Dev, Hota, Alan, dan Zyan berpindah dari ruang tengah ke halaman belakang. Membentuk lingkaran dengan gaya yang sama, mereka meringkuk memeluk lutut. Di kepala mereka sama-sama masih terngiang wajah Lee saat mengamuk tadi. Mengerikan, seperti monster. Mereka bahkan sudah berhalusinasi melihat dua tanduk yang menancap di atas kepala cewek itu.
Dev berdecak melihat keadaan mereka yang sangat menyedihkan. Baru kali ini mereka sampai keluar ke halaman belakang karena merasa tidak nyaman di dalam rumah. Tangan Dev memukul nyamuk yang hinggap di lututnya. Memakai celana pendek berwarna hitam tentu sangat mengundang kawanan nyamuk betina. "This is so untouchable!" gerutunya.
Kepala Zyan terangkat, matanya menyipit. "You mean uncomfortable?"
"Ah ... Iya, itu. Sama aja, yang penting kan lo ngerti." Seperti biasa Dev hanya berkilah.
Mendengarnya, Zyan menggeleng takjub. Ia tidak menyangka temannya itu bisa tertukar dua kata yang sangat berbeda. "Gue bingung kenapa dia bisa lolos ujian masuk sekolah kita," ucap Zyan pada Hota dan Alan yang sibuk menggaruk tapi masih bisa tertawa karena kebodohan Dev.
"Anjir lo! Gue ini pinter, tau! Cuma gue sering lupa aja. Yang tadi itu juga lupa. Don't underclimate me!"
"Underestimate! Ataghfirullah! Underestimate!" Zyan membentuk dua jarinya seperti akan menusuk sepasang mata Dev yang malah mengerjap polos. "Lo nggak usah sok ngomong Bahasa Inggris deh. Kalau mau terdengar bego jangan secara sukarela gitu, lah," ledek Zyan sangat pedas.
Dev hanya bisa memberengut. Tangannya terangkat hendak memukul kepala Zyan, tapi ternyata gerakannya terbaca. Pukulannya malah di hadang. Sebelah tangannya ingin berlaku sama, tapi malah di hadang juga. Pada akhirnya mereka malah main silat tangan. Jauh lebih kekanak-kanakan dari anak kecil yang berebut mainan.
Lelah sendiri, Zyan dan Dev menghentikan aksinya. Sedetik kemudian, mereka kembali larut dalam pikiran masing-masing. Banyak nyamuk, lapar, takut masuk karena auranya Lee gelap.
"Arggghh! Nggak masuk akal!" Sekonyong-konyong, Dev meninju udara dengan geram. ”Apa masuk akal ada cewek yang mengamuk seperti itu cuma karena rambutnya mau diikat?” gerutunya yang kemudian malah bergidik ngeri mengingat rasa sakit yang diberikan Lee.
"Entahlah." Zyan mengangkat bahu. "Atau mungkin ini termasuk pelecehan ya, makanya dia mukulin lo? Soalnya lo ‘kan megang dia tanpa izin."
"Apaan sih. Orang gue cuma megang rambutnya doang kok. Masa iya pelecehan."
"Ya maap, gue kan bilangnya mungkin."
"Tapi, kalau disimpulkan, kayaknya Lee nggak suka disentuh-sentuh sembarangan gitu nggak sih?" Hota menimpali perdebatan Dev dan Zyan. "Lo juga bilang kan, Dev, kalau tadi siang itu Lee nendang pas lo nyapa dan rangkul dia."
"Yang tadi siang itu kalau kata gue sih refleks kaget kali ya?" Dev berargumen lain.
"Bisa jadi memang refleks kaget, tapi bisa juga karena lo sentuh dia. Buktinya yang pertama lo cuma nyamperin pakai kata-kata, dia cuma siram air. Nah, pas lo megang rambutnya, dia nyikut dan nendang lo."
"Iya juga sih ya." Dev mengangguk, membenarkan teori Hota.
"Mungkin dia dulu preman di sekolahnya di Korea, sampai galak begitu." Alan memberikan opininya dengan pandangan menerawang. "Lo dengar aja kata-katanya tadi."