CHAPTER #2
Sebuah rumah tinggal di Jakarta Selatan.
Perempuan hamil itu menghentikan bicaranya, ketika menyadari ada sesuatu yang aneh dengan Arin. Dipikirnya Arin tadi sedang menyimak pertanyaannya, sambil memandang jauh ke arah rimbunan tanaman hias yang ditanamnya. Tapi lama kelamaan, pandangan Arin kosong. Redup. Ia seperti berada di ruang dan dimensi berbeda. Tubuhnya duduk di sofa ruang tamu, tapi jiwanya, entah tersangkut dimana.
“Dok.... dok Arin?” seru perempuan itu, coba menyadarkannya. Ekspresi Arin lima menit lalu, masih antusias. Meski ia tidak mampu menyembunyikan air muka kelelahan di wajahnya. Perempuan itu memang sengaja berkunjung ke rumah Arin, untuk berkonsultasi tentang kandungannya. Sudah lama ia menjadi follower berat Arin, yang memang kondang sebagai konselor laktasi sekaligus praktisi kesehatan holistik. Meski tidak membuka praktek dokter lagi, pemikiran Arin yang cenderung anti mainstream, membuat perempuan itu rela menempuh perjalanan panjang, dari Bekasi ke Jakarta Selatan.
“Dok?” ragu-ragu ia sentuh lengan Arin, yang terasa kaku dan dingin.
Tapi Arin bergeming. Hanya bunyi nafasnya yang terdengar semakin berat, menghembus satu persatu melalui mulutnya yang sedikit terbuka. Kedua matanya tidak menunjukkan sedikit pun pergerakan. Perempuan itu jadi semakin yakin, ada yang tidak wajar dengan Arin.
Dok Arin dapat serangan lagi!
Mata perempuan itu mencari-cari sosok Mak Ipeh, asisten rumah tangga Arin, yang tadi sibuk mondar-mandir mengerjakan pekerjaan rutin. Tapi tidak ada sesiapapun bersama mereka. Lengang, kecuali suara kartun di televisi yang terdengar samar dari lantai atas, dan suara murrotal yang mengalun bersamaan.
Setelah beberapa saat tidak merespon apapun, kepala Arin tiba-tiba bergerak, menoleh perlahan ke arah perempuan itu. Sambil tersenyum bengis, ia menatap tajam dengan bola mata hitam yang membesar. Binar cahaya yang tadi ada, padam, bak bola pijar matahari yang ditelan bayangan rembulan saat gerhana. Perempuan itu bergidik takut. Arin berubah menjadi wanita dengan mata alien!
Bersamaan dengan tatapan matanya, kepala perempuan itu mendadak nyeri dan berat. Seperti ada gelombang magnet yang saling menarik berlawanan. Perutnya mulai mual hebat. Ingin ia muntahkan, tapi kakinya seperti ada yang menahan di lantai. Perempuan itu mulai panik. Ia lirik jam besar di dinding. Baru setengah jam lewat dari pukul sembilan, tapi ia harus menyaksikan adegan kerasukan seperti di film-film horor sepagi ini!
“Diaaa…. harus matiii….” terdengar suara mendesis dari mulut Arin. Suara laki-laki! Bulu kuduk perempuan itu langsung meremang. Tidak tahu, mahluk apa yang ia hadapi ini.
“Perempuan ini harus matii!!” lelaki dalam tubuh Arin, berteriak, membuat perempuan itu memekik ngeri. Spontan, ia mundur ke punggung sofa dengan tangan menutupi wajah. Takut setengah mati, melihat tubuh Arin seperti ingin menerkam dirinya.