Siang itu di Wanamarta Town, awan berarak bagai kumpulan domba berbulu putih di langit biru dengan semburan keemasan sinar mentari. Ada retakan di antara awan, sehingga celah-celah itu langsung saja ditembusi larik-larik sinar. Hanya saja, patut disayangkan kecerahan ini tidak sinkron dengan keadaan di base camp keluarga the Pandawas yang serius dan juga kelam. Larik-larik emosi dan kecemasan menyelip di balik udara, di sela-sela ruang dan waktu. Atmosfir dan aura di dalam ruangan itu memecah ke dalam partikel ketegangan yang luar biasa, membuat kulit merenggang dan otot menegang.
"Kakang, kau benar-benar akan mendatangi mereka? Apakah sungguh itu maksudmu? Tidakkah kau merasa cukup dengan penolakan Yudhistira? Saat ini mereka siap berperang, Kakang," ujar Janaka ketika tahu bahwa Puntadewa berniat pergi ke sarang musuh, di tempat para jim dan gandarwa, untuk kedua kalinya. Sepasang alis laki-laki tampan itu mengkerut mencoba merasionalkan gagasan sang Kakang.
Wajah Puntadewa masih menunjukkan bekas-bekas luka tempo hari akibat dihajar babak belur oleh salah satu anggota kepolisian. Namun begitu wajah sang anak tertua dari keluarga The Pandawas itu tidak menunjukkan apa-apa, baik rasa sakit atau emosi tertentu. Malah sebaliknya wajah tampan Janaka lah yang menunjukkan kerut-kerut rasa khawatir sekaligus amarah.
"Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pistol dan kudhi," balas Puntadewa pelan sembari menatap tajam Janaka dan Wrekodara yang ternyata juga sedari tadi berdiri membelakangi pintu keluar, menahan kepergian Kakang mereka tersebut. Pria dengan tubuh raksasa itu mengenakan celana panjang tweed breeks dengan pola checkered alias kotak-kotak hitam putih. Kaus kaki sepanjang lutut dieratkan dengan garter dan sepasang sepatu wingtip Oxford panjang cokelat membuat tampilannya seperti seorang pemburu. Belum lagi suspender yang tidak mampu menahan tonjolan otot-ototnya di balik kemeja berlengan panjang yang juga bermotif kotak-kotak yang dilipat di bagian lengan sampai sikunya.
Janaka yang selalu berpakaian modis dan elegan, kali ini dengan cigarrette pants alias celana panjang pas menempel menunjukkan lekuk kaki berwarna abu-abu tanpa sabuk dan kemeja putih bersih namun tetap dengan gun holster di pinggangnya tertutup jas hitam, balas menatap Kakangnya tersebut, "Bukankah kata-kata itu terlalu klise, Kakang? Aku dan Kakang Wrekodara yang mengahabisi musuh-musuh kita, para bhuta, jim dan gandarwa beberapa waktu lalu. Luka di wajahmu baru saja mengering, bahkan Yudhistira yang sudah kau ajak bertemu dan berbicara baik-baik jelas menolakmu mentah-mentah. Lalu sekarang kau mau langsung mendatangi mereka di sarang mereka sendiri?" ujar Janaka penuh pertanyaan. Suaranya cukup meninggi.
Puntadewa melepaskan topi panama putih bersihnya. Ia kemudian meletakkan pantatnya di atas meja ruangan kerja pribadinya itu tanpa melepaskan kancing double-breasted pinstripe suit putihnya. Satu kakinya menggantung dimana sikunya ditopangkan di paha.