"PAPA?"
Gadis itu tampak kaget dengan kedatangan pria yang lama tak pernah ia temui. Iya, papanya sendiri. Sorot mata pria paruh baya itu sangat dingin. Pria itu berdiri dengan gagah dan tegap, sangat terlihat jelas kesan wibawanya. Ia menatap Rycca dengan wajah yang datarnya. Rycca menatap pria itu dengan malas, tidak seperti gadis lainnya. Jika lama tak bertemu dengan papanya pasti akan sangat senang dan langsung memeluknya, menumpahkan semua rasa rindu terhadap orang itu. Namun, tidak dengan Rycca. Gadis itu terus memercikkan api kebencian terhadap lelaki yang ada di hadapannya saat ini.
"Untuk apa anda datang kesini?" tanya Rycca dengan nada malas. Pria itu tampak tersenyum kecut, tak ada sambutan yang enak didengar dari putri kandungnya.
"Papa ada meeting di Singapura tadi pagi, jadi setelah selesai, Papa mampir kesini untuk bertemu kamu," jelasnya dengan nada dingin namun terdapat kehangatan ditatapan pria paruh baya itu. Gadis itu tampak diam tak menjawab lagi. "Papa ingin tahu keadaan kamu di sini," lanjutnya, Rycca tampak tersenyum sinis.
"Anda masih mengingat keberadaan saya di sini?" tanyanya dengan nada meremehkan, pria di hadapannya tersenyum kecut. Mungkin Rycca masih tak bisa menerimanya karena kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Di mana anda sejak 6 tahun yang lalu? Saat kematian mama saya?!" pekik Rycca dengan penuh amarah mengingat kejadian 6 tahun yang lalu, "ohh... tentu, pasti bersenang senang dengan istri baru anda, bukan?" lanjutnya dengan senyum sinis, air mata Rycca sudah tak bisa terbendung lagi, mengingat kematian mamanya yang sangat tragis.
"Maafkan Papa, Rycca, saat itu Papa--"
"Merayakan ulang tahun anak kalian bukan?" potong Rycca dingin. Gadis itu tampak menatap tajam pria di depannya. Pria paruh baya itu langsung diam di tempat, tak ada lagi jawaban pria itu. Kini kepalanya menunduk, merasa bersalah dengan apa yang dilakukan dimasalalunya.
"Lebih baik anda pergi, saya tidak pernah mau anda hadir dalam hidup saya," usir Rycca dengan telunjuknya menunjuk ke arah pintu keluar. Nadanya sangat menggebu. "Karena saya benci dengan anda." kalimat itu keluar dari mulut gadis itu dengan penuh penekanan, membuat hati pria didalamnya terasa sesak dan menyakitkan.
"Maafkan Papa, Rycca." hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut pria paruh baya itu. Sedetik kemudian, Rycca langsung pergi meninggalkan papanya. Pria itu menatap punggung Rycca yang kian menjauh sampai tak tampak lagi dari pandangannya.
"Mas, ini kopinya." Arinda datang membawa nampan berisi kopi hitam hangat, namun wanita itu tampak terkejut melihat keadaan pria yang tampak gusar.
Brakk!
Suara gebrakan pintu berasal dari kamar Rycca. Tentu saja itu adalah ulah Rycca. Arinda sangat paham dengan keadaan sekarang.
"Sudah bertemu Rycca?" tanya Arinda, pria itu hanya mengangguk pelan dan menghela napas berat. Arinda menaruh nampan itu di meja dekat piano. "Rycca sebenarnya anak yang baik, mungkin dia masih belum bisa menerima kamu, Mas," ujar Arinda, pria itu hanya tersenyum kearahnya dan mengangguk. "Setelah kepergian kamu 6 tahun yang lalu, Rycca sangat berantakan. Kehilangan mamanya membuat dia semakin terpuruk," jelas Arinda, lelaki itu tak bergumam hanya mendengarkan. "Rycca selalu bertanya sama saya, kapan papanya pulang, dan saya hanya menyuruhnya untuk bersabar. Sampai dia beranjak dewasa dan mengetahui semua kenyatannya, rasa cinta dan rindu terhadap kamu menjadi benci seketika," lanjutnya bercerita, tetesan air mata mendarat mulus di pipi Arinda. Mengingat kematian kakaknya yang amat tragis. Kejadian 6 tahun yang lalu terputar jelas dipikiran Arinda. Terlihat jelas banyak darah bercucuran dimana-mana. Saat itu Rycca masih gadis kecil berumur sebelas tahun. Ia menjadi saksi kematian ibu kandungnya sendiri.