The Billionaire's Pet

Chacha Prima
Chapter #2

Prolog

Musim Panas

New York, 13 Agustus

21.30 p.m.

Lampu temaran dan suara musik yang menyentak - nyentak membaur menjadi satu di antara lautan manusia yang sedang meliuk - liukkan tubuh mereka dalam club. Menabrak indra pendengaranku sekaligus indra pengelihatanku sebelum memindahkan pandangan pada bartender berkuncir yang meletakkan segelas Margarita di atas meja bar yang tinggi. Tepat di depanku.

“Aaarrrggghhh... Akhirnya aku bebas!” pekikku sembari meraih gelas tinggi terebut.

“Kau yakin bebas malam ini Ivy?”

Aku memutar bola mata sekilas untuk menatap sahabatku bernama Maura Langston sambil menyesap minuman ini untuk membasahi tenggorokanku yang kering.

“Tentu saja, mari kita berpesta malam ini! Uh oh! Aku akan mencari pria tampan!” Aku memekik lagi dan mengangkat gelas Margaritaku tinggi - tinggi, memberi isyarat agar Maura Langston mengikuti gerakanku.

Namun sebelum itu terlaksana, wanita pirang dengan wajah bagai boneka itu mencibir. “Kurasa tidak, lihatlah ponselmu. Anak anjingmu menelpon.”

Aku menurunkan gelas minumanku dan mengikuti petunjuk Maura Langston pada benda kecil kotak di atas meja yang sedang berkedap - kedip memamerkan existensinya yang tidak perlu. Reflek meloloskan satu napas berat yang panjang, aku memejamkan mata sejenak, sambil menimbang akan mengangkat benda yang masih berkedap - kedit tersebut atau tidak. Tapi suara Maura Langston sudah kembali terdengar.

“Angkat saja, siapa tahu dia membutuhkanmu untuk mengganti popoknya,” ejek Maura Langston dengan senyum jemawa. Sekarang gantian aku yang mencibir.

Aku tahu apa yang dia pikirkan tentang hal ini. Karena Maura Langston-lah yang paling paham bahwa aku ingin lepas dari orang yang sedang menelponku saat ini. Lepas dalam arti sebenarnya. Terutama lepas dari perasaan yang mencekikku. Perasaan yang bertepuk sebelah tangan kemudian kusimpan terlalu lama namun akhirnya aku tidak bisa mengatakan itu. Secara garis besar mempunyai perasaan itu seperti menyia - nyiakan hidupku untuk hal yang tidak perlu. Karena pria yang sedang menelponku sekarang sudah bertunangan dengan wanita lain. Menyedihkan bukan? Dan sialnya dia masih saja bergantung padaku.

“Aku tidak akan mengangkatnya!” ucapku tegas. Terlebih untuk diriku sendiri.

Kembali menyesap minuman keras dari gelasnya sendiri, Maura Langston menatapku dengan ragu. “Aku tidak yakin, coba kau lihat, sudah tiga kali anak anjingmu menelpon. Kau selalu pergi jika itu telpon darinya.”

“Tidak, kali ini tidak, aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak lagi menjadi induk anjing baginya. Kau tahu bukan dia sudah memiliki tunangan dan akan segera menikah? Kenapa dia harus merecokiku lagi? Bukankah tunangannya seharusnya bisa jadi induk baru baginya?!” terangku panjang kali lebar. Lagi - lagi untuk memperingatkan diriku sendiri agar tidak usah melibatkan perasaan lagi pada pria itu.

Maura Langston merubah wajahnya menjadi murung. “Apa sesusah itu melupakannya? Aku benar - benar tidak mengerti alasanmu menyukainya selain dia tampan dan isi dompetnya gendut. Selebihnya dia brengsek.”

Bukankah itu yang sebagaian besar wanita sukai dari seorang pria? Kebrengsekannya?

Aku mengendikkan bahu ringan, kembali menyesap Margarita dan sesekali mencuri pandang ke arah ponselku yang masih menampilkan photo dan nama pria itu pada layarnya.

Sebenarnya aku juga tidak mengerti kenapa menyukai pria sebrengsek dirinya. Awalnya kupikir dia sangat rapuh waktu itu sehingga aku sangat kasihan padanya dan meberinya uluran tangan, memberinya kebahagiaan. Namun setelah membuatnya tersenyum lagi, entah kenapa rasa kasihanku tidak pernah selesai. Rasa simpatiku semakin tinggi dan tahu - tahu aku sudah menjadikan pria itu nomor satu.

“Sepertinya dia tidak akan menyerah sebelum kau mengangkatnya, Ivy,” kata Maura Langston lagi.

“Terserah, aku tidak ingin peduli lagi, Maura.” Aku kembali menyesap margaritaku dan itu menjadikanku lebih baik. Semakin menjadi lebih baik lagi ketika pria brengsek itu sudah menyerah menelponku.

Ya, menyerahlah! Aku tidak akan mempedulilakmu lagi!

Untuk beberapa saat, aku mendapat kepercayaan diriku kembali jika aku bisa melupakan pria itu karena kata - kata yang baru saja kesuntikkan. Namun semua itu seakan sirna dan menguap begitu saja ketika nomor asing menelponku.

Lihat selengkapnya