Kafin menghela napas gusar, sedari tadi posisinya sangat tidak nyaman untuk tidur. Pukul delapan malam, Kafin hanya tengkurap di ranjang yang bersprei batman. Kafin kembali telentang, mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya. Pria itu mengecek aplikasi chatting, cukup banyak yang mengirim pesan untuknya. Entah itu adik kelas maupun kakak kelas yang mayoritas kaum hawa. Namun, hanya satu nama yang Kafin sematkan, siapa lagi kalau bukan, Pyralis.
Kafin menghela berat, sedari tadi Rycca tidak membalas pesannya sama sekali. Jangankan dibalas, dibaca saja enggak. Padahal banyak sekali nomor-nomor yang tak dikenal memberi pesan untuk Kafin, yang Kafin yakini itu teman sekolahnya.
Pyralis
Rycca gimana keadaan lo?
Gue ke rumah lo, ya?
Rycca jangan bikin gue panik!
Rycca lo gak mati, 'kan?
Ryc!!!😥
Sekiranya itu isi pesan yang dikirimkan Kafin untuk Rycca, dan masih banyak lagi jika di scroll ke atas. Kafin memejamkan matanya, memijit pelan pelipisnya. Pria itu berdiri dan berjalan ke arah balkon kamarnya, dan duduk di sofa tepi balkon. Kafin mendongkakkan kepalanya ke atas. Awannya tampak cerah, ribuan bintang tampak tersenyum ramah kepadanya.
Kafin menghela napas panjang, tangannya menangkup wajah tampan miliknya.
Gue udah berjuang sejauh ini, tapi kenapa masih nggak ada hasil?
****
Rycca menghela napas berat, kepalanya terasa pening. Gara-gara insiden tadi di sekolah, ia merasa tubuhnya lemas. Ditambah lagi banyaknya pesan dan panggilan tak terjawab dari Kafin. Rycca benar benar mengabaikannya! Jujur, Rycca kaget ketika ada kejadian yang mengerikan saat dia pingsan. Arini menceritakan seluruh kejadian dan tak terlewatkan sedetikpun, Rycca jadi bergidik ngeri mendengarkannya. Ia marah atas perlakuan Kafin terhadap Ilham, kalau Bu Estianti, Rycca masa bodoh! Tapi terselip dalam benaknya ada rasa kasihan terhadap wanita berdandan menor itu. Dan Rycca menyadari, bahwa dia pingsan bukan salah Bu Estianti sepenuhnya. Padahal salahnya sendiri yang tidak sarapan dan terlalu banyak pikiran.
Drttt... Drttt...
Dering ponsel Rycca bunyi, membuat si pemilik memutar bola matanya malas. Paling dari Kafin, pikirnya. Lalu gadis itu membaringkan tubuhnya di ranjang, mengabaikan panggilan itu. Tidur Rycca merasa tak nyaman, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Suara ponselnya sangat mengganggu. Rycca bangun dari ranjangnya dengan malas, mengambil ponsel yang ada di meja belajarnya. Tanpa pikir panjang Rycca menggeser tombol hijau ke atas layar.
"Gue lagi marah sama lo, jangan ganggu gue!" pekik Rycca pada ponselnya.
"Halo Rycca, kamu kenapa?" Suara diseberang sana tampak gusar, Rycca masih diam mematung. "Halo Rycca, kamu dengar Papa, 'kan? Gimana keadaan kamu sekarang, kenapa kamu bisa pingsan?" lanjutnya dengan nada bertambah panik. Rycca langsung menatap ponselnya. Benar saja itu bukan nomor Kafin. Nomornya tak dikenal. Bagaimana ia bisa tahu nomor ponsel Rycca? Dan bagaimana ia bisa tahu kalau Rycca pingsan di sekolah? Apa ia memata-matainya? Ah, tidak mungkin. Pasti dari Tante Arinda.
"Rycca, kamu masih di sana? Gimana keadaan kamu sekarang? Kamu baik-baik sajakan, Nak?" tanya pria disebrang sana lagi, lebih khawatir. Rycca menghela napas pelan.
"Saya baik-baik saja, anda tidak perlu menghawatirkan saya. Jangan buang waktu anda dengan sia-sia hanya untuk mengkhawatirkan saya," jawab Rycca dingin, kata itu begitu sangat menusuk hati pria paruh baya yang ada diseberang telepon sana. "Dan bagaimana anda bisa tahu kalau saya pingsan, hah?" lanjut Rycca dengan nada yang sama, dingin.
"Ehm.. da...dari tantemu," jawabnya agak gugup, Rycca mengernyit. "Rycca, jaga baik-baik dirimu yah, jaga kesehatan, dan jangan sampai telat makan. Papa akan ada meeting sebentar lagi. Tolong lakukan yang Papa suruh, Papa sayang kamu. Love you sayang,"Â lanjutnya lembut, dan sedetik kemudian terputus sudah sambungan telepon itu. Rycca masih diam mematung, tak percaya dengan kata-kata yang papanya ucapkan beberapa menit lalu. Tak terasa, setetes air mata mengalir melewati pipi pucatnya. Dan lama kelamaan terdengar suara isakan yang memilukan. Rycca mencoba meredakan isakannya, sampai ia menutupi mukanya dengan bantal.
Namun tetap saja, air matanya masih ingin keluar. Tak bisa dipungkiri, Rycca begitu rindu dengan sosok papanya. Sosok yang dulu sangat dia sayang, sosok lelaki yang selalu membuatnya tersenyum, dulu. Tapi sekarang sosok itu sudah menjadi buruk dimata Rycca. Tidak lagi ia rindu, dan tidak lagi ia cinta. Dia benci papanya!
"Kenapa papa baru sekarang mau kembali? Kenapa nggak 6 tahun yang lalu biar rasa benci ini nggak hadir?!"
Sakit itu ketika, sebuah rasa cinta yang berubah diganti oleh rasa benci, hanya karena satu kesalahan.