Maaf, maafmu tak bisa menghilangkan rasa kecewaku. Bisakah pergi saja dan lupakan?
*****
Pria paruh baya dengan kemeja yang berantakan itu berjalan memasuki rumah bernuansa putih. Wajahnya tampak kusut, matanya memerah sendu, dan pada rahang tegasnya tampak air matanya yang mengering. Saat sampai di ruang tamu, ia menemui gadis yang masih setianya menangis. Pria itu menghembuskan napas berat.
"Sudahlah Nisa. Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja Nak." Annisa masih terisak. Ia tak percaya pertemuan dadakannya dengan Rycca yang sudah tahu kebenaran akan berakhir seperti ini. Annisa langsung berhambur di pelukan papanya. Mr Pyr membelai lembut rambut panjang anak gadisnya itu.
"Tapi Nisa salah Pa. Rycca jadi marah sama Nisa. Semua gara-gara Nisa, Nisa udah bikin Rycca sedih," racaunya parau. Mr Pyr menghembuskan napas pelan. Andai saja Rycca tahu bahwa saudaranya ini sangat menyayanginya.
"Nanti Rycca pasti maafin kita kok. Kamu yang sabar. Sekarang Rycca masih butuh ruang sendiri. Mungkin dia tadi hanya syok dan sedikit kecewa karena kebohongan Papa." Mr Pyr menyeka lembut air mata anak gadisnya. Hidung Annisa sampai memerah karena kelamaan menangis. Sedikit katanya!
"Beneran?"
Mr Pyr mengulas senyumnya. Lalu mencium singkat dahi anaknya.
"Iya, kamu jangan sedih. Papa salut sama kamu, bisa sedewasa ini menerima Rycca," ungkapnya lembut.
"Pa, Nisa tahu diri kok." Mr Pyr mengangguk singkat. Kemudian meninggalkan gadis itu sendirian.
Annisa cukup tahu diri bahwa ialah penyebab hancurnya kebahagiaan Rycca. Merasa bersalah? Tentu saja! Ia terus berusaha untuk memperbaiki segalanya.
Mr Pyr berjalan lemah, membuka kenop pintu besar berwarna hitam. Lalu disambutlah ia dengan wanita sebayanya, ia tersenyum kecil dan lembut.
"Kau tampak lelah," ujarnya perhatian. Mr Pyr hanya memaksakan senyumnya, lalu mengambil duduk di tepi ranjang. "Bagaimana Rycca?" tanyanya membuka pembicaraan. Mr Pyr menghela napas berat sembari memijit pelan pelipisnya.
"Masih marah," jawabnya sekenanya. Violla menghela napas pelan.
"Maafkan saya Al, ini semua gara-gara saya. Nggak seharusnya saya merusak kebahagiaanmu dengan Gwen," ujarnya dengan bibir yang bergetar. Mr Pyr sudah mendengar kata-kata itu berkali-kali dari wanita malang itu. Jujur, Violla sangat menyesal. Hubungan mereka terjadi karena sebuah kesalahan. Tak ada keharmonisan di dalamnya. Keduanya hanya akan terlihat romantis apabila di depan anak-anaknya.
"Sudahlah Vio. Sudah terjadi, mau bagaimana lagi?" Violla tampak menunduk lemah. Selama menyandang status istri kedua seorang James Alfa Pyralis ia selalu dihadapkan dengan sikap dingin James dan juga dihadapkan marabahaya dari musuh-musuh James yang bertebaran di luar sana. Berbeda dengan Gwen, James selalu sayang dan melindunginya sepenuh hati. Ya walaupun pada akhirnya semua gagal. Jujur, ia merasa sangat iri.
"Apa kita akhiri saja Al? Biar kamu bisa bahagia dengan Rycca," ungkapnya. Mr Pyr mebelalak sempurna. Kemudian tersenyum kecil. Terkesan sinis.
"Jangan konyol. Aku tak mau ada yang tersakiti lagi karena ditinggalkan, Vio! Anak-anak yang membuat aku masih mau bertahan denganmu sampai sejauh ini! Dan juga janjiku pada Gwen yang menyuruhku untuk tak meninggalkanmu!"
Sakit. Itulah yang Violla rasakan ketika kata itu keluar dari mulut pria yang ia cintai bertahun-tahun lamanya. Hanya anak dan janji konyol yang membuatnya bertahan, bukan kau Vio! Enyahlah!
Buliran bening itu mulai meluncur mulus di pipi Violla. Isakan kecil samar-samar terdengar dipendengaran Mr Pyr. Pria itu menghembuskan napas lelah.
"Sudahlah Vio, hari ini saya lelah melihat banyak orang menangis."
Violla cepat-cepat menyeka air matanya. Menghentikan isakan yang sialannya tak bisa dihentikan.
"Alfa, tak bisakah kamu mencintai saya barang sedikit saja?"
Mr Pyr menatap istrinya yang juga menatapnya penuh harap. Ia sebenarnya tak tega juga selalu bersikap ketus padanya disaat berduaan begini. Mr Pyr menghela napas berat.
"Jangan memaksaku. Sudah kucoba, tapi tetap Gwen yang ada disini. Kuharap kau mengerti itu, Vio," balasnya dengan memegang dadanya. Kemudian pria itu pergi ke kamar mandi, bergegas membersihkan diri. Mungkin dengan air dingin, pikirannya akan fresh kembali.Sedangkan Violla hanya bisa menatap sendu punggung suaminya.
Mau sampai kapanpun, Ia tak akan cinta padamu Vio. Tahu dirilah!
****
Mobil putih itu berhenti di petarangan rumah minimalis. Mr Pyr, Annisa, dan Violla keluar dari mobil tersebut. Lalu mereka masuk ke dalam rumah itu.
Tok... Tok... Tok...
Mr Pyr mengetuk pintu itu dengan tak sabaran. Sedari tadi pria itu tampak gusar, dan Violla selalu mencoba untuk menenangkan. Pintu terbuka. Terlihat sosok wanita dewasa yang sudah rapi dengan seragam kerja kantor. Itu Arinda. Ia memancarkan sorot tak suka pada Mr Pyr.
"Mau apa?" tanyanya dingin.
"Aku mau ketemu Rycca Nda, tolong izinkan masuk," pinta Mr Pyr memohon. Arinda tampak memutar bola matanya jengah.
"Aku mengizinkan. Sayangnya Rycca nggak mau ketemu kamu Mas. Lebih baik biarkan dia tenang dulu dari pada keadaan semakin buruk."
Mr Pyr menghembuskan napas kecewa. Ia menunduk lemas. Kejadian saat ia menampar keras putrinya itu selalu terngiang. Ia menyesal, Gwen maaf!
"Nda, tolong Nda." Arinda tak tega melihat Mr Pyr yang benar-benar kacau. Tapi, ia yakin Rycca akan marah besar jika Arinda mengizinkannya. Tapi apa pantas ia begini? Memberi batas antara Bapak dan anak.
Arinda menghembuskan napas pelan. Mr Pyr, Violla, dan Annisa terus merengek. Memohon.
"Baiklah, ayo masuk."
Tiga insan itu langsung membuntuti Arinda. Mereka menuju ke arah meja makan. Di sana sudah ada Rycca dan Kafin yang tampak asik bercanda sembari sarapan. Iya, Kafin sengaja menginap untuk menghibur gadisnya semalaman. Alhasil, Rycca tak sehancur semalam.