The Babad Noir Chronicles

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #31

the hills

Sinar matahari sudah tenggelam, namun kilatan sinar dari senjata api melecut di sela-sela batang pepohonan di hutan pinus itu. Bunyi tembakan menggelegar bersahut-sahutan menggugurkan dedaunan, mencabik kulit pepohonan meninggalkan serpihan-serpihan kayu yang berhamburan. Riuh rendah bunyi alat pembunuh itu menyadarkan semesta bahwa nyawa akan segera beterbangan ke langit menuju ke kehidupan selanjutnya. Pembantaian sudah dimulai. Kadang tak ada yang bisa dilakukan oleh manusia selain melaksanakan kehendak langit dan bumi. Segala jenis kematian adalah keniscayaan. Kilatan tembakan seakan adalah cahaya yang menjemput seseorang menuju kematian. Lorong panjang bercahaya sudah dipersiapkan.

Janaka bergerak dengan gesit namun anggun. Bukan bagai seekor kijang yang melompat-lompat gesit namun terdeteksi, sebaliknya anggota mafia utama keluarga the Pandawas ini bergerak pelan tertakar bagai seekor ular kobra yang siap mematuk mangsa. Kemejanya masih tak ternoda sama sekali, bahkan dengan rapi dimasukkan ke dalam cigarrette pants berwarna abu-abunya. Ia belum menggunakan dua senjata andalan yang menggantung di gun holsternya, sebaliknya ia memainkan senjata api Beretta Model 92, menembakkannya membabat para anggota jin dan gandarwa yang dilengkapi dengan senapan otomatis.

Di balik topi homburg krem nya wajah tampan Janaka menunjukkan kepuasan dan kenikmatan tertentu yang sukar untuk dijelaskan. Desingan peluru musuh tidak menggetarkannya. Ia bagai seorang anak kecil yang bersenang-senang di bawah hujan. Sebaliknya setiap tembakannya selalu menyasar para musuh dengan tepat. Ada saja celah bagi Janaka untuk melukai atau membunuh jin dan gandarwa. Peluru Beretta-nya menembus pohon dan bersarang di dada mereka, peluru juga berhasil menyelip ke sela-sela sempit di antara bebatuan atau gundukan tanah. Bidikannya selalu sempurna. Ia memainkan seni menembak dan membunuh ini bagai seorang dirijen memainkan sebuah orkestra musik yang indah.

Para Punakawan yang terdiri dari Janggan Smarasanta, Sukodadi, Penyukilan, Bagong serta anggota kelompok The Pandawas lain yang berjumlah empat orang menempelkan tubuh mereka di balik pepohonan. Mereka berlindung serta berperan sebagai semacam penonton pertunjukkan dimana Janaka berada di depan mereka seorang diri dan hampir menyapu bersih musuh hanya dengan Beretta-nya. Sampai saat ini, mungkin sudah sepuluh orang tewas di tangan Janaka. Memang sebelumnya cukup sulit menembus jalan atau akses di Selatan Wanamarta ini.

Perbukitan dan hutan pinus ini adalah sebuah benteng alami kaum jim gandarwa yang digunakan untuk mempertahankan Mretani. Biasanya mereka akan bersembunyi di perbukitan dan menembaki musuh yang menyerang dari jalan di bawah sana.

Kecakapan Janaka dalam menembak bukan berarti membuat the Pandawas seenak itu saja dapat menembus pertahanan musuh. Pertempuran sudah terjadi sejak siang tadi. Namun setelah matahari terbenam, baru lah para rombongan The Pandawas berhasil mendekati dan menghabisi mereka dengan lebih leluasa. Sebelumnya kedua kelompok yang bertikai tersebut saling jual beli tembakan demi tembakan.

Lihat selengkapnya