Senin.
Hari pertama sekolah.
SMA Tirta Amarta, sekolah swasta yang tampakannya mirip Universitas Yonsei di Korea menurut Lee. Klasik, asri dan tampaknya akan melelahkan, itulah tanggapannya saat pertama kali melihat sekolah barunya. Halaman depan sekolah itu sangat luas, dibagi menjadi petakan taman dengan tanaman-tanaman rendah dan pohon yang tidak begitu besar yang diatur sedemikian rupa, jalan setapak, serta sebuah kolam air mancur sederhana di tengahnya. Gedungnya sendiri terbagi tiga. Jika berjalan lurus dari gerbang depan, ada satu gedung berwarna merah bata yang tampak seperti gedung utama, gedung dua lantai dengan bagian tengahnya—di bagian pintu masuk—lebih menjorok ke depan dengan pilar-pilar tinggi berwarna putih. Pada bagian tengah itu juga tampak mencuat kubah bercat putih dengan langkan yang mengelilinginya. Di sisi gedung utama, ada dua gedung lainnya berwarna ivory yang saling berhadapan. Gedung itu memanjang melebihi setengah lebar halaman depan. Bagian depan kedua gedung dihiasi dengan pohon—entah—apa menjulang yang berjarak satu meter tiap pohonnya. Di sisi yang paling dekat dengan gerbang, berjejer parkiran sepeda untuk murid yang menggunakan. Untuk mobil dan motor, parkirannya terpisah dari wilayah SMA Tirta Amarta ini, sehingga tidak mengganggu kesan ‘klasik’nya. Parkiran untuk mobil dan motor ada di samping sekolah, dibuat khusus di lokasi tanah yang berbeda.
Lee berjalan malas menyusuri jalan setapak. Padahal hari itu sangat cerah dengan bunga yang bermekaran di beberapa bagian taman bisa menyegarkan mata, tapi tidak membuat semangat gadis itu terdongkrak. Langkahnya masih saja berat dan hatinya tidak ikhlas. Satu tangannya memegang tali ransel sedangkan tangan satunya menenteng tote bag bertali pendek. “Argggh! Bunda Sazanna benar-benar menyebalkan!” gerutunya sambil mengayunkan kasar barang di tangannya itu.
Setelah lima menit berjalan dari gerbang depan, tanpa sadar dirinya sudah ada di depan pintu masuk gedung utama yang terbuka lebar. Ia tertegun sesaat melihat keadaan di dalam yang sudah mulai ramai siswa berlalu-lalang. Netranya melirik smartwatch abu-abu yang terpasang di pergelangan tangan kanannya. Jam tujuh tepat. Menurut info dari bunda Sazanna sekolahnya dimulai pukul 08.30. Artinya masih ada satu setengah jam lagi sampai bel masuk di sekolahnya berbunyi, tapi kenapa sekolahnya sudah tampak ramai? Gadis berkulit pucat itu mengembuskan nafas panjang. Sengaja ia datang jauh lebih cepat untuk menghindari orang-orang, tapi malah seperti ini jadinya.
Dengan langkah terseok-seok ia melewati pintu yang terbuka lebar. Perhatiannya langsung tersita oleh papan besar di samping kiri pintu masuk. Lee bergegas menghampiri papan itu. Kata 'Pengumuman' terpampang jelas di atasnya, ditempel menggunakan kertas karton berwarna perak. Matanya mulai bergerak mencari apa yang ia butuhkan. Sedikit berjinjit untuk melihat kertas yang digantung agak tinggi kemudian menelusur ke samping dan ke bawah. Namun, yang didapatkannya sejauh ini hanyalah poster-poster lomba, olimpiade, perekrutan ekstrakulikuler dan pengumuman tidak penting lainnya. Kepalanya kemudian kembali menengadah. Di atas papan pengumuman itu tergantung layar televisi yang menampilkan foto-foto. Lee menyipitkan mata ketika layar bergerak menapilkan foto lain, tertulis peringkat pertama dan terpampanglah foto yang dikenalinya. Alan dengan dagu terangkat terlihat angkuh. Bibir Lee baru saja bergerak hendak bereaksi terhadap apa yang dilihatnya, tapi seseorang tiba-tiba menarik sebelah tali tasnya hingga terlepas, meluncur dari bahunya, dan membuat tubuhnya berputar ke belakang.
Lee mengerjap lambat, larut dalam iris coklat tua yang kini sejajar dengan netranya dan hanya berjarak dua jengkal. Mata itu memiliki kelopak yang dalam, bulu mata yang panjang dan lentik, bahkan mengalahkan ... Deg!
Sedetik kemudian Lee tersadar dari hipnotis sesaatnya. Tangannya bergerak cepat hendak menampar wajah di hadapannya itu, tapi usahanya sia-sia karena pemilik wajah tadi lebih gesit lagi menegakkan tubuh dan langsung mundur beberapa langkah menghindari Lee.
Gadis itu bersungut memandangi Alan yang tersenyum miring penuh kemenangan dengan kedua tangan di dalam saku celana. "Mwo?*" tanya Lee dengan nada yang sangat tidak bersahabat.
"Mo? Mo apaan? Suara sapi?" canda Alan. Mimiknya menyebalkan.
”Ssi—*” desis Lee. Tidak menganggap yang didengarnya lucu sama sekali. “Jangan menyentuhku!” titahnya dengan penuh penekanan lalu membalik badan, kembali membelakangi cowok itu.
”Gue nggak sentuh lo. Gue cuma narik tas,” Alan membenarkan diri yang sontak dibalas Lee dengan dengkusan. “Lagian, lo ngapain di situ? Cari pembagian kelas?”
Tanpa menjawab, Lee menolehkan kepala, melirik Alan dari balik bahunya. Memang benar ia sedang mencari pembagian kelas. Ia tidak tau dirinya ditempatkan di kelas mana. Seingatnya saat sekolah di Korea dulu, pembagian kelas akan diumumkan melalui website sekolah atau ditempelkan di papan pengumuman sekolah, tapi ia belum bisa mengeceknya di website sekolah karena membutuhkan nomor induk, password, dan sebagainya untuk membuat akun. Sedangkan di papan pengumuman di hadapannya ini, ia tidak bisa menemukannya. Ia baru saja hendak mencari letak ruang guru saat Alan menarik tasnya.
Lee mendesah kasar saat kembali menyadari betapa buta arahnya ia pagi ini. Bunda Sazanna hanya meletakkan seragam, perlengkapan sekolah, dan buku-buku di atas meja ruang kerja Om Herdi. Hanya itu. Sejak menemukan barang-barang itu kemarin hingga pagi tadi, sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi bunda Sazanna, tapi tantenya itu tidak pernah mengangkat panggilannya. Benar-benar tidak bertanggung jawab.
”Lo nggak bakal nemu di papan pengumuman,” suara Alan membuyarkan lamunan Lee. “Pembagian kelas hanya dibagikan melalui website sekolah. Lo sekelas sama gue. Kemarin malam baru ada info dari wali kelas kita. Gue mau kasih tau lo tadi pagi, tapi keburu lo nggak ada.”
Lee memutar badan dan mengernyit. Baru saja ia akan bertanya, ponsel di saku celananya bergertar. Ia segera meraih ponsel itu dan mengecek pesan yang masuk. Dari bunda Sazanna. ‘Bagaimana hari pertama sekolahnya, sayang? Sudah tahu kamu kelas berapa belum? Kalau belum, coba tanya sama salah satu teman kamu di kos-an ya. Minta bantuan mereka. Try to be nice. Try to get along. Saranghae, nae yeppeun gongju.*’
”Jjajeungna*!” Lee menggerutu kesal setelah membaca pesan itu. Lalu, ia mendongak dan memandang Alan sengit. “Kelas berapa?” tanya Lee akhirnya dengan nada ketus.
”XI-1—Woy, lo mau kemana?” teriak Alan saat melihat orang yang langsung saja berlalu pergi setelah medapatkan info darinya. Cowok itu melangkah lebar dan memblokade jalan Lee dengan berdiri di hadapannya.
”Kenapa lagi?” Lee ingin cowok itu segera menghilang dari pandangannya. Kenapa dia sudah bertindak sok dekat padahal mereka baru kenal kemarin.
”Lo harus ikut gue.”