Kita butuh ruang masing-masing buat sementara waktu. Agar bisa tahu, sejauh mana rasa cinta dan rindu itu meramu. Biar aku lebih yakin untuk memilih kamu.
*****
Beberapa bulan kemudian...
Seorang pria berbadan jangkung itu berjalan melewati jalur lurus, kadang juga berbelok yang di tepinya dipenuhi oleh batu nisan yang tersusun rapi. Pria itu membawa sebuket bunga matahari, sangat cantik. Ini ia khususkan untuk seorang wanita cantik yang spesial, yang sangat berharga bagi Kafin. Yah, walaupun sekarang sudah tiada. Hanya ini yang bisa Kafin lakukan untuk berterima kasih sebanyak-banyaknya.
Kafin sampai di salah satu makam yang terawat, bersih, dan selalu wangi itu. Pria itu tersenyum kecil, sedikit sendu. Lalu ia letakkan buket bunga matahari itu tepat di atas makam, ia senderkan di batu nisan.
"Halo--"
Ucapan Kafin terpotong saat ponselnya bergetar. Ia langsung mengambil benda pipih persegi itu dari sakunya.
"Halo, kenapa sayang?" tanya Kafin, jarang-jarang kekasihnya itu menelponnya lebih dulu.
"Lo di mana? Bete nih di rumah terus!" keluhnya di sebrang sana. Kafin terkekeh pelan.
"Bilang aja kangen sama gue." Kafin dapat mendengar helaan napas jengah di sana. Khas dan menggemaskan.
"Katanya mau ajak gue keluar," ujarnya. Kafin tersenyum lebar.
"Iya, jam tiga gue jemput lo."
"HAH?! Tiga puluh menit lagi dong?! Kok dadakan sih?!" Kafin kembali terkekeh.
"Sengaja," ucapnya, "biar kamu gak dandan. Soalnya aku gak rela kalau cantiknya kamu bisa dinikmati cowok lain. Kan itu cuma buat aku doang!" lanjutnya menuntut. Kafin lebih posesif semenjak insiden 'itu'.
"Ihh! Nyebelin! Yaudah gue siap-siap, bye!"
Telepon dimatikan secara sepihak. Kafin menghembuskan napas pelan, kemudian ia kembali tersenyum. Jika ada orang yang melihatnya saat ini, tengah tersenyum-senyum sendiri apalagi di pemakaman. Pasti ia dikira orang gila, atau yang lebih mengerikannya lagi, ia dikira kesurupan.
Kafin kembali menatap makam itu, masih diam. Menikmati angin yang semilir menjatuhkan bunga kamboja yang melindungi Kafin dari teriknya matahari. Kafin mengusap lembut batu nisan itu. Batu nisan bernama Gwenilla.
Kafin menghembuskan napas panjang. Kembali tersenyum.
"Halo Tante Gwen. Ini Kafin, masih ingat?" Kafin tersenyum, membayangkan jika wanita itu menjawab pertanyaannya sambil tersenyum cantik. Pasti mirip Rycca. "Kafin di sini mau berterima kasih sebanyak-banyaknya sama Tante. Terima kasih telah menghadirkan Rycca di dunia ini. Saya nggak tahu apa jadinya jika hari itu Rycca benar-benar... Menyusul Tante."
Kafin menunduk dalam-dalam. Ia membayangkan kejadian di mana Rycca sedang bertarung dengan maut. Di mana hal itu mampu membuat Kafin lemas, tak berdaya, hampa, dan tak bergairah.
"Terima kasih Tante masih mau kasih Kafin kesempatan untuk menjaga Rycca. Maaf, dulu Kafin sempat lalai, sampai-sampai buat putri Tante tersiksa." Kafin menunduk lebih dalam. Tangannya bertumpu pada batu nisan itu. "Kafin nggak tahu apa jadinya hidup Kafin kalau Rycca benar-benar memutuskan untuk ikut Tante dan malaikat maut mengiakan permintaan Rycca," lirih Kafin lemah. Seminggu setelah sadar, Rycca cerita bahwa ia pernah bermimpi. Bertemu mamanya, bercerita panjang lebar, dan ia sempat memutuskan untuk ikut dengan Gwen. Putus asa dengan hidup yang serba salah. Ia ingin menghampiri bahaginya bersama Gwen.
Kaki Kafin rasanya lemas untuk menompang tubuhnya. Ia gumetar hebat, air matanya juga tak kuasa untuk diredam. Tak peduli jika ia dianggap cengeng, tak peduli juga bahwa ia adalah seorang laki-laki. Ia menangis karena punya hati.
Kafin mengangkat kepalanya. Menatap batu nisan itu dengan wajah yang memerah padam. Ia mengusap kasar wajahnya, menyeka air mata yang turun tanpa diminta itu.
"Sekali lagi, Kafin minta maaf Tante," ucapnya tulus. "Kafin pamit dulu, mau jemput Rycca. Doakan kami selalu bahagia ya Tante." Setelah mengucapkan itu, Kafin menunduk beberapa saat, mendoakan Gwen. Setelah selesai, ia langsung beranjak pergi.
****
Motor hitam besar itu mendarat mulus di sebuah petarangan rumah megah dengan nuansa putih yang menenangkan. Kafin turun dari motornya, kemudian berjalan menuju teras rumah. Di sana sudah ada sosok paruh baya yang tengah menyesap kopi di sore hari.
"Assalamualaikum Om, Rycca ada?" tanya Kafin. Mr Pyr menatap Kafin datar.
"Kamu udah ada janji sama Rycca?" Kafin mengangguk singkat. "Terus kenapa masih tanya ada atau enggak?" cibir pria itu sarkas. Kafin hanya nyengir tak berdosa.
"Kan basa-basi aja calon mertua," balas Kafin, Mr Pyr langsung mendelik ke arahnya. Percaya atau enggak, mereka berdua kalau dipertemukan pasti nggak ada akur-akurnya, dari dulu.
Pintu terbuka, gadis cantik yang mengenakan celana jins putih dengan kaos tipis berwarna hitam. Rambutnya tergerai panjang bergelombang.
"Hai Adinda," sapa Kafin. Rycca memutar bola matanya malas.
"Hai Kakanda," balasnya terpaksa. Mr Pyr menatap keduanya aneh. Kemudian mengelus dadanya pelan.
"Apa perlu Papa bangunin kalian kerajaan?" sindir Mr Pyr sarkas. Rycca terkekeh geli. Begitu juga dengan Kafin.
"Dengan senang hati Baginda Raja," jawab Kafin sambil terkekeh. Mr Pyr memutar bola matanya malas. Kemudian Kafin dan Rycca berpamitan pada Mr Pyr. Tak lupa juga dengan Violla yang keluar sebelum Kafin dan Rycca melenggang.
Semenjak kejadian itu, Rycca memilih untuk tinggal bersama keluarganya, yang baru. Entahlah, mimpi itu seolah memberi Rycca sebuah satu titik cerah untuk memilih jalan hidup yang lebih baik. Dan sekarang, dia mendapatkan itu. Tak terlalu buruk hidup bersama keluarga barunya, malah ia bahagia. Meskipun Daxton sesekali bersikap ketus padanya. Tapi pria itu tak sekalipun menyakitkan seperti tempo lalu. Ia juga sempat memohon dan meminta maaf pada Rycca.
Motor Kafin melaju pelan, menembus jalanan ibu kota sore hari yang sedikit lenggang. Tumben sekali. Kafin menatap Rycca, gadis itu hanya diam, melamun. Menatap bangunan tinggi menjulang yang berjalan mundur.
"Kok ngelamun?" tanya Kafin, sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar jelas oleh Rycca. Gadis itu tergelak, kemudian menggeleng.
"Enggak." Rycca tersenyum tipis, "mungkin gak sih Fin, kalau gue nggak ada, gue--"
"Finnn!!!" protes Rycca saat Kafin sengaja menginjak rem mendadak. Rycca melihat ekspresi wajah Kafin yang berubah.
"Gue gak mau bahas tentang itu lagi Ryc. Udah, gue cuma mau bikin lo bahagia hari ini, juga seterusnya," tukas Kafin serius. Rycca menghembuskan napas pelan. Kemudian mengangguk, tak lagi membahas persoalan itu. Akhir-akhir ini Kafin menjadi sensitif jika Rycca mau membahas soal apa yang dia rasa mengenai maut. Sebaiknya, ia harus kubur dalam-dalam dan tak membicarakannya di hadapan Kafin.
"Iya, maaf." Rycca berujar dengan tulusnya. Kafin tersenyum manis, menatapnya lewat kaca spion. "Terus kita mau ke mana?" tanya Rycca beralih pembicaraan.
"Ada deh, pokoknya lo bakalan bahagia seharian ini sama Kakanda!" pekik Kafin. Rycca hanya menggedikkan bahunya. Padahal dalam hatinya ia tak sabar menunggu hal mengejutkan apa yang akan Kafin beri.
Motor Kafin melaju lebih kencang. Sepanjang jalan pria itu selalu saja membuat Rycca tersenyum salah tingkah dengan gombalan garing sialan itu. Ah, terima kasih Tuhan, engkau masih memberi waktu lebih untuk hidup bersama Kafin.
****
Mereka sampai di tujuan, yakni pantai. Kafin membenakan topi hitam yang ia pakai, panas soalnya. Kafin agak sedikit sensitif dengan panas. Mereka berjalan menyusuri pesisir pantai dengan pasir putih. Kafin menggenggam erat tangan Rycca, sama sekali tak ingin lepas. Kafin lebih posesif dan sangat berhati-hati dalam menjaga Rycca.
"Udah ah, lepasin tangan gue! Kayak nenek-nenek mau nyebrang aja pake gandengan!" protes Rycca, ia langsung menepis dekapan tangan Kafin. Gadis itu berlari menjemput ombak yang tak terlalu besar itu menerjang pasir putih.
"Rycca awas jatuh!" Kafin mengejar gadis itu, belum sempat Kafin mengatupkan bibirnya, gadis itu sudah jatuh tergulai di pasir putih. Secepat kilat Kafin langsung menghampirinya. "Tuhkan! Susah dibilanginnya!" cibir Kafin, sedangkan gadis itu hanya cengengesan. "Lain kali jangan ceroboh gini!"