Jangan pergi dulu. Aku nggak siap kalau harus rindu tanpa bisa ketemu. Jangan hilang dulu. Aku nggak siap kalau apa-apa tanpa kamu.
*****
Pria berseragam khas SMA itu berjalan perlahan. Rambut dan seragamnya agak basah karena guyuran air hujan. Tak lupa pria itu membawa setangkai bunga matahari yang cantik.
Kafin berjalan melewati koridor rumah sakit, beberapa pasang mata tampak memperhatikannya. Tapi ia memilih abai. Pria itu menuju kamar yang akhir-akhir ini sering ia kunjungi. Bahkan tak jarang Kafin memilih untuk menginap.
Pria itu membuka pintu secara perlahan. Di sana terpampang jelas sosok gadis yang terbaring dengan nyenyaknya. Sedangkan di samping ranjangnya ada seorang pria paruh baya yang dengan setianya menunggu gadis itu untuk membuka mata. Itu Mr Pyr, Kafin berjalan mendekat.
"Biar saya aja Om yang jaga Rycca. Om pasti belum makan dari pagi." Mr Pyr menatap Kafin datar. Dengan wajah lesuh, pria itu mengangguk. Berdiri dari tempatnya, menepuk pelan pundak Kafin, lalu melenggang pergi. Mr Pyr yang malang. Pria itu seperti mayat hidup saja saat pertama kali Rycca dinyatakan koma.
Semenjak insiden itu, Rycca langsung tak sadarkan diri. Jatuh dari lantai tiga, bayangkan saja! Patah tulang, kehilangan banyak darah, dan kerusakan beberapa organ dalam membuatnya berakhir di atas ranjang ini. Mr Pyr sudah melakukan segalanya. Mulai dari perawatan medis hingga para dokter yang menangani Rycca semua berkualitas dari luar negeri. Ia hanya ingin putrinya kembali.
Kafin menatap Rycca, kemudian memaksakan senyumnya. Ia lalu menaruh setangkai bunga matahari itu pada fas yang sudah berisi 24 tangkai bunga matahari. Kini bunga yang ada pada fas itu bertambah satu, menjadi 25.
"Sudah dua puluh lima hari Ryc kamu tidur. Nggak capek apa itu mata merem mulu? Nggak mau lihat gue apa yang gantengnya mulai nambah?" gumam Kafin yang ditujukan pada gadis yang masih setia tertidur itu, entah mampu terdengar atau tidak. Kafin benar-benar rindu, mulai dari tatapan sinis gadis itu, senyum jahat miliknya, hingga sikapnya yang begitu ketus dan galak. Sangat kangen. Dunia Kafin terasa hampa bila tak ada Rycca di dalamnya. Pagi, siang, malam terasa biasa saja. Tak ada yang menarik untuk dinikmati. Seketika rasanya seperti mati.
Kafin mengalihkan pandangannya pada gadis yang masih setianya tertidur pulas. Wajahnya pucat pasi, kepalanya masih diperban. Dan beberapa alat medis yang tertempel di tubuhnya yang Kafin sendiri tak tahu apa fungsinya. Tapi Kafin yakin, alat itu pasti membantu untuk kesembuhan gadisnya. Kafin perlahan menyentuh tangan Rycca, begitu dingin. Lalu pria itu mendaratkan bokongnya di tempat yang tadi Mr Pyr sempat duduki.
"Bangun Ryc, lo nggak capek apa merem mulu? Itu mata udah belekan! Gue kangen sama lo," pinta Kafin sembari mengecup perlahan punggung tangan Rycca yang dingin. "Gue kangen ketawa bareng lo, tawuran dan bolos sekolah bareng lo. Gue kangen jahilin Jono, ngebully Akmal. Gue kangen kita Ryc, gue gak mampu sendiri gini. Lo bangun dong." Semakin lama Kafin semakin lirih. Dadanya sesak tak tertahan. Hampir setiap malam Kafin tak bisa tertidur dengan nyenyak. Kafin selalu takut jika... Ah, Kafin tak kuasa, jangankan mengucapkan, memikirkannya saja sudah membuatnya ingin mati detik itu juga.
"Ryc, bangun..." lirih Kafin seperti menahan isakan. Perih, dan rasanya seperti dipukuli bertubi-tubi. Berada pada ambang keputusan untuk bertahan atau meninggalkan yang tak tahu apa hasilnya. Kafin sangat berharap Rycca dapat bertahan dan kembali seperti sedia kala. Tapi tak menjamin, pergi pun bisa jadi pilihan Rycca. Kafin hanya tak siap jika ditinggalkan, sangat tidak!
Perlahan Kafin menatap gadisnya dalam-dalam. Hening, hanya suara alat pendeteksi jantung yang terus berbunyi 'tut' berkali-kali. Lambat laun Kafin dapat merasakan tangan yang ia genggam bergerak. Semakin lama semakin cepat, begitu juga bunyi alat itu. Kafin bingung, panik sekaligus. Apalagi saat tubuh Rycca kejang-kejang dengan mata yang masih tertututp rapat.
"DOKTER! DOKTER!" Kafin berteriak lantang. Tapi seseorang yang ia harapkan kehadirannya tak juga datang. Ah bodo! Ia tak memencet alat dekat ranjang Rycca untuk memanggil dokter. Kafin langsung beranjak, buru-buru ia pencet alat itu. "DOKTER CEPAT KESINI! RYCCA KEJANG-KEJANG! TOLONG CEPAT!" racau Kafin lalu kembali di tempatnya semula. Ia menggenggam tangan Rycca yang bergetar hebat, memeluknya. "Rycca, yang kuat ya," pintanya lirih. Ah! Kenapa dokternya lelet sekali! Kafin mengumpat dalam hatinya.
Ia menatap alat pendeteksi detak jantung itu. Angka yang di sana menurun, lebih rendah dari sebelumnya. Kafin menggeleng, kemudian menatap wajah gadisnya dengan sendu. Gelombang dari alat itu menurun, tidak stabil.
"Gue mohon Ryc, bertahan." Kafin tergulai lemas, tak kuasa harus berbuat apa.
Tak lama dokter langsung datang dengan para susternya. Kafin dengan lemas menatap Rycca, ia ditarik oleh suster untuk menunggu di luar. Membiarkan dokter yang menanganinya.
Kafin hanya bisa pasrah. Rasanya begitu hampa. Melihat sang kekasih yang tengah beradu dengan maut. Selamatkanlah ia Tuhan! Tolong, untuk kali ini saja dengarkan senandung doa dari Kafin. Pria itu benar-benar kacau, menangis pilu.
****
Perlahan-lahan Rycca mengerjapkan matanya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya seperti ingin remuk saja bila digerakkan. Saat membuka mata, hal yang pertama kali Rycca lihat adalah hamparan padang hijau yang begitu luas. Sepi dan menakjubkan. Tapi, di mana ia sekarang?
Rycca berjalan ke tengah padang itu, langit begitu cerah dan udara begitu sejuk menusuk kulitnya. Tatapan Rycca terkunci pada sosok wanita cantik dengan tubuh semapai yang dibalut dress putih bersih. Wanita itu tengah memetik bunga matahari yang tengah mekar. Rycca ternganga seketika... Mama? Sosok itu persis seperti Mama Gwennya.
Rycca berlari cepat, menghampiri wanita cantik itu. Semakin dekat jaraknya, semakin cepat juga detak jantung Rycca berpacu. Ia tak tahu perasaannya saat ini. Ia juga tak tahu apa yang ada di hadapannya ini nyata, atau hanya mimpi belaka. Rycca tak peduli, yang terpenting ia sekarang melihat sosok wajah yang telah lama pergi. Senyum yang biasanya Rycca lihat dari bingkai foto lama, kini bisa ia saksikan dengan nyata.
"Mama," panggil Rycca. Wanita itu menoleh, tersenyum kemudian.
"Rycca." Gadis itu tak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Rycca langsung berhambur ke dalam pelukan wanita itu. Mamanya, Gwen membalas pelukan Rycca tak kalah erat.
"Rycca kangen banget sama Mama," ujar Rycca yang masih berada di dekapan hangat Gwen. Wanita itu mengusap lembut punggung Rycca, lalu melepaskan dekapannya.
"Mama juga kangen sama kamu," balas Gwen dengan lembut. Rycca tersenyum bahagia, lalu memeluk lagi tubuh ibunya yang terasa begitu nyata itu, lagi, dan lagi. Tak ingin lepas, rindunya pun belum juga tuntas. "Rycca, ikut Mama yuk," ajak Gwen, Rycca melepaskan dekapannya, lalu menatap Gwen dengan penuh tanya.
"Ke mana Ma?"