Yudhistira, sang pemimpin, kembali menatap mata para saudara dan rekan serta sahabat-sahabatnya dari kelompok dan klan gandharwa. "Di masa dahulu semua pesaing bisnis kita gentar ketika masuk ke Wanamarta. Para bhuta, para batara, apalagi keluarga Bharata dan Kuru,” jelas Yudhistira sebagai pengingat kehebatan dan hubungan mereka di masa lalu. Suaranya sedikit bergetar karena penuh dengan emosi yang ditahan agar tak meluap-luap apalagi meledak-ledak. Jim dan gandharwa tak mungkin dapat dipisahkan baik secara sejarah maupun emosi.
Tak lama, sang pemimpin yang memiliki wibawa luar biasa itu kemudian melanjutkan, “Kita memang mungkin memiliki banyak kelemahan, kita juga bukan yang terkuat, tapi bukan berarti kita tidak punya aturan dan moral code yang harus diikuti dan ditaati oleh semua anggota klan kita ini. Sudah sedari lama kita memahami dan mengerti dengan baik bahwa para kelompok dan keluarga utama bhuta jelas bukan pemimpin yang baik atau bijak, dan bisa diandalkan. Mereka tidak sekadar brengsek, bejat dan tak memiliki aturan main sehingga semua ciri itu membuat mereka tak pantas untuk dihormati. Namun mereka juga dungu dan sembrono. Kebodohan mereka menutupi kebijakan dan kebijaksanaan yang entah mereka miliki atau tidak," jelas Yudhistira panjang lebar. Sebuah penjelasan yang masih ditujukan dan diarahkan kepada klan gandharwa, saudara seperjuangan kaum jim.
Semua mata memandang khidmat dan khusuk kepada Yudhistira yang sejak pertama datang selalu berdiri itu. Sedikit banyak, walau Yudhistira belum Sampai ke inti permasalahan, mereka paham benar kemana arah pembicaraan ini. Semua orang di dalam ruangan itu merenungkan ‘kesialan’ mereka selama ini karena berada di bawah kekuasaan dan bayang-bayang kelompok bhuta. Padahal bisa saja mereka melawan dan menentang kekuasaan dan penindasan ini. Mereka memiliki kesempatan. Mereka memiliki kekuatan dan semangat, bahkan termasuk fasilitas dan sumber-sumber pendukung untuk struggle tersebut. Tapi aturan main, moral code dan falsafah yang mereka pegang sejak mungkin ratusan tahun yang lalu, secara ironis, memenjarakan dan membatasi gerak mereka sendiri. Bagaimanapun aturan main yang mereka taati tersebut mengidentifikasi siapa mereka sejatinya. Maka, melanggarnya sama saja dengan tak beridentitas lagi. Pelanggaran akan moral code bukanlah sebuah pilihan sama sekali.
"Lalu, apa titahmu, Kakang?" setelah hening sesaat, Dandun Wacana yang angkat bicara. Suaranya menggelegar dari pojok ruangan, membuat yang lain tersentak bangun dari pemikiran mereka sendiri-sendiri.
Sepasang mata Yudhistira berbinar-binar dengan semangat yang membara sebagai respon atas pertanyaan adiknya tersebut. "Kita serang the Pandawas habis-habisan," ujarnya datar namun berisikan tenaga, meski walau masih menahan letupan emosi.
"Bukankah itu malah akan menunjukkan bahwa kita benar adalah bawahan kaum bhuta?" kali ini Dananjaya yang bereaksi mendengar jawaban sekaligus perintah sang kakang. Kedua matanya mengernyit memandang sang kakang.