Lee tidak menyangka akan pindah secepat ini. Ia pikir, saat orang tuanya berkata hendak mengirimnya tinggal dengan tantenya, itu hanya wacana semata dan dia bisa saja menolak. Namun, ternyata orang tuanya berkeras dan tidak menerima kata tidak. Semua sudah diatur, termasuk yang paling membuat Lee kesal: sekolah baru!
Orang tua dan tantenya mungkin menganggap lingkungan baru akan memperbaiki dirinya, tapi kenyataannya tidak begitu, kan? Buktinya saat masih di Jakarta, orang tuanya memasukkan ia ke sekolah baru, masalah tetap saja terjadi. Lalu, perbedaan apa yang bisa terjadi di kota tantenya ini?
'Semestinya, ayah dan ibu mengembalikanku lagi pada homeschooling. Semuanya jauh lebih tentram saat aku tidak perlu keluar rumah,' batin Lee dalam taksi di perjalanannya menuju rumah Bunda Sazanna, adik dari ibunya.
"Mba, asalnya dari mana? Bukan orang Indonesia ya?" Laki-laki yang duduk di kursi pengemudi—laki-laki berkumis tebal dengan garis-garis usia di kedua sudut matanya—, memecah keheningan.
Lee tidak berbicara sepatah kata pun sejak ia masuk ke dalam taksi itu di bandara tadi. Ia bahkan hanya menunjukkan alamat yang ingin ditujunya melalui layar ponsel. Kali ini, ia lagi-lagi hanya diam tanpa menjawab pertanyaan tadi. Wajahnya dipalingkan ke arah jendela, berusaha menunjukkan dirinya sedang menikmati pemandangan yang terlihat samar di luar sana. Padahal, ia hanya ingin menghindari tatapan sopir taksi itu dari kaca spion depan.
'Kalau menebak aku bukan dari Indonesia, kenapa mengajakku bicara dengan bahasa Indonesia?' Gerutu Lee dalam hati.
Untung saja sopir taksi itu cepat menyerah. Tidak ada lagi pertanyaan yang dilontarkannya setelah sekali didiamkan. Hening kembali menyelimuti hingga mobil sedan itu menepi di depan pagar hitam sebuah rumah bergaya Eropa klasik dengan halaman yang luas. Tanpa repot basa-basi bahkan mengucapkan terima kasih, Lee menyerahkan sejumlah uang rupiah sesuai dengan yang tertera di argo dan dengan cepat turun untuk mengambil koper hitam besarnya di bagasi.
Setelah taksi yang ditumpanginya melesat pergi, ia mendekati pagar dan menekan password di kunci digital di samping pagar. Pagar hitam dengan tinggi dua kali lipat tubuhnya itu terbuka. Lee melangkah masuk dengan perut bergemuruh hebat. Bukan, bukan karena lapar. Ini biasa terjadi kalau ia sedang gugup. Memasang tameng wajah jutek memang keahliannya, tapi bukan berarti ia tidak pernah merasakan gejala-gejala nervous seperti yang orang lain biasa rasakan. Semua itu hanya ditutupinya dengan sangat baik saat bertemu orang lain.
Lee melangkah menyusuri batu alam yang disusun sedemikian rupa menjadi jalanan yang mengantarkannya ke pintu depan. Di pintu depan itu , kegalauannya membuncah. Masuk atau kembali ke rumahnya di Jakarta. Dua pilihan itu memenuhi kepalanya, salah satu menunggu untuk dipilih. Disaat pikirannya masih abu-abu dan berkabut, tiba-tiba ia merasakan sebuah lengan yang melingkar di pundaknya, diiringi suara berat khas laki-laki. Alarm otaknya langsung bekerja mengirim sinyal bahaya dan tanpa berpikir panjang, ia mengeluarkan jurus bela dirinya.
"Mwohaneungeoya saekki-ya!" Teriaknya kencang dan menggelegar, tidak memedulikan rintihan kesakitan dari cowok yang dibuatnya tersungkur.
Suara derap langkah langsung saja terdengar dari dalam rumah. Lebih dari satu dan terburu-buru. Tidak sampai sepuluh detik, pintu depan terbuka dan muncul wajah tantenya yang tampak panik.
"Bunda Sazanna ... " Sebut Lee lirih.
Namun, fokusnya segera teralihkan pada tiga cowok yang mengikuti tantenya itu dari belakang. Buru-buru, menegakkan tubuh lalu mundur beberapa langkah ke belakang, bersikap siaga.
"Dev, lo nggak mati kan?"
"Lo nggak apa-apa? Tulang lo nggak ada yang patah kan?"
"Dev, lo ngapain sih tiduran di sini? Buruan bangun!"
Tiga cowok itu bergantian melontarkan pertanyaan selagi berbondong-bondong membantu cowok yang tergeletak di tanah bangkit.
'Dev. Cowok gila yang berani menyentuhku itu namanya Dev.' Lee berusaha menggali ingatannya. 'Yang memakai kaus putih butut sepertinya Alan. Wajah yang seperti keluar dari dorama yang dulu aku sering tonton sudah pasti Hota. Lalu, satunya lagi tentu saja nama yang tersisa, Zyan.' Tantenya sudah memberi tahunya beberapa hal sebelum keberangkatannya, terutama memberikan nama beserta foto orang-orang yang tinggal di rumah itu. Katanya, supaya dia tidak begitu kaget saat datang. Namun, semestinya tantenya juga menjelaskan pada mereka kalau ia tidak suka disentuh seujung kuku pun oleh cowok. Dengan begitu, kejadian tadi mungkin bisa terelakkan.
Dev sudah berdiri lemah dipapah Zyan dan Hota di samping kiri kanannya.