The Babad Noir Chronicles

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #33

the pistol

Mendengar ini, Anggaraparna melemparkan pistolnya ke tanah. Janaka pun akhirnya memasukkan Gandiwa dan Pasupati nya kembali ke holster. Yang lain juga kemudian merasakan suasana mulai berubah santai. Tapi Janaka adalah seorang petarung lihai nan piawai, ia tak bisa terlena dengan keadaan ini. Jadi, meski musuh sudah menunjukkan ketidakberdayaannya, Janaka masih tetap mempersiapkan diri dengan segala skenario yang mungkin terjadi.

"Kalian berdua berjaga-jaga. Jangan sarungkan senjata kalian. Bagong, kau pimpin mereka," perintah Janaka kepada kedua bawahannya serta Bagong. Yang diperintah segera melaksanakannya.

"Dan kau, segera jelaskan!" seru Janaka pada Anggaraparna.

"Wah, darah Hastina memang panas," ujar Anggaraparna namun lebih kepada Janggan Smarasanta.

"Darimana harus memulainya ... ? Hmmm, baiklah. Nama asliku adalah Citrarata, jelas kalian sudah tahu dari orang itu," Anggaraparna menunjuk ke arah Janggan Smarasanta.

"Aku sebenarnya adalah seorang anggota kepolisian yang berpangkat detektif I yang ditugaskan untuk menyelidiki bisnis ilegal yang dijalankan oleh kaum jim dan gandharwa. Chief of Police, pimpinan kepolisian saat itu, Indra. Batara Indra menugaskanku dengan pengawasan dari detektif III, batara Ismaya yang sudah kalian kenal ini, untuk menyamar menjadi bagian dari kelompok gandharwa. Sebelumnya aku dan rekan-rekanku bernafsu sekali menangkap Penyukilan dan Sukodadi yang selalu terlibat peperangan antar geng dan klan serta perebutan kekuasaan dan pengaruh. Namun aku lihat di sini, kalian bergandengan tangan erat sekali, dan ternyata detektif Ismaya menurut penjelasannya tadi sudah keluar dari keanggotaannya dalam kepolisian dan kedua orang penting dalam dunia mafia tersebut dikatakan telah diangkat anak oleh Ismaya. Untuk ini, aku yang memerlukan penjelasan yang lebih. Pasti merupakan sebuah cerita yang sangat menarik. Ah, tapi itu tidak penting sekarang, bukan?" Anggaraparna melambai-lambaikan tangannya seperti menepis nyamuk. Sedangkan Penyukilan dan Sukodadi saling balas tatapan. Mereka mengangguk pelan.

"Nah, bertahun-tahun sudah aku berhasil masuk menjadi bagian dari kaum gandharwa, terikat perintah batara Indra. Aku mengatur agar gandharwa memainkan peran penting dalam dunia kejahatan, tidak keluar dari Wanamarta, tetap berada di bawah kelompok jim dan bhuta tentunya. Tapi kematian Master Pandu membuat peta kekuasaan berubah total. Hastina kisruh, kepolisian sibuk menangani efek perubahan ini. Sedangkan aku sudah tak mungkin keluar dari lingkaran setan. Well, akupun menikmatinya juga sebenarnya. Tapi aku jadi kehilangan arah. Harusnya Hastina yang memegang kekuasaan, sehingga bisnis putih lebih menonjol dibanding kegiatan ilegal mafia ala jim, gandharwa dan bhuta. Tapi ketimpangan Hastina membuat bhuta makin kuat, jim dan gandharwa terinjak-injak. Kelompok gandharwa dan jim dari daerah lain tak terdengar suaranya dan kutahu bahwa Penyukilan ada di sini bersamamu, Ismaya. Sampai kemudian aku mendapatkan perintah untuk menghabisi kelompok Pandawas, pecahan Hastina yang bermasalah dan lemah, ingin mengambil alih kekuasaan Wanamarta, Mretani dan Pringgandani yang memang dulu dikuasai oleh Master Pandu dan Hastina nya. Lalu, aku baru sadar, bahwa kalian kaum Pandawas, bukan sekadar kelompok geng yang lemah," Anggaraparna menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskannya keras-keras.

"Lalu, bagaimana sekarang?" lanjutnya lagi.

"Sudah kukatakan, tugasmu sudah usai. Kembalilah ke kepolisian. Laporkan pada Indra bahwa Pandawas akan menguasai Mretani, Wanamarta bahkan Pringgandani. Kami akan kembalikan keteraturan dan keamanan. Akan kami rebut dengan damai ataupun kekerasan. Dan kekerasan nampaknya adalah jalannya," balas Smarasanta.

Anggaraparna menarik nafas lagi, tapi kelegaan nampaknya yang menyelimutinya.

"Aku tahu kalian pantas menguasai daerah ini. Tapi jangan katakan aku tidak memperingatkan bahwa jim dan gandharwa sudah siap dengan rencana dan persiapan mereka untuk menghadapi kalian." 

Lihat selengkapnya