Selesaikan masa lalu dengan baik-baik jika kau tak ingin merusak masa depanmu.
*****
Suara deru AC samar-samar merambat, terdengar halus di pendengaran Rycca. Tercium semerbak pengharum ruangan yang begitu maskulin, memabukkan. Rycca perlahan membuka matanya, merasakan pening yang bersarang di kepalanya. Ringisan kecil lolos dari bibir ranumnya, ia mengedarkan pandangannya di ruangan ini. Seperti sebuah kamar dengan ranjang king size. Ia kira, ia akan di letakkan di gedung tua penuh lumut seperti waktu Azka menculiknya. Mengingat kejadian itu membuatnya bergidik ngeri. Tentu saja Mr Pyr tak akan tega menaruhnya di gedung tua! Ia masih anaknya! Batin Rycca.
Rycca memegangi perutnya yang sedari tadi bergetar hebat. Ia belum makan, tepatnya tidak sempat. Rycca menengok jam dinding, matanya membelalak hebat saat tahu sekarang sudah jam sepuluh malam. Ah, selama itukah ia pingsan?
Rycca turun dari ranjangnya. Ia berniat untuk keluar namun pintu dikunci. Sial! Gadis itu menghembuskan napas berat, mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia benci situasi ini!
Ceklek
Pintu terbuka. Rycca menatap ke arah pintu dengan was-was. Sosok pria berbadan tegap datang, wajahnya tetap saja begitu. Datar, Rycca benci dengan raut tak berekspresi itu!
"Nona sudah sadar?" tanya pria itu datar. Rycca mendengus pelan.
"Kelihatannya?" sewotnya sembari memalingkan wajah tak acuh. Pria itu hanya berdeham pelan, masih saja datar. Dia patungkah atau mayat hidup?!
"Tuan menyuruh Nona untuk makan malam. Mari saya antar ke meja makan." Rycca menatap pria itu, tatapan mengintimidasi. Pria itu hanya diam, membalas tatapan Rycca dengan tenang.
"Nggak mau!" tolaknya. Padahal sedang lapar.
"Nona, kenapa selalu mempersulit segalanya? Ya sudah, Tuan tak suruh saya memaksa Nona untuk makan. Toh yang butuh makan itu Nona sendiri."
Ah, sial! Mampus lo Ryc, bisa mati kelaparan!
Pria itu ingin beranjak, namun langkahnya terhenti saat Rycca memanggil. Pria itu menatap Rycca, masih datar. Rycca menggigit bibir bawahnya. Sial, malu setengah mampus!
"Saya berubah pikiran," ucapnya pelan. Pria itu hanya tersenyum kecil. Menyebalkan!
"Mari ikuti saya, Nona."
Rycca menghela napas pasrah. Pria berbadan tegap itu sudah berjalan mendahuluinya. Dengan terpaksa, demi cacing-cacing di perut, ia segera mengikuti pria itu.
Rycca terperangah ketika melihat lorong demi lorong. Benarkah ini mansion? Bangunan yang begitu megah dengan nuansa putih dan emas yang menawan. Layaknya tempat tinggal bangsawan. Rycca mengedarkan pandangannya dengan tatapan takjub. Ukiran, lukisan, patung-patung yang begitu mengagumkan. Perlahan-lahan ia menuruni anak tangga yang melingkar. Melangkahkan kakinya mengikuti pria berbalut jas hitam itu. Mukanya terus kaku, tak pernah berubah.
"Silakan duduk Nona," ujarnya sopan. Rycca mengangkat dagu dengan angkuh. Tatapannya beralih pada berbagai jenis makanan yang ada di atas meja. Mata Rycca berbinar, begitu banyak makanan yang disajikan. "Kenapa Nona tak makan?" tanya pria berpawakan dingin itu. Rycca mengernyit.
"Tuanmu mana? Dia nggak ikut makan?"
Pria itu berdeham pelan.
"Tuan belum mau bertemu Nona," ucapnya kemudian membuat Rycca menatap penuh tanya. Rycca berdecih, pria berpakaian serba hitam itu sesegera mungkin meninggalkannya. Seolah tahu bahwa Rycca akan bertanya lebih.
Kini hanya tersisa dirinya, dan beberapa maid di sana.
"Nona mau makan apa? Biar saya ambilkan," tawar wanita paruh baya dengan lembut. Rycca mencoba tersenyum sopan. Benarkah yang menculik papanya? Tapi kenapa ia tak mau bertemu dengannya? Apa Papa takut dengan sikap Rycca yang keras kepala tak mau mendengar alasan? Argh! Pertanyaan-pertanyaan itu hanya melayang di pikiran Rycca. Dibiarkan mengambang tanpa kejelasan. Hampa tanpa jawaban.
"Nggak usah, biar saya sendiri saja," tolak Rycca sopan. Maid itu tersenyum sembari mengangguk, lalu pamit undur diri.
Sampai sekarang Rycca bertanya-tanya. Apa alasan papanya menculiknya? Ah, masa bodoh! Sekarang waktunya mengisi perut yang kosong.
****
Kafin membanting ponselnya ke dasbor dengan kasar. Tangannya mengacak-acak rambutnya frustasi. Sudah berjuta kali ia menghubungi Rycca, tapi tetap saja nomornya tidak aktif. Pria itu menghembuskan napas khawatir, pikiran-pikiran buruk mulai menjelma. Seolah kejadian masa lalu terulang kembali. Apa sekarang gadisnya tengah disiksa? Apa gadisnya sekarang tengah merintih kesakitan, meminta pertolongan?
Kafin memukul stir mobilnya berkali-kali. Tak peduli jika melukai tangannya sendiri.
"Fin, stop it!" pekik Bivangga yang sedari tadi memperhatikannya. "Tenanglah."
"Gimana gue bisa tenang Biv, kalo cewek gue sekarang lagi disiksa sama orang gila di luar sana?!" teriak Kafin, menampakkan urat pada lehernya. Rahangnya mengetat, wajahnya memerah padam.
Bivangga hanya diam. Menatap Arini dan Annisa yang duduk di jok belakang mobil.
"Fin, tenang. Papa James sedang perjalanan pulang ke Indonesia," ucap Nisa mencoba menenangkan. Kafin menatap Nisa sekali lagi, lebih lekat.
"Benar hilangnya Rycca nggak ada kaitannya sama Papa lo?" tanya Kafin mengintimidasi. Nisa memghembuskan napas jengah. Sudah keberapa kalinya pria itu menuduh.
"Lo tadi dengar sendiri kalo Papa James juga ikutan panik kalo Rycca hilang. Lagian Papa James sudah lima hari di Kananda!"
"Kali aja semua sudah direncanakan!"
"FINN!"
"STOP IT! Kalian bisa diam nggak? Bukan waktunya berdebat disaat genting kayak gini!" Arini menggebu. "Kalian kira dengan saling menyalahkan bisa bikin Rycca balik? Yang ada buang-buang waktu?!"
Nisa menyenderkan tubuhnya pada jok, mengalihkan pandangannya. Sedangkan Kafin hanya diam saja, tak bergeming.
"Kita juga dari tadi sudah muter-muter cari Rycca. Hasilnya juga nihil. Sama saja buang-buang waktu," cerca Kafin tajam.
"Stop bertingkah menyebalkan Fin!" sangkal Arini tak suka. Kafin sedari tadi kalang kabut, sampai tak bisa berpikir jernih. Napasnya gusar, pikirannya tak tahu berkelana kemana.
Kafin menunduk, menaruh kepalanya pada stir mobil dengan lemah.
"Rycca lo di mana?" gumamnya sendu. Keadaan dalam mobil jadi canggung begini.
Drrtt... Drttt...