Gemuruh dari siswa-siswa yang berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara tidak sedikitpun mereda. Bahkan setelah selesainya upacara, suara dari siswa-siswa semakin terdengar nyaring. Tahun ini, tahun pertama aku masuk SMA. Aku sebenarnya sangat semangat karena punya banyak teman baru sekaligus ingin membuktikan perkataan orang-orang, kalau masa SMA adalah masa paling indah dan tentunya masa-masa dimana kenangan itu sulit untuk di lupakan sepanjang hidupmu.
Orang-orang memanggil aku, “Tara!” teriak seseorang dari jauh. Suaranya melengking membuatku menutup kupingku lalu mengarahkan pandanganku ke asal suara itu.
Nah itu namaku, Altara Zannasea, dipanggil Tara sama semua orang yang kenal aku. Dan yang barusan memanggil aku adalah sahabatku, Nayata Rimania. Kalau ada maunya, aku panggil dia Naya, sedangkan kalau aku lagi pengen buat dia kesal, aku panggil dia Yayat. Nayata punya suara yang cukup melengking yang mungkin aja bikin semua orang yang kalau dengar dia bakalan kesakitan telinga. Untung telingaku udah kebal. Dan baru saja suaranya membuat beberapa orang yang mendengarnya melihat ke arahku.
Dia adalah sahabatku dan pertemuan pertama kami waktu SMP. Awalnya anaknya pendiam, setelah kenal nyatanya tidak. Namun aku tidak menyesal sudah menjadikan dia sahabatku, meskipun telingaku harus kebal terhadap suaranya yang melengking. Meski kadang suaranya itu membuat telingaku sakit, namun aku masih tetap setia bersahabat dengannya sampai kami menginjakkan kaki di SMA walaupun persahabatan kami juga di hiasi pertengkaran-pertengkaran.
“Kemana aja?” tanyanya merangkul leherku.
“Suaramu bisa santai nggak sih? Orang-orang pada liatin aku,” protesku. “Habis dari perpus balikin buku, napa?”
Kami berdua berjalan di lorong menuju kelas yang lumayan rame dengan siswa-siswa yang lain yang sedang duduk.
“Tau nggak? Semalam aku jadian,” akunya malu-malu.
Aku terkejut dan langsung menatapnya. Nayata melepaskan rangkulannya.
“Seriusan? Sama? Kok nggak cerita-cerita kalau lagi dekat sama seseorang?” tuduhku dengan tatapan serius.
“Dasar sahabat posesif!”
“Heh beneran nih!”
“Iya iya, makanya ke kelas yuk, biar aku ceritain.” Nayata merangkulku kembali dan kali ini kami berjalan agak cepat menuju kelas.
“Siapa? Siapa orangnya? Gila... baru beberapa bulan ni, udah ada aja,” aku masih terkejut saat kami berdua duduk bersampingan.
“Lebih parah kamu lah, baru beberapa bulan udah pacaran sama kakak kelas,” sindirnya dengan wajah pura-pura kesal. Aku cekikikan. “Teman seangkatan kita juga kok, kelas terakhir,” jawabnya sambil senyum-senyum. Rona merah seketika muncul di pipinya.
“Siapa?”
“Ada.”
“Ya aku juga tahu ada orangnya Yat,” kataku lagi dengan tidak sabaran.
“Tuhkan, panggil aku Yat, ah malas ah!” Nayata lalu pura-pura buang muka.
“Ih gitu aja marah, iya iya,” ucapku lagi dengan senyum-senyum sambil menarik tangannya pelan. “Iya maafin ya Nayata cantik banget dah, jangan gitu. Cantik kok cantik,” bujukku lagi.
Ia pun berbalik seketika lalu kembali tersenyum.
“Namanya Adinata Surya, di panggil Adi,” lagi-lagi ia menjawab dengan wajah merona.
Nayata lalu menceritakan bagaimana ia bisa berpacaran dengan seseorang yang bernama Adi itu. Aku cukup terkejut dan beberapa kali terus bertanya, aku pernah liat orangnya Nay? di sela-sela dia bercerita tentang Adi itu. Dengan wajah merona dan selalu tersenyum lebar, Nayata penuh semangat bercerita tentang pacar barunya itu, bel istirahat berbunyi dan berarti cerita kami terpaksa selesai karena tidak berapa lama, guru mulai masuk ke kelas.
***
“Mau ya Ra, sekali ni aja. Beneran deh, aku malu ketemu dia sendirian,” bujuk Nayata sedari tadi sambil memegang-megang tanganku.
“Nay, kenapa mesti malu? Pacarmu kan, bukan tukang tagih hutang kan?” tanyaku lagi sambil duduk di depan perpustakaan karena Nayata sedari tadi menahanku untuk pulang, padahal harini kelas kami pulang lebih cepat.
“Ya nggak gitu. Cuma malu aja. Kamu bisa ajak Dana kok, kebetulan si Dana kenal tuh sama Adi,” kata Nayata.
“Oh ya? Kok bisa?” tanyaku lagi. Nayata mengangguk.
“Nggak tau kenal darimana, aku cuma bilang kalau temanku pacaran sama Dana, terus si Adi langsung bilang kalau dia kenal sama Dana. Yaudah ajakin Dana ya?”
“Kalau dia mau, dia kan sibuk,” timpalku lagi. “Yaudah pergi sendiri aja udah, berduaan, ya kan? Emangnya Adi nya nggak bakalan marah kalau kamu bawa aku?” balasku lagi.
“NGGAK!” jawab Nayata cepat.
“Ah kamu mah, udah nggak usah pakai malu-maluan. Emangnya kamu masih ada malu?” tanyaku lagi sedikit menggodanya.
“Yah Ra, gitu amat. Namanya juga baru jadian. Malu, temanin kali ini aja, ya?” Wajah Nayata memelas sambil terus memohon untuk aku mau.
“Ah yaudah,” kataku akhirnya menyadari bahwa aku tidak akan menang dalam perdebatan ini, “Jam berapa?” tanyaku dengan malas.
“Nah gitu dong!” wajah Nayata tampak langsung sumringah. “Jam dua siang aja biar pulangnya nggak kemalaman, oke?” timpalnya lagi.
Aku mengangguk pelan. Pernyataanku yang mengiyakan ajakan Nayata langsung ku sesali dalam sesaat. Nayata mengajakku untuk menemaninya karena harini dia akan menemui pacarnya yang bernama Adi itu. Lalu aku? Walaupun aku bisa mencoba untuk mengajak Dana. Aku lalu mengeluarkan ponselku dan mencari nama Dana dan mengetik sms.
Hi. Pulang sekolah ada kegiatan?
Maaf ya sms di jam belajar.
Tak berapa lama ponselku bergetar. Ada balasan dari Dana.
Hi juga. Iya, ada kegiatan OSIS. Kenapa?
Sudah kuduga, jawabku dalam hati.
Gapapa, si Naya ngajak nonton bareng. Kalau kamu bisa ikut, aku mau ngajakin kamu, karena si Naya bareng pacarnya.
Aku menyimpan ponselku di dalam tas, sembari menebak-nebak, aku pasti akan menjadi obat nyamuk nantinya. Kenapa tidak terpikirkan olehku tadi. Nayata pun langsung bergegas pergi sedari tadi setelah aku mengatakan iya karena ia harus menjemput adiknya. Bel pulang sekolah berbunyi, dan aku buru-buru segera bangkit dan menuju motor yang terparkir di dekat lapangan sebelum mengantri di gerbang sekolah untuk keluar.
Sesampainya dirumah, rumah sangat sepi, karena Mama dan Papaku berada di luar kota. Hanya ada seorang mbak yang bantu-bantu dirumah. Aku anak tunggal, jadi wajar saja dirumah sangat sepi. Aku berjalan menuju kamar dan membaringkan diri di kasurku dengan masih memakai seragam, lalu merogoh-rogoh isi tasku mencari ponselku. Ada sebuah sms dari Dana.
Maaf ya. Hari ini aku nggak bisa. Mungkin di lain waktu ya kita pergi.
Sebenarnya, aku tidak terlalu sedih, karena memang Dana sibuk dengan kegiatannya sebagai anggota OSIS di sekolah. Jadi aku sudah bisa menduga, namun aku tadi iseng-iseng berhadiah siapa tau dia ada waktu luang. Aku sudah berpacaran dengannya beberapa bulan, bertemu dengannya waktu MOS masuk SMA saat ia menjadi kakak pembimbing di kelasku dan akhirnya kami jadi dekat dan berpacaran.
Sebenarnya aku sudah tahu Dana nggak akan bisa, apalagi barusan aku ajak dia secara dadakan, semakin kemungkinannya kecil dan sekarang aku menyesali kenapa aku mengiyakan ajakan Nayata.
Aku mencari kontak Nayata di ponselku. Menelponnya dan di dering ketiga, ia mengangkat.
“Dana nggak bisa ikut. Jadinya aku nggak usah ikut ya?” tanyaku langsung pada intinya. Bahkan aku belum mengucapkan salam.
“Yah jangan gitu dong,” ucapnya dengan nada sedih. “Cari yang lain yang bisa temanin kamu deh, kan banyak tuh,” sarannya lagi yang dia ucapkan sambil tertawa.
“Nggak berani aku kalau jalan,” aku tertawa terbahak-bahak.
“Ah cemen! Gitu aja, bukannya udah ahli?”
“Emangnya aku cewek apaan? Gila,” aku masih tertawa.
“Terserah kamu mau ajak siapa nanti, yang jelas kamu bakalan aku jemput entar,” Nayata lalu mengakhiri telepon dengan sepihak.
Sialan, aku ajak siapa, kataku dalam hati dengan kesal.
***
“Nggak bawa siapa-siapa?” goda Nayata saat ia berada di depan rumahku menjemputku.
Aku memasang wajah tak tertarik dengan godaannya. Aku langsung duduk di belakangnya dan memakai helmku.
“Mana si Adi?” tanyaku padanya, mengalihkan topik sebelumnya.
“Entar dianya nyusul. Beneran kamu nggak bawa siapa-siapa?” Nayata bertanya lagi saat ia mulai mengegas motornya.
“Nggak dong, kan nggak mungkin. Gila. Cari mati.”