"Dengerin gue, gue nggak mau nyakitin perasaan lo. Maaf gue nggak bisa."
"Rycca, gue bukannya bermaksud buat nolak lo, tapi pasti lo tahukan makna dari cinta nggak bisa dipaksakan."
Pernyataan itu selalu terngiang jelas di pikiran Rycca. Seperti film yang terus berputar di otaknya. Rycca tak dapat membendung lagi air matanya, bahkan sampai terdengar suara isakan yang memilukan dari gadis itu. Kini semua terjawab sudah pertanyaan yang telah lama ingin Rycca ketahui, 'apakah Ilham juga menyukainya?' kini dia sudah mengetahui jawabannya. Jawaban yang sangat bertolak belakang dengan ekspetasinya. Terimalah realita ini Rycca. Benar-benar satu tahun yang sia-sia bagi Rycca. Gadis malang yang telah mengagumi pria idamannya selama satu tahun kandas dengan kata penolakan dari pria itu. Bukan salah Ilham, semua orang berhak untuk menentukan cintanya masing-masing. Walaupun ada seseorang yang tak bisa menerimanya. Terkadang lebih baik mengucapkan penolakan, dari pada harus menderita karena terlalu memaksakan sebuah pilihan. Layaknya cinta, lebih baik menolak meskipun menyakiti hatinya dari pada harus hidup bersama dengan semua kepalsuan cinta.
Rycca masih mencoba untuk meredakan tangisnya. Bel masuk sudah berbunyi tiga menit yang lalu. Tapi gadis itu tak ada niatan untuk kembali ke kelasnya.
Sebuah tangan mengagetkan Rycca, tangan yang kekar itu menyentuh punggung Rycca yang sedari tadi bergetar hebat. Rycca menoleh ke arah pria pemilik tangan itu, Kafin.
"Halo Rycca," sapanya dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Sejak kapan lo di sini?"
"Sejak barusan," jawabnya agak ragu. Rycca menghela napas berat, tangannya langsung mengusap buliran air mata yang masih bersanggah di pipinya. Kafin hanya memandang lekat ke arah gadis itu, wajahnya memerah terutama di bagian hidungnya.
"Nih," Kafin menjulurkan sebuah somay Bang Jhon yang sudah terbungkus plastik kiloan itu. "Pake kentang setengah, saos tomat dua sendok, saos sambal tiga setengah sendok, dan bumbu kacangnya agak banyak tapi nggak terlalu banyak-banyak banget," ujar Kafin detail membuat Rycca terkekeh geli. Tahu saja selera Rycca seperti apa. Gadis itu langsung melahap somay Bang Jhon. Rycca sangat kelaparan karena tadi ia tidak sempat makan apapun dan sarapan hanya dengan meminum susu saja. Kafin masih setia menatap gadis di sampingnya ini. Kafin jadi terkekeh pelan, Rycca memakannya seperti anak kecil saja. Kini gadis itu terlihat kekenyang dan langsung melempar plastik bekas somay itu dengan sembarangan. Ia tampak mengernyit heran saat Kafin menertawainya.
"Kenapa?" tanya Rycca bingung, Kafin malah meledakkan tawanya. Sampai akhirnya tawa itu mereda. Rycca dengan wajah keterlaluan polosnya itu masih mengkerutkan dahinya, seolah-olah masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kafin memalingkan tatapannya, mencari sesuatu yang pas, namun posisinya agak tidak nyaman. Kafin mengambil sepotong daun mangga yang tepat berada di sampingnya. Iya, mereka sekarang berada di atas pohon mangga besar yang berada di belakang halaman sekolah. Kafin melihat daun yang ia petik agak kotor, lalu mulai mengelapkan ke celana abu-abu miliknya. Setelah itu, Kafin membersihkan bekas bumbu somay yang berantakan di beberapa sudut bibir Rycca. Gadis itu hanya diam mematung ketika Kafin membersihkan sudut bibirnya. Rycca tampak menelan ludahnya susah payah, pipinya mulai memanas dan mungkin sekarang memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berpacu seribu kali lebih cepat, sampai ia kehabisan pasokan oksigen untuk bernapas.
"Lo deg-degan?" tanya Kafin yang masih tenang, namun wajah mereka memang sudah sangat dekat. Mungkin hanya terpisah beberapa centi saja. Dengan cepat Rycca menggelengkan kepalanya, menoyol kepala Kafin agar tak terlalu dekat dengannya. Rasanya ingin meledak saja atau menghilang dari peradaban bumi. Rycca sangat malu! Kafin kembali meledakkan tawanya. "Hahaha... Lihat, muka lo merah kayak kepiting rebus!" pekik Kafin dengan tawa yang masih menggelegar. Rycca berdecak kesal.
"Apaan sih lo!" protesnya dengan memutar bola matanya malas.
Cekrek, cekrek, cekrek.
"Lo ngapain?! Hapus gak?!" Perintah Rycca keras, namun Kafin masih tetap mentertawakannya. Rycca mulai kehabisan kesabaran, kini ia mengomel pada Kafin yang sangat menyebalkan. Eh, salah, lebih tepatnya yang amat sangat BIADAB! Tapi tampan.
"Sssttt," desis Kafin dengan jari telunjuk yang ditempelkan di bibir ranum milik Rycca. Hingga terjadi keheningan antara mereka untuk beberapa saat. "Gue lebih suka lihat lo marah-marah kayak gini, dari pada lihat lo sedih dan nangis kayak tadi," lirih Kafin tepat di hadapan Rycca membuat gadis itu masih diam membeku di tempatnya. Sedetik kemudian Rycca kembali menampakkan wajah sedih, mengingat kembali kejadian saat istirahat lalu. Cairan bening kembali mengalir dari pelupuk matanya, sampai menimbulkan suara isakan kecil dari bibirnya. "Udah gue bilangkan, gua nggak suka liat lo sedih kayak gini," peringat Kafin lembut dengan menghapus air mata Rycca. Namun gadis itu masih terisak. Kafin menghela napas panjang, tangan Kafin kini menggenggam erat jemari Rycca membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Tatapan mereka sempat bertemu, Kafin mendorong kepala Rycca untuk bersandar di bahunya.
"Nangis sepuas lo, anggap ini tangisan terakhir lo karena dia, karena hari berikutnya lo bakalan bahagia sama gue," tukas Kafin meyakinkan, namun Rycca masih terus menumpahkan seluruh air matanya di bahu Kafin. Perlahan-lahan isakan Rycca memudar, gadis itu tampaknya sudah tidak sesedih tadi. Kafin menatap ke depan dengan tatapan kosong.
"Fin, apa gue salah ya cinta sama Ilham?" tanya Rycca disela-sela meredakan isakannya. Kafin menatap ke arahnya dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Kata Oma, nggak ada cinta yang salah, hanya saja hati terlalu pesimis untuk mendapatkan cinta itu," jawab Kafin dengan mengingat kata-kata omanya. Rycca tampak berpikir, kini tak ada tangisan yang keluar dari wajahnya.
"Mmm... Berarti gue terlalu pesimis dong buat dapatin cinta Ilham. Apa gue harus ngungkapin lagi?" tanya Rycca tanpa melihat Kafin, kepalanya mendongak ke atas, melihat dedaunan pohon mangga yang meneduhkan. Kafin menyentuh dagu Rycca, dan menariknya untuk menatap ke arahnya.