The Bacteria

Dissi Kaydee
Chapter #1

Chapter #1

CHAPTER #1

 

Sebuah kota di Jawa Timur.

 

Prasinggih merogoh mengeluarkan smart phone dari saku batiknya dengan tergesa-gesa. Telepon pintar itu terlihat kontras dengan warna baju batiknya yang telah lusuh. Dengan gerakan canggung, ia mengetuk dan menggeser layar, mencari aplikasi yang dicarinya. Wajah bulatnya nampak tenggelam oleh dahinya yang berkerut, sedang kedua kacamata tebalnya melorot hingga ke cuping hidung. 

Nyuwunsewu, nggih Mbah. Niki kulo lali… mboten biasa nyekel hape canggih.” (Mohon maaf, ya Mbah. Ini saya lupa…ngga biasa memegang hape canggih). Prasinggih tertawa malu-malu pada seseorang yang duduk lesehan di depannya. Satu kakinya melipat, sedang satunya menjejak menopang tangannya yang bersandar.

 Orang yang dipanggil ‘Mbah’ itu hanya membalas dengan anggukan pendek tapi berwibawa. Membuat Prasinggih menelan ludah diam-diam. Dari penampilannya, ia semestinya tidak pantas disebut mbah-mbah. Selain masih terlihat muda, sekitar lima puluh tahun, figurnya pun jelas-jelas bukan orang Jawa asli. Ada sedikit cipratan darah asing yang membuat kulit lelaki itu tampak terang dan matanya berwarna coklat keabu-abuan.

Saputan putih kelabu di rambutnya yang ikal sebahu dan kerutan di sekitar mata dan bibirnya, tidak bisa menyembunyikan sisa-sisa ketampanannya. Apalagi dengan perawakan tinggi dan rahang yang kokoh dipenuhi rambut-rambut berewok yang halus, membuat lelaki itu terlihat karismatik seperti londo tempo dulu. Mungkin itu yang membuatnya dipanggil Mbah Londo oleh masyarakat sekitar.

Asap rokok tingwe mengebul dari mulut Mbah Londo. Aroma akar klembak dan kemenyan menguar, bercampur dengan bau asap dupa dan kembang tujuh rupa yang tersaji di wadah besar, berdampingan dengan sesajen lain di tampah bambu. Segelas kopi hitam, kain putih, boneka, jerami, beling, dan silet. Cahaya rembulan menembus dari dua atap transparan, menambah kental aura mistis di ruangan itu.

Niki Mbah,” Prasinggih menunjukkan layarnya ke hadapan lelaki itu, membuat wajahnya yang terpapar cahaya dari bawah dagu seperti di adegan film horor. Matanya menatap tajam ke layar berisi deretan foto satu orang wanita. “Kalau mau lihat rekaman videonya, tekan yang ini Mbah,” lanjut Prasinggih sambil menunjuk ke layar.

“Oh ya, ya, sudah paham kalau ini. Saya juga punya Instagram, Mas, diajari anak saya,” katanya tanpa menoleh. Jarinya sibuk membuka satu demi satu foto yang terpampang di layar. Prasinggih kembali tersenyum malu. Teringat betapa susahnya ketika dia mencoba masuk ke aplikasi itu. “Sosial media ini namanya, Mas. Dan ini, yang bikin kerjaan saya tambah mudah! Hehehe…” Lelaki itu tertawa tertahan dengan suaranya yang serak dan berat.

“Oh iya, tho? Kurang paham saya, Mbah. Maklum, orang dulu. Ini juga dibelikan Ndoro saya,” Prasinggih menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal.

Lihat selengkapnya