Dua jam sebelumnya...
Matahari sedang ganas-ganasnya. Baru pukul sepuluh, tapi hawanya sudah seperti di gurun sahara. Pintu kaca dorong yang menghubungkan ruang tengah dan halaman belakang sudah terbuka lebar dan semilir angin sudah beberapa kali menyapa, tetapi tidak banyak membantu. Angin yang dibawa tentu saja angin panas.
"Anjirrrrr, bisa-bisa gue mati kalau panasnya kayak gini," lolongan terdengar dari seorang cowok jangkung yang berbaring di sofa panjang berbahan fabric. Rambutnya yang biasa ia tata dengan model spiky style menggunakan pomade, kini tergerai natural, meskipun agak lepek karena sudah berkeringat sejak tadi. Peluh-peluh masih setia bertengger di beberapa bagian wajahnya yang sudah seperti model sabun cuci muka—bersih mulus tanpa celah. Padahal, tangan kirinya sibuk mengipas menggunakan leaflet promosi perumahan baru. Ia sedikit mengangkat punggungnya yang basah akan keringat. "Bentar lagi keringat gue nempel di sofa juga nih," ujarnya.
"Udah. Udah nempel, tuh. Bentar lagi lo bakal ditebas sama Bunda Suzanna karena ngotorin sofa dia dan jadi bau keringat." Cowok yang bersandar di tepi sofa menimpali. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan cowok yang pertama. Kepanasan dan keringatan. "Ini dunia apa neraka jahannam sih? Astaghfirullah." Ia mengencangkan kipasannya. Membuat kipas hadiah dari sebuah perusahaan obat itu hampir patah.
"Di saat-saat seperti ini gue rindu sekolah, cuy. Meskipun bikin ngantuk, tapi setidaknya di kelas dingin ada ACnya. Hota, lo beli AC dong!"
Cowok yang dipanggil Hota menengadah, meninggalkan buku yang sedang dibacanya. Ia menyunggingkan senyum simpul sembari menelengkan kepala. Dibanding dua cowok sebelumnya, Hota—atau bisa juga dipanggil Hotaru—tampak lebih santai. "Gue nggak kepanasan kok, Dev. Nggak perlu AC."
Dev mendecih sebal. Ini memang kesekian kalinya dia meminta Hota untuk membeli AC dan untuk kesekian kalinya pula dia mendapatkan penolakan. Hota yang pernah lama tinggal di Jepang mengatakan panasnya Indonesia masih kalah dengan musim panas di negara kelahirannya itu. Meski suhu di Jepang bisa lebih rendah dibandingkan di Indonesia saat musim kemarau, tapi kelembapan di negeri sakura itu saat musim panas sangat tinggi. Jadi, akan terasa panas yang lebih dahsyat dibanding yang Dev pernah rasakan di Indonesia. Bahkan saat malam pun hawa panasnya masih terasa. Tidak jarang orang-orang di sana terkena Necchusho* atau bahasa gampangnya Heat Stroke.
"Ya, atau lo ber-amal kek ke teman-teman lo yang kurang beruntung ini. Hitung-hitung amal Jariyah. Bokap lo ‘kan kaya, Ta." Dev masih belum menyerah. Dia menendang pelan Zyan dengan ujung kakinya, meminta bantuan. Namun, cowok yang alisnya mirip Zayn Malik itu hanya menggeleng pelan, tidak ingin campur tangan.
Hota mengangguk kecil. "Yang kaya itu bokap gue, bukan gue." Bibirnya merekah, menghasilkan tawa tanpa suara. "Lagipula, daripada ngeributin AC, mending lo belajar agama lagi deh. Perdalam tentang amal Jariyah," sindirnya sembari mengode Zyan dengan dagu untuk menyalakan TV.
"Tega lo! Lagian lo ngapain sih hidup susah seperti ini? Pakai ngekos segala. Enakan di rumah bokap lo pasti,’kan? AC tersedia, bisa nyala 24 jam, dan nggak perlu repot mikir biaya listrik? Lo tuh benar-benar tipe orang kaya yang nyebelin tau nggak? Diberi kemewahan dan kebahagiaan dunia malah cari susah."
Hota memang lebih memilih untuk mencari uang sendiri dan berhemat seakan-akan ia bukan anak orang kaya. Sekalipun medapatkan uang jajan yang berlimpah dari ayahnya tiap bulan, dia tidak pernah menggunakan sepeser pun kecuali untuk keperluan sekolah.
Alhasil, omelan Dev hanya berbalaskan angkat bahu dari Hota. Yang menimpali malah Zyan. "Lo sendiri kenapa ngekos di sini? Pulang sana ke Bandung. Rumah lo juga ada AC-nya, 'kan?"
"Berisik lo!" Dev melempar bantal sofa ke Zyan.
"Ya, lo tau sendiri ‘kan, Yan. Incaran dia itu sekolah kita, sekolah kaum elit," ejek Hota sambil terkekeh.
Bibir tipis Dev mengerucut mendengar ejekan teman-temannya, tapi apa yang mereka katakan benar. Seandainya saja bukan karena ingin masuk ke SMA Tirta Amarta, sekolah yang diidam-idamkannya sejak dulu, ia tidak akan ngekos di Indekos Sazanna ini.
Indekos Sazanna adalah sebuah Indekos mewah milik Sazanna Kama Andira atau biasa dipanggil Bunda Sazanna—seorang mantan pramugari dengan gaya nyentrik yang hobi bersosialisasi dan suaminya Herdianto Marwono yang merupakan seorang dokter Bedah Anak. Meskipun dikatakan mewah, kamar sewa di indekos ini sesungguhnya tidak se-mewah yang dibayangkan. Rumah milik pasangan suami-istri itu memang cukup megah, dengan halaman depan dan belakang serta kolam renang. Belum lagi desainnya serta furniture di dalamnya yang sangat berkelas. Namun, untuk yang disewakan, kamarnya hanya kamar standar yang berukuran kurang lebih 3 x 3 meter dengan tempat tidur, lemari, meja belajar, dan kamar mandi dalam. Listrik tidak termasuk.
Selain Kamadev Zayya Albirru atau lebih dikenal dengan nama Dev, indekos ini juga dihuni oleh tiga pelajar SMA lainnya dengan keuangan pas-pasan, bahkan bisa dikatakan melarat. Ken Hotaru yang biasa dipanggil Hota, Zyandaru Putra Wijaya yang akrab dipanggil Zyan, dan satu lagi yang belum dimunculkan sejak tadi, Alano Roshan atau bisa dipanggil Alan. Alan dan Dev tinggal jauh dari orang tua. Ibu Alan tinggal di desa bersama kakek-neneknya, sedangkan orang tua Dev tinggal di lain kota karena urusan pekerjaan. Untuk Hota dan Zyan, mereka hanya berusaha lari dari takdir yang digariskan untuk mereka.
"Lagi pula, kipas angin kalian mana sih? Kenapa nggak ngadem aja pakai kipas angin di kamar?" Tanya Hota dengan kerutan di dahi.