Anggaparana yang merasa bahwa semua pidato dan khotbah hasil pemikiran mendalam Yudhistira itu kali ini lebih ditujukan kepada kaum gandarwa, mencoba untuk ikut menanyakan dan mempertanyakan keputusan si ketua. "Lalu bagaimana bila memang keluarga Pandawa dan orang-orangnya itu sehebat yang diceritakan, Yudhistira? Apa yang harus kita lakukan? Akankah kita mengakuinya?" tanya Anggaparana dibalik cerutu yang masih dijepit diantara bibirnya.
Sunggingan yang begitu tipis, hampir tak terlihat, terlukis di wajah Yudhistira. Ia menengadah dan hanya melirik sebentar ke arah Anggaraparana. Yudhistira menghela nafas panjang. "Berarti jim dan gandarwa akan memiliki pemimpin baru," ujar Yudhistira datar tanpa emosi.
Jawaban Yudhistira ini sontak mengagetkan semua orang yang ada di ruangan. Tidak ada yang benar-benar menyangka bahwa sang ketua akan berbicara seperti itu. Keriuhan tak dapat dicegah. Ruangan yang semula tenang menjadi ramai dan gaduh.
"Maksud Kakang kita akan menyerah pada para Pandawa begitu saja?" suara Dandun Wacana meninggi. Badannya pun menegang tegak. Ia tidak marah pada sang kakang, ini adalah sekadar refleks dan reaksi dari sebuah informasi yang begitu mengejutkan tersebut.
"Apa aku bilang begitu?" sosor Yudhistira. “Apa aku bilang bahwa kita akan menyerah begitu saja pada siapapun yang mencoba menantang kedaulatan dan harga diri kaum jim dan gandarwa?” lanjutnya memandang Dandun Wacana tajam, meski masih tanpa emosi dan ekspresi yang terbaca.
Dandun Wacana masih belum paham dengan apa yang dimaksud sang kakang. Meski jujur, tidak hanya Dandun Wacana yang masih bertanya-tanya. Sisanya juga memberikan mimik wajah yang menunjukkan ketidakpahaman.