selalu menolak untuk duduk atau sekadar bersopan-sopan. Namun, semua orang yang mengenalnya dengan baik pasti wajar akan perilakunya, apalagi semua anggota keluarga dan adik-beradiknya. Suara beratnya seakan memenuhi ruangan walau dengan kalimat yang pendek-pendek dan straight to the point.
Puntadewa melirik ke arah Wrekodara, "Maksudmu penjualan narkoba di kota Wanamarta ini, Adi?" Adi adalah sebutan untuk saudara yang lebih muda. Wrekodara mengangguk tanpa bersuara.
Puntadewa mereguk cocktailnya. Tanpa ekspresi ia berkata kepada adiknya itu, "Tak ada cara lain, kita harus singkirkan para pecandu madat jahanam itu. Drugs bukan bisnis yang sehat. Keuntungannya besar, tapi kita akan terlalu repot dengan resikonya."
Ia menyesap cocktailnya lagi sembari bertanya pada Wrekodara, "Sudah berapa yang kau singkirkan hari ini, Adi?"
Orang yang ditanyai menunjukkan lima jarinya, "Begundal madat dari klan bhuta," ujarnya pendek.
Sang rupawan Janaka tertawa kecil. Kerut-kerut di wajahnya semakin menampakkan dan menonjolkan ketampanannya. "Kakang Puntadewa, aku saksikan Kakang Wrekodara menyisakan kaki mereka saja untuk tidak dihajar agar mereka bisa membawa tubuh mereka yang menyedihkan itu pergi dari sini," ujarnya.
Kakang adalah sebutan untuk saudara yang lebih tua.
Janaka berdiri dengan anggun, "Para anggota klan bhuta dan gandharwa, mungkin juga kelompok jim sudah pasti mengincar lahan kita, Kakang. Tak ada cara lain. kita sudah harus melaksanakan siasat menyerang."
Puntadewa sekarang memalingkan wajahnya ke saudara kembar Tangsen Pinten. Yang merasa dituju segera sadar. Tangsen mengenakan topi derbynya, kemudian menegakkan tubuhnya sembari berdehem, "Ehem ... Begini Kakang-Kakangku sekalian," ia memandang Tangsen seakan meminta persetujuan. Tangsen, sang saudara kembar pun lalu mengangguk mantap.
"Kami sudah melakukan apa yang Kakang Puntadewa perintahkan. Beberapa bar dan motel sebenarnya sudah jengah dengan kelompok bhuta dari perusahaan Pringgandani Corporation, awalnya mereka tidak yakin kalau kita yang mengambil alih manajemen mereka. Meski kita tahu bahwa tujuh puluh persen bisnis di Wanamarta ini adalah milik Hastina Enterprise, dengan kata lain adalah milik kita. Bisnis hiburan lain masih dikuasai kelompok Pringgandani, termasuk apartemen dan pusat perbelanjaan. Tapi seperti yang kita tahu, bisnis madat mereka adalah yang nomer satu. Dengar-dengar mereka juga bermain di penjualan senjata gelap, uang palsu, prostitusi dan lahan jasa keamanan .... "