Empat cowok indekos Sazanna duduk di sofa ruang tengah setelah menahan lapar seharian karena hanya makan sereal dan roti. Biasanya Bunda Sazanna akan menyiapkan mereka makan, terutama saat liburan sekolah seperti ini, tiga kali sehari. Namun, Bunda Sazanna pergi begitu saja dan entah sudah operan atau tidak dengan Lee, karena gadis itu tidak keluar kamar sejak kemarin malam hingga saat ini. Kamarnya diketuk pun tidak ada jawaban. Alhasil pagi dan siang ini mereka hanya makan dengan bahan seadanya. Untung saja menjelang pukul lima sore Lee keluar kamar dan mulai Bersiap-siap.
Dari tempat mereka duduk, mereka bisa melihat Lee yang sibuk menyiapkan makan malam. Gadis itu bergerak ke sana kemari dengan aura gelap dan rambut yang menjuntai menutupi wajah. "Gue yakin, nanti kita bakal nemuin helai rambut di salah satu masakan dia," komentar Alan tajam kemudian mendesah pasrah. Dev mengangguk setuju, sedangkan Zyan dan Hota tidak menanggapi.
"Tapi, sebenarnya setelah diperhatikan baik-baik, Lee kayaknya cantik loh," celetukan out of nowhere Dev membuat Alan menunjukkan ekspresi horror.
"Yang kayak gitu lo bilang cantik?" Wajah Alan menoleh bergantian. Ke Dev, lalu ke Lee, dan kembali lagi ke Dev. "Kulit pucat seperti orang yang tidak sehat, wajah tertutup sebagian, bibir kering kerontang seperti sedang dehidrasi, rambutnya meskipun lurus panjang tapi kentara tidak terawat. Udah kayak rambut yang dijemur matahari berhari-hari, warnanya coklat aneh dan bercabang."
Dev mengangkat bahu. "Ya itu karena dia nggak merawat diri aja. Coba deh kalau dia berubah dan merawat diri.” Bola mata hitam pekatnya menatap lurus ke arah gadis yang mereka bicarakan. “Istilahnya, dia itu udah punya base yang kuat. Liat aja, di balik poninya yang panjang itu, dia punya mata bundar dan hidung mancung. Belum lagi bibirnya meskipun kering tapi berbentuk hati dan berwarna pink alami. Wajahnya juga kecil dan rahang berbentuk ‘V’. Lehernya pun jenjang. Didukung dengan body yang proporsional, dia itu sebenarnya bisa masuk standar cantik orang korea, loh. Gue juga baru perhatiin bener-bener."
Alan masih mendesis ragu sembari menelengkan kepalanya. "But she looks so haggard."
"Udah, udah.” Hota buru-buru menghentikan pembicaraan tidak penting itu. “Kalian ngapain sih bicarain fisik orang lain kayak gitu. Nggak sopan tau. Lagi pula ya, Lan, setiap orang punya standar cantik yang berbeda. Nggak perlu diperdebatkan."
“I’m just saying...” Dev mengangkat bahu.
Sementara itu, Alan mencibir. "Iya deh iya, Hota dan mulut manisnya.” Kemudian ia berpindah ke bahu kursi di sisi kanan sofa. Ia membaringkan punggungnya di satu sisi sandaran tangan kursi tersebut dan menggantungkan kaki panjangnya di sisi lainnya. Setelah mendapatkan posisi nyaman, ia mengambil ponsel dari saku celana pendeknya dan mulai membuka aplikasi game.
"Daripada ngomongin itu, mending kita bicarain bagaimana caranya mengubah cewek itu jadi seperti yang Bunda Sazanna bilang." Zyan yang sejak tadi diam karena sibuk membaca buku Prof. Quraish Shihab mulai menengahi.
"Iya, itu gimana tuh? Jangankan untuk akrab dan ngubah dia, kayaknya ngajak dia bicara aja susah,” tambah Alan tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel. Kedua jempolnya sudah sibuk menari di atas layar.
“Kamu punya ide kan, Dev?” Hota mendesak Dev yang atas klaimnya sebagai penakluk tadi siang.
Dev menarik nafas panjang. Ide? Entahlah. Sebenanya tidak ada ide. Selama ini pesonanya bekerja seperti angin. Bertiup lembut menerpa hati para gadis, baik yang diincarnya maupun yang tidak. Kalau bukan terjerat dengan wajah tampannya, mereka pasti klepek-klepek dengan perlakuan manisnya. “Baiklah, aku akan coba mengajaknya bicara lagi.” Dev bangkit dan mengepalkan kedua tangan penuh semangat, seakan hendak pergi ke medan perang. “Kunci sukses adalah perjuangan!”
Akhirnya, Dev melangkah maju. Sesekali ia berbalik dalam perjalanannya dan mengangkat tangan yang terkepal untuk meminta dukungan dari teman-temannya. Hota dan Zyan berbaik hati membalas, ikut mengangkat tangan mereka sambil mengucapkan kata ‘semangat’ tanpa suara. Sedangkan Alan memilih untuk tidak acuh karena game-nya mulai seru.
Setelah empat langkah lebar melewati meja makan, Dev sampai di meja bar panjang yang membatasi dapur dan ruang makan, tempat dimana Lee sejak tadi menyiapkan bahan masakannya. Dev menumpukan siku di marmer yang menjadi lapisan meja itu. Ia bertopang dagu tepat di hadapan Lee yang berdiri di seberang. Cowok berbibir tipis ala Choi Siwon itu berbasa-basi dengan tersenyum lebar, tapi Lee bergeming. Ia pun buka suara.
"Lagi masak apa nih, Lee?" tanya Dev dengan suara termanisnya yang sering ia gunakan untuk menggombal. "Harum banget bau masakannya. Kayaknya enak nih. Cewek can ... "
Splash!
Belum selesai perkataanya, wajah Dev seketika basah oleh siraman air dari Lee. Tanpa rasa bersalah, cewek itu melanjutkan pekerjaannya, tidak menghiraukan Dev yang mengusap wajah mencoba sabar. "Gapapa, gapapa, rasanya seger kok, tau aja tadi aku nggak mandi sore. Ka ... "
"Pergi atau ayam ini akan melayang ke wajahmu dan kau akan masuk ke dalamnya seperti isian kalkun?!" Gertakan yang dilemparkan Lee dengan tatapan tajam dan suara rendah terdengar mengerikan, membuat nyali Dev ciut. Ia mundur teratur sambil mengangkat tangan, saat fokus Lee sudah kembali ke ayam yang dipotong, Dev berbalik cepat lalu berlari kencang kembali ke teman-temannya.
”Kenapa?”
”Bagaimana?”
Tanya Hota dan Zyan bersamaan waktu Dev duduk kembali di sofa dan langsung memeluk lutut dengan wajah menunduk. Dari tempat itu, mereka tidak bisa mendengar apa yang Lee katakan yang membuat Dev terbirit-birit, tapi mereka melihat dengan jelas air yang melayang ke wajah teman mereka itu tadi.
”Menurut kalian?” Bisik Dev lirih.
"Lo semua ngarepin apa sih, setelah liat muka dia disiram air kayak gitu? Mungkin sudah untung gelasnya nggak ikut dipecahin di kepala dia.” Alan mendecap-decap dengan sarkas.
"Mengerikan. Dia mengerikan," racau Dev dengan tubuh berayun seakan sudah melihat hantu dan sedang kerasukan. "Gue angkat tangan, deh!"
Mendengarnya, Alan teringat kembali pembicaraan mereka dengan Bunda Sazanna.