Pagi hari kelas tampak sudah ramai. Makhluk-makhluk yang haus akan ilmu bertebaran dimana-mana.
Kafin berjalan menuju meja Rycca dengan membawa tumpukan kertas putih. Gadis itu masih tampak terbenam dalam mejanya, tertidur.
Kafin tersenyum sembari mengunyah permen karet.
"KEBAKARAN KEBAKARAN!" teriak Kafin membuat gadis itu kaget terpelonjat.
"KEBAKARAN, MANA YANG KEBAKARAN?" pekik gadis itu dengan rambut yang acak-acakan. Kafin meledakkan tawanya, begitu juga seisi kelas. Ia mengambil satu kertas putih.
"Nih, nilai lo yang kebakaran!" ledek Kafin dengan masih meledakkan tawanya. Rycca langsung merampas kertas putih itu, menatapnya dengan seksama. Di atas ujung kanan terdapat angka 4 yang ditulis dengan tinta berwarna merah. Rycca mebelalakan matanya, ini adalah hasil dari ulangan matematika kemarin. Rycca mengembangkan senyumnya, gadis itu tampak bersorak bahagia. Bangga dengan nilai yang dia dapat. Kafin mengernyitkan alisnya, mendapatkan nilai 4 seperti mendapat nilai 10.
"Lo kenapa seneng?"
"Hahaha, sepanjang sejarah nilai ulangan matematika Rycca, inilah yang tertinggi!" bangganya terhadap Kafin. Pria itu tampak menggeleng pelan. Tak mengerti dengan jalan pikir gadis itu.
"Nilai empat dibanggain," ketus Kafin meremehkan, Rycca meliriknya tajam. Sedangkan Arini hanya terkekeh pelan melihat perdebatan keduanya.
"Emang nilai lo berapa hah? Paling lebih rendah dari gue!" sindirnya, Kafin tersenyum meremehkan. Pria itu langsung menunjukkan hasil ulangannya. Rycca membelalak kaget, demi apa itu nilai sempurna? Oiya, Rycca hampir lupa! Kafin dulu pernah singgah di kelas IPA 1, dia juga memiliki otak yang cerdas.
"Nakal-nakal gini, gue juga berprestasi," balas Kafin dengan senyum penuh kemenangan. Rycca mendengus kesal.
"Nyindir gue?" Pertanyaan itu hanya dibalas dengan senyuman Kafin, pria itu mendekat ke wajah Rycca dan berbisik pelan, "kalo ada ulangan lagi, belajar aja bareng gue."
Rycca menelan salivanya susah payah. Tenggorokannya terasa kering dan pasokan oksigen terasa menipis. Pipinya kian memanas, desiran aneh mulai menyambar tubuhnya. Setelah mengatakan itu, Kafin mengacak-acak puncak rambut Rycca dengan gemas. Membuat gadis itu sedikit berdecak kesal dan menepis kasar tangan Kafin. Pria itu tekekeh, kemudian duduk di tempatnya.
Arini yang sedari tadi menjadi penonton mereka, menyenggol pelan bahu Rycca.
"Kalo gue jadi lo, udah gue terima dari dulu, Ryc!" godanya berbisik. Rycca memutar bola matanya malas.
"Apaan sih, Rin!"
"Kurang apa coba? Ganteng iya, pinter iya, tajir juga, okelah. Lo mau yang kayak gimana hah?" Rycca mengernyit heran. Kenapa harus dilihat disegi fisik, kemampuan, dan materi?
"Gue nggak mau sama cowok pembuat onar!" balasnya penuh penelaman. Arini terkekeh pelan.
"Lo nggak sadar diri? Lo aja juga cewek pembuat onar!" Rycca tampak menghela pasrah, "jadi lo sama Kafin itu sama, sama-sama dipertemukan takdir untuk jadi..." Arini sedikit menggantungkan pernyataannya itu. membuat Rycca menunggu kelanjutannya dengan rasa penasaran.
"Jadi?"
"The bad couple, iya, itu dia! Ketika badgirl dan badboy dipertemukan takdir untuk menjalin sebuah kisah indah," ujar Arini dramatis. Rycca mendengus kesal. Takdir dan takdir, Rycca sangat muak dengan kata itu! Rycca memlih abai dan tak peduli lagi.
Kini semua tengah duduk rapi di bangku masing-masing. Sekarang adalah pelajaran yang amat dibenci Rycca dan mungkin 80% siswa juga tak manyukainya, matematika. Gadis itu hanya mendengar suara guru di depan, dengan dirinya memejamkan mata dengan kepala di taruh di atas meja.
Kafin menatap gadis itu, ia sedikit tersenyum kecil. Ada ide yang terselip diotaknya.
"Pak," panggil Kafin sembari mengacungkan jari telunjuknya.
"Iya, ada apa?"
"Rycca tidur saat pelajaran pak," teriak Kafin membuat gadis itu tampak berdecak kesal. Pak Subroto langsung menghampiri meja Rycca yang tak jauh dari Kafin. Pria paruh baya itu tampak menatap Rycca geram, gadis itu juga tak kalah sinis membalas tatapannya.
"Lari lapangan 20 putaran sekarang!" perintahnya tegas. Rycca menggeleng tanpa rasa takut.
"Nggak mau Pak, capek! Bayangin aja kalo saya kecapekan terus pingsan. Masih untung pingsan kalo mati gimana? Bapak mau tanggung jawab?"
"Lari atau ngerjain tugas matematika seratus soal?" Rycca tampak berdecak kesal. Ia lebih baik lari daripada harus stres karena matematika. Rycca melirik Kafin tajam, sedangkan Kafin hanya diam mematung. Gadis itu menghela berat dan langsung beranjak pergi. Namun langkahnya tertahan saat sebuah tangan kekar menahannya. Rycca refleks melirik ke arah pemilik tangan itu.