The Babad Noir Chronicles

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #32

the officer

tersebut jelas bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Bagaimana mungkin menembaki musuh tanpa berusaha membunuhnya sedangkan di atas sana, di sisi yang berlawanan, sang target sendiri sangat bernafsu untuk menghabisi mereka. Namun, perintah Janggan Smarasanta tersebut bukan tanpa pertimbangan dan perkiraan serta alasan yang mendasar. Memang akibat rencana ini konsentrasi serangan musuh jadi terpecah. Sebagai hasilnya ini sangat menguntungkan Janaka.

Melihat keadaan yang sudah menguntungkan baginya, Janaka langsung menjatuhkan Beretta nya, kemudian meloloskan Gandiwa dan Pasupati, dua buah pistol Ruger Pistol 22 Automatic andalannya dari sarung senjata atau gun holster di bagian samping tubuhnya. Ia menggerakkan bahunya sedikit, tubuhnya berpindah dengan begitu cepat sembari menembakkan kedua pistolnya ke arah Damdarat.

Seperti yang sudah diketahui, setiap bidikan Janaka hampir pasti selalu membuahkan hasil. Benar saja, tembakan beruntun Janaka yang dilepaskan ke arah musuh mengenai target dan membuat sendi-sendi bahu kedua tangan Damdarat terbuncah berantakan. Tommy gun Damdarat terlepas dari tangannya. Tak hanya itu, berondongan tembakan Janaka tak lama mencincang tubuh si mobster tua Damdarat. Dada, leher, dan kepalanya tertembus peluru Ruger Janaka yang meluncur mulus mendesing di udara. Damdarat sang panglima perang keluarga jim tewas dengan mengenaskan.

Anggota jin lain yang melihat tuannya tewas berusaha untuk membalas serangan anak ketiga keluarga Pandawas tersebut, namun Janaka mendaratkan satu peluru tepat di kepala, sebuah headshot, anggota jim tersebut. Ia pun langsung tewas di tempat tanpa suara.

Demi melihat rekannya dari keluarga jim jatuh berdemum ke bumi dengan tubuh bersimbah darah, Anggaraparna berteriak marah, memerintahkan kedua orang sisa bawahannya, satu dari kelompok jim satunya lagi dari gandharwa, untuk menyerang Janaka. Nampaknya Anggaraparna sadar bahwasanya pihak lewan sedang menipunya dan sengaja membuatnya repot pada serangan-serangan lawan tanpa memperhatikan bahwa rekannya justru menjadi sasaran empuk tembakan.

Tapi tentu saja perintah yang Anggaraparna berikan itu nampak sia-sia. Bukan tanpa alasan lebih dari sepuluh anggota jim dan gandharwa terbantai oleh Janaka. Kedua orang terakhir itu juga segera tewas, tapi bukan oleh Janaka, melainkan oleh Sukodadi dan Penyukilan dengan pistol Smith & Wesson Model 29 .44 Magnum mereka. Peluru menembus tubuh mereka beberapa kali. Kedua tubuh mereka jatuh bagai dua batang kayu. Konsentrasi yang telah terpecah sedari awal membuat serangan balasan kelompok jin dan gandharwa itu tidak efektif dan sudah dapat ditebak.

Jadilah Anggaraparna berjuang sendirian.

Magasin Tommy gun nya sudah habis. Bahkan sebenarnya tembakannya sedari tadi sudah melenceng entah kemana. Perhiasan emas Anggaraparna tersinari sinar bulan yang menyeruak malam yang pekat. Ia melihat sosok-sosok musuhnya mendekat perlahan namun pasti. Inilah saat kematiannya, pikirnya. Ia lemparkan Tommy gun ke tanah kemudian ia meraba pinggang di bagian belakangnya untuk mengambil senjata favoritnya, gold plated Walther model PPK semi-automatic pistol, sebuah pistol yang berukir indah dan dilapisi emas. Senjata ini dimiliki Anggaraparna bukan karena kemampuan dan keistimewaannya, namun lebih ke nilai prestis dan lambang kebesaran dan keagungannya.

Pandangan Anggaraparna melayang jauh melewati ruang dan waktu. Tak disangka sampai di sinilah kehidupannya yang penuh dengan gelimang kekayaan dan kemewahan. Deretan memori masa lalu diputar di dalam otaknya dalam sebuah runutan kilat bagai scene sebuah film panjang.

Sebelum tubuhnya dirajam peluru dari keluarga Pandawas, ia sudah menempelkan moncong pistol mewah miliknya itu di bawah dagunya, menyibak jenggotnya yang sudah memutih. Satu tekanan jari telunjuk akan membantu pelatuk melepaskan peluru ke otaknya. Hanya perlu sekali usaha dan semua akan usai.

Lihat selengkapnya