"Mengapa kita terjebak dalam dunia ini, Adi Kalabendana? Mengapa aku harus dilahirkan dalam kelompok bhuta? Mereka mengagung-agungkan status mereka yang padahal berkonotasi negatif, disamakan dengan mafia dan gangster atau organized crime lainnya. Kita berbisnis, meski aku paham tak gampang menghindari sisi gelapnya. Tapi, narkoba, prostitusi?! Aku jijik dengan ini semua. Harusnya kita dikenal sebagai raksasa bukan karena perilaku kita yang barbar, tapi karena kehebatan dan kekuatan kita dalam berbisnis, membangun kerajaan Pringgandani Corp. dengan kepala tegak karena bangga, bukan karena jemawa. Kita bisa saja sogok para Batara, para aparat keparat itu. Kita bisa intimidasi orang-orang yang tidak sejalan dengan rencana bisnis kita. Bahkan kaum Jim dan Gandharwa lebih terhormat, menjadi rentenir. Mereka bisa menunjukkan taring mereka dan bekerja dalam diam.”
Arimbi nampaknya tak mampu menahan lagi gejolak di hatinya. Ia meledakkannya di depan sang adik.
"Bagaimana dengan kau, Adi? Lihatlah, buku dan ilmu pengetahuan adalah jiwamu. Tapi kau harus mengenakan giwang lebarmu. Karena kau adalah seorang bhuta. Sepasang anting-anting itu memaksa kita bertindak sebagai seorang bhuta, yang kasar, yang jahat dan mungkin buruk rupa."
"Itu sebabnya tak kau kenakan sepasang giwangmu dan berpakaian seperti laki-laki ini, Kangmbok?" respon Kalabendana.
"Apa yang terjadi pada kita, Adi?" Arimbi tidak mengacuhkan pertanyaan Kalabendana yang terakhir. Bunyi klakson mobil Chevy terdengar lamat-lamat dari kejauhan. Beberapa pejalan kaki melewati toko Sambil tertawa-tawa.
"Kau tidak suka dengan cara Kakang Arimba memimpin Pringgandani? Padahal, kau adalah harapan Kakang untuk menggantikan kedudukannya suatu saat, bukan?" ujar Kalabendana sembari menatap Arimbi lekat-lekat.
"Pada saat hari itu datang, aku sudah bungkuk, beruban dan sudah lupa segalanya. Mendiang ayah kita Arimbaka adalah seseorang yang masih keturunan Batara, kaum penguasa. Ia adalah lelaki yang ambisius. Sifatnya yang tidak hanya ambisius namun juga keras, serakah dan mau menang sendiri membuatnya menemukan ibu kita, Adimba, seorang bhuta sejati. Pernikahan mereka membuat keluarga kita menjadi golongan bhuta,” ujar Arimbi.
"Kau tahu adikku, ayah yang kejam dalam bisnisnya berhasil merebut perusahaan Prajatisa dari tangan Bomantara. Dengan liciknya ayah menyerahkan perusahaan itu pada Narakasura, pesaing berat Prajatisa yang sedari dahulu bernafsu ingin memilikinya. Sebagai gantinya, ayah menginginkan wilayah bisnis Tunggarana dari perusahaan itu sebagai milik Pringgandani Corp. Hanya Pringgandani yang boleh menjual daging kemasan dan obat-obatan di area Tunggarana. Gaya monopoli ini yang membuat kaum bhuta kaya raya dan menguasai separuh Wanamarta Town yang pada dasarnya masih di bawah kekuasaan bisnis Hastina Enterprise. Hastina Enterprise ... Milik Master Pandu ...," lanjut sang gadis. "Ya, sahabat sekaligus mentor mendiang ayah kita."
Arimbi menyentuh tumpukan buku tanpa ada maksud apa-apa, "Aku tak bisa menyalahkan Kakang Arimba yang seperti menyalin sifat ayah. Itu alamiah. Apalagi Kakang benar-benar ikut ayah dalam misi bisnis menguasai Prajatisa dan mengambil alin Hastina Enterprise meski yang terakhir tidak berhasil. Saat itu jaman begitu keras. Pengguasaan dan monopoli bisnis adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pertumpahan darah tidak bisa dielakkan. Dan kau tahu adikku, kita sekarang sedang kembali menuju ke masa itu."
Kalabendana memainkan cangkir espressonya, "Bagaimana sebenarnya ayah kita dibunuh?"