Arimba menyentuh dagunya yang lebar dengan jari-jarinya yang juga tebal dan gempal. Tampak sekali ia sedang berpikir keras. Namun, pada akhirnya raut wajahnya perlahan melembut. Mungkin sekali setuju dengan ucapan sang adik.
Melihat respon sang kakang yang terlihat cukup positif tersebut, seperti mendapatkan sinyal persetujuan, Brajamusti memutuskan melanjutkan ucapannya dan meneruskan maksudnya. Ia mendadak memandang Brajadenta tajam. "Kau berhenti dulu dengan pelacur-pelacurmu!" bentaknya, tetapi dengan tanpa emosi yang berlebihan.
Mendengar ini Brajadenta sontak berdiri "Bangsat kau Brajamusti! Aku tak mengerti maksudmu. Main asal tuduh saja kau!" tolaknya dengan penuh amarah dan kekesalan. Bentuk protesnya ini juga cukup mengejutkan yang hadir di tempat itu selain tuduhan tiba-tiba Brajamusti tadi.
"Kau paham benar yang kumaksud, bukan? Itu sebabnya kau bangkit berdiri dan mencoba berdalih. Dari mana kau tahu apa maksudku padahal aku cuma mengatakan kata 'pelacur'? Bisnis prostitusimu memalukan keluarga ini!" balas Brajamusti, masih juga dengan emosi yang tak terlalu berlebihan apalagi menggebu-gebu.
"Bajingan kau!" Brajadenta membuang kursinya dan mendorong dada Brajamusti, adiknya, dengan keras. Brajamusti termundur sedikit ke belakang tanpa terlihat tanda-tanda gentar. Namun sebelum perkelahian dan adu jotos terlanjur terjadi, bentakan Arimba menghentikan Brajadenta untuk bertindak lebih jauh.
"Berhenti kau Brajadenta. Duduk! Ambil kursimu yang kau lempar itu, atau kupecahkan kepalamu dengan tanganku sendiri."
Brajadenta menahan amarahnya setengah mampus. Otot-otot menyembul dari lengannya, urat-urat leher tercetak di kulitnya dan darah serasa melaju cepat ke otaknya. Dengan sangat kesal Brajadenta terpaksa menuruti perintah Kakangnya yang memang sangat tegas itu.