Iya, Aku yang egois. Aku yang selalu ingin terus kamu perjuangkan tanpa memberi kamu kepastian. Egois bukan?
*****
Panggilan kepada Kafin Nata Danadyaksa kelas 12 IPA 1 dan Rycca Gwen Pyralis kelas 12 IPS 2. Harap segera ke ruang bimbingan konseling.
Jam pelajaran pertama sedikit terganggu dengan adanya pemberitahuan itu. Setelah selesai, pelajaran mulai berjalan kembali.
Gadis yang merasa namanya terpanggil itu menghembuskan napas panjang. Namun terbesit di hati kecilnya, ia merasa bahagia.
Bertemu Kafin?
"Pak, saya ijin mau ke ruang BK." Rycca menatap pria paruh baya yang sibuk mebolak-balikkan buku paket matematika itu.
"Iya, silakan," jawabnya. Rycca langsung mengangguk dan melenggang keluar dari kelasnya. Rycca berjalan melewati koridor untuk menuju ke ruang BK. Gadis itu tersenyum kecil melihat punggung pria berbadan jakung itu. Rycca sangat mengenali pria itu. Kafin.
Rycca langsung berlari, mencoba menyejajarkan langkahnya.
"Kafinnnn," panggil Rycca, entah mengapa terdengar amat bahagia. Namu, pria itu sama sekali tak menggubris. "Ihh, ganteng-ganteng budeg!"
Rycca mempercepat langkahnya. Kini langkah mereka sejajar.
"Fin!" panggilnya lagi. Pria itu menatap Rycca, tatapan tajam dan dingin. Entah mengapa membuat Rycca sedikit gugup.
"Apa?" tanyanya dingin.
"Lo mau ke ruang BK?" tanya Rycca gugup. Entah sejak kapan atsmosfer dingin dan canggung tengah menyelimuti.
"Menurut lo?"
Rycca meneguk salivanya dengan susah payah. Ada apa dengan Kafin? Rycca tak pernah melihat sorot dingin, tatapan tajam dari pria itu. Sungguh, Rycca merindukan senyum manis milik pria itu.
Kafin melenggang pergi, meninggalkan gadis itu sendiri membeku di tempatnya. Rycca menatap punggung Kafin yang kian menjauh dari pandangannya. Mata gadis itu sendu, sedetik kemudian ia tersenyum getir.
Benarkah Kafin akan benar-benar pergi dari hidupnya?
****
Suasana begitu hening, tak ada yang membuka suara. Hanya terdengar deru suara AC ruangan dan ketukan bolpoint. Wanita paruh baya itu menatap kedua remaja yang kini saling diam dan menunduk.
Bu Estanti berdiri dari tempatnya, menghembuskan napas jengah.
"Kalian itu sudah ibu peringatkan berapa kali? Jangan bolos! Tetep aja bolos!" geram wanita paruh baya itu. "Mau jadi apa kalian, hah?!"
"Apa begitu susahnya untuk mentaati peraturan sekolah?!" Estanti memijat pelipisnya pelan. Kedua remaja yang dibentaknya sedari tadi hanya diam tak bergeming.
"Rycca, Kafin!" pekiknya kesal. Kedua insan yang dipanggil itu langsung menatap wanita paruh baya itu. Tak ada tatapan takut atau panik. Mereka hanya menganggap semua baik-baik saja.
"Masih lama Bu? jwam ketiga saya ada ulangan," jawab Kafin teramat santai, membuat wanita paruh baya itu naik pitam.
"Kamu bener-bener nggak bisa menghargai saya sebagai guru ya! Saya akan laporkan ke kepala sekolah!" ujar Estanti dengan nada tinggi yang penuh ancaman. Tapi apa Kafin dan Rycca peduli? Tidak.
"Terserah Ibu, pindah dari sekolah ini saya juga nggak masalah. Saya cuma mau ambil tas saya yang kemarin ketinggalan," jawab Kafin dingin dan penuh penekanan. Rycca yang mendengar itu langsung membelalak sempurna.
"Fin, lo apa-apaan sih? Kan ini emang salah kita, kok jadi lo yang marah-marah sih?!" protes Rycca. Kafin memutar bola katanya jengah.
"Diam lo!" bentaknya. "Gak usah sok ngatur hidup gue!" lanjutnya dengan tatapan tajam. Rycca diam membeku di tempat. Masih tak percaya dengan ucapan Kafin. Pria itu menghembuskan napas kasar. Dengan cepat ia mengambil tas miliknya, dan langsung melangkah keluar.
Rycca dengan cepat mengambil tas miliknya juga, dan bergegas menjemput pria itu. Namun langkahnya terhenti ketika pergelangannya ditahan oleh wanita paruh baya.
"Kalian lagi bertengkar, ya?" tanyanya kepo. Sungguh Rycca benar-benar benci dengan pertanyaan itu.
"Menurut Ibu? Saya mau keluar!" jawab Rycca terburu-buru.
"Kabarnya sudah cerai? Emang bener?" tanyanya lagi. Rycca menghela nafas jengah.