The Babad Noir Chronicles

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #11

the bookstore

Lampu-lampu beragam cahaya mulai dihidupkan di casino, bar, nightclub, pub, restoran, hotel, apartemen-apartemen, termasuk lampu jalan yang menggantung di tiang tinggi dan memengkok. Pasangan kekasih bergandengan berjalan cepat dan ceria, berhenti hanya ketika mobil-mobil Ford Thunderbird atau Chevrolet Corvette merah lewat sebelum mereka menyebrang jalan. Dua bangunan raksasa menjadi latar belakang kota kecil itu. Satu gedung adalah sebuah pabrik pengepakan daging, sedangkan satunya yang lebih kecil namun terlihat lebih terang adalah sebuah lembaga dan perusahaan yang bergerak di bidang medis.

Keduanya milik sebuah perusahaan raksasa bernama Pringgandani Corporation atau Pringgandani Corp.

Kota kecil di bagian timur jauh Wanamarta Town itu terbangun di malam hari. Siang adalah kehidupan palsunya. Sebaliknya, malam adalah kehidupan yang sejatinya. Keadaan ini jelas berbeda dengan kota pusat Wanamarta dimana siang adalah kehidupan dan malam adalah waktu dimana mayoritas masyarakat menutup pintu rapat-rapat karena para pecinta kejahatan mulai mengeluarkan cakar mereka ketika malam kelam hadir menyapa dengan paksa.

Namun, tetap saja, di balik gemerlap malam, sudut-sudut kota kecil ini tetap menyimpan kegelapannya. Empat blok ke arah sebuah gudang barang, satu sosok misterius berjalan melewati blok demi blok di keremangan jalan. Lampu jalan temaram menyamarkan wajahnya yang tertutup cap hitam yang nampak kebesaran untuk kepalanya. Ia mengenakan jaket kulit dan celana panjang denim yang oversized.

Sosok itu berjalan mantap walau terlihat sekali menghindari keramaian menuju ke sebuah toko buku kecil yang berwarna-warni karena kaca display nya yang dihiasi oleh kaca patri atau came glasswork dan leadlight. Potongan-potongan kaca kecil disusun membentuk sebuah pola atau gambar, disatukan dengan bilah-bilah timbal dan disangga dengan bingkai kaku di Samping dan di atas jendela display dan sedikit bagian di atas pintu dan ventilasi. Di bagian atas kaca patri jendela display itu tertulis besar-besar tulisan dengan font berjenis Helvetica, 'Kalabendana Classics. Manuscripts, Scriptures and Bookstore.'

Tumpukan buku-buku bersampul kulit yang kecoklatan dengan tulisan judul dan penulis buku yang keemasan atau berwarna merah terang bersatu dengan buku-buku yang usang dimakan waktu menjadi pemandangan yang kontras dengan kaca patri yang berkilauan. Namun pemandangan ini malah membuat sebuah kepuasan tertentu bagi para pejalan dan pengunjung toko buku ini. Belum lagi cahaya lampu dari dalam bangunan yang memberikan efek bermain pada kaca-kaca tersebut.

Sosok itu menurunkan ujung cap nya agar tetap menutupi wajahnya ketika telah Sampai di depan toko buku tersebut. Ia melihat kiri dan kanan sebelum membuka pintu perlahan. Gerakan ini menimbulkan bunyi lonceng yang diletakkan di atas pintu bagian dalam. Bau buku menyeruak. Selain tumpukan buku di lemari, display, bahkan di lantai, ada pula gulungan perkamen dan kertas-kertas dengan beragam bentuk dan format. Ia menarik nafas panjang menghirup bau yang luar biasa menenangkan ini.

Di belakang meja setinggi dada orang dewasa berdiri seseorang dengan kepala yang sedikit lebih besar dari badan yang menopangnya. Ia berdiri menggunakan pijakan tambahan agar dapat terlihat oleh pelanggan. Memang ia masih cukup muda, tapi tetap saja struktur tubuhnya tidak biasa. Sepertinya sewaktu kecil ia menderita stunting yang membuat tubuhnya berhenti tumbuh. Namun dibalik bentuk fisiknya, aura wajahnya menunjukan ketentraman dan kenyamanan. Rambutnya lepek seperti menempel di kepala saja. Dua giwang lebar di kedua telinganya menambah ketidakcocokan parasnya. Ada pula sedikit bibit kumis dan jenggot samar di wajahnya. Ia mengenakan sweatshirt berwarna krem dan kacamata dengan frame terbuat dari cangkang penyu.

Lihat selengkapnya