The Babad Noir Chronicles

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #36

the smoke

Arimbi muncul entah dari mana menyerang Danajaya dengan memukulkan senapan BAR-nya. Memang Dananjaya tetap berhasil menghindar dengan mundur menjauh. Insting pertempurannya tajam. Sebagai akibatnya serangan Arimbi yang tiba-tiba ini berhasil membuyarkan hampir semuanya. Asap kehijauan sudah terlanjur membumbung tinggi dan semakin pekat.

Dananjaya, Dandun Wacana, Nakula dan Sadewa undur diri, melarikan diri tepatnya. Diikuti oleh sisa-sisa pasukan jim dan gandharwanya. Rencana mereka mungkin tidak seratus persen berhasil, tapi mereka pasti sudah memikirkan langkah selanjutnya. Untuk sekarang, mundur adalah pilihan terbaik bagi mereka.

Melihat anggota jim dan gandharwa pergi dari medan pertempuran, tiada lain yang Arimbi pikirkan. Ia langsung menarik lengan para gadis, “Jauhi asap hijau itu! Turun ke bawah sejauh mungkin,” seru perintah Arimbi kepada mereka. Gadis-gadis muda itu meski dalam keadaan ketakutan dan kepanikan yang akut, tetap melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Perasaan mereka jauh lebih menyedihkan dibanding ketiga perempuan muda yang sudah terlebih dahulu diselamatkan oleh Arimbi dari banguan strip club di dekat restoran dan hotel Agni.

Ketika para gadis sedang berlarian menghindari asap hijau granat Bhanga, saat itu pula dari sisi lain, Arimbi melihat Wrekodara terbujur kaku memegang tenggorokannya. Arimbi menggunakan topi capnya untuk menutupi hidungnya. Dengan menahan nafas, ia nekat merengsek masuk ke dalam kepulan asap hijau. Satu tangannya yang bebas memegang pundak Wrekodara, “Ayo, kita harus segera menjauh dari asap ini,” ujarnya kepada Wrekodara sembari tetap menjaga sebisa mungkin agar asap tidak dapat masuk ke dalam pernafasannya.

Wrekodara tak bereaksi. Maka, Arimbi mencoba menarik tubuh raksasa tersebut. Sialnya, Wrekodara justru meronta. Kedua matanya melotot ke arah Arimbi. Arimbi tidak paham yang terjadi. Sebenarnya yang Wrekodara lihat sangat berbeda dengan kenyataan. Wrekodara melihat ada seorang raksesi, alias raksasa perempuan, yang berdiri di depannya. Raksesi itu bertubuh sangat besar. Rambut gimbalnya bergulung di atas kepalanya yang sebesar bongkahan batu gunung, kedua matanya lebar dan merah membara, sedangkan sepasang taring mencuat dari mulut raksesi tersebut, ia sedang mengunyah sebuah jantung berdegup yang berdarah-darah yang digenggam oleh tangan berbulu dan bercakarnya. Wrekodara tidak dapat berteriak, namun seluruh ototnya seperti lemas, bukan kaku lagi.

Arimbi sadar bahwa laki-laki ini sedang terkena efek granat bhanga. Tidak peduli apa yang terjadi, ia harus menyelamatkannya agar efek tersebut tidak sampai merasuk dan mengancurkan otak laki-laki itu secara permanen. Ia menarik laki-laki raksasa itu sekuat dan sejauh mungkin dari sumber asap.

Tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul dua orang laki-laki yang nampak sangat identik, jelas mereka adalah saudara kembar. Melihat sang Kakang ditarik seseorang bertubuh jangkung yang menutupi mulutnya serta bergiwang lebar, Pinten dan Tangsen langsung menyerbu Arimbi. Mereka sepertinya menduga bahwa ada suatu hal yang terjadi pada Kakang mereka karena intervensi seorang anggota klan bhuta.

Arimbi sudah membuka cap dari mulut dan hidungnya karena sudah berada cukup jauh dari pusat asap bhanga yang masih berputar-putar walau sudah menipis. Wrekodara mencoba berdiri namun jatuh terduduk lagi melihat raksesi itu masih ada di depannya. Arimbi berteriak kepada pasangan kembar Pinten Tangsen, “Jangan kesini, menjauh.”

Lihat selengkapnya