Musim semi
New York, 20 Maret
12.00 a.m.
“Pesanan meja nomor empat!” teriak Alejandro Greeck penuh semangat, membawa senampan Duck Risotto, satu burger jumbo extra mozzarella cheese dan dua gelas Blue Moon. Berjalan dari meja pantry melewati pintu ganda dan menyerahkannya pada pelanggan meja nomor empat.
Sesaat kemudian salah satu pengunjung pada meja nomor tujuh mengangkat tangan. Alejandro Greeck segera berjalan ke meja tersebut untuk mencatat pesanan para gadis yang menatapnya penuh pujaan sebelum akhirnya mengarah ke tempatku. “Saatnya barista bekerja Sweet Pie, tolong buatkan pesanan untuk meja nomor tujuh,” ucapnya sambil mengedipkan salah satu mata kelabunya sebelum mengambur pergi.
“Kau pikir aku tidak bekerja, Alex?!” gerutuku dengan senyum tiada henti karena melihat aura cerianya yang bisa menular padaku. Tidak juga menghentikan aktivitas tanganku ketika mengambil expresso yang baru saja kubuat. Semenit kemudian menekan bell untuk memanggil pramusaji lain yang bertugas mengantar expresso ini. Pada menit yang lain meraih kertas menu yang di tempelkan Alejandro Greeck pada sebidang kotak kecil di atas meja.
Segelas Americano (double shot expresso) dan Capuccino (normal)
Aku membaca menu terbesebut dalam hati dengan posisi satu tangan memegang dagu. Setelahnya meletakkan kertas menu pada tempat tadi dan mulai menggulir biji kopi ke coffee grinder.
Begitulah kesibukan di Brewer’s Cup pada jam makan siang seperti ini. Cafe sederhana dengan menu makan siang dan kopi yang beberapa bulan lalu kudirikan bersama teman - teman kolegaku.
Selain aroma kopi yang enak akan tercium di seluruh penjuru cafe ketika kau pertama kali menginjakkan kaki masuk, tempatnya yang strategis karena berada di dekat Central Park Barat—tepatnya di Colombus Avenue—Alejandro Greeck juga merupakan salah satu penyebab ramainya cafe ini.
Kau mungkin sudah dapat menebaknya. Pria berkebangsaan Spanyol dengan kulit kecokelatan—mirip kulitku—dan tampang di atas rata - rata itu memang selalu menarik perhatian pelanggan, khususnya para gadis dan wanita. Dan kau juga pasti bisa menebak karena itulah kebanyakan pengunjung Brewer’ Cup adalah kaum hawa. Tapi jangan salah. Alejandro Greeck sama sekali tidak melulu mengandalkan tampang untuk menarik pelanggan. Dia juga sangat ahli dalam menangani mereka. Untuk itu para pengunjung yang sudah menjadi langganan Brewer’s Cup—baik pria mau pun wanita, baik remaja mau pun dewasa—kadang mencarinya hanya untuk sekedar meminta layanan pria berambut coklat tersebut.
Bukan berarti para pramusaji lain yang bekerja di sini tidak pandai melayani pelanggan, namun Alejandro Greeck adalah yang terbaik.
Ting
Aku menekan bell tanda kopi - kopiku sudah siap di sajikan. “Pesanan meja nomor tujuh, Alex!” seruku. Bersamaan dengan pramusaji lain yang telah menyetor menu kopinya padaku lagi.
Detik berikutnya—lagi - lagi pria dengan apron coklat kombinasi krem—sama seperti apron yang kukenakan—berjalan ke mejaku dengan penuh semangat walau sedikit kualahan. “Terima kasih Sweet Pie,” katanya di tengah kebisingan suara coffee grinder kemudian pergi ke meja nomor tujuh.
“Kalian manis sekali,” sahut Maura Langston setelah meja counter-nya yang berada beberapa jengkal dari meja mesin - mesin kopiku, sudah sepi. Saat kulirik, dia sedang menyandarkan tubuh mungilnya pada dinding belakangnya sambil melipat tangan ke dada.
Sebelum aku menanggapi wanita cantik itu, dentingan lonceng yang tergantung di atas pintu pertanda ada pelanggan masuk lebih dulu menginterupsi. Aku melirik sekilas dan tersenyum karena tahu siapa yang datang. Namun mencoba mengabaikannya dan berkutat dengan porta filter yang sudah terisi kopi halus di hadapanku untuk membuat pesanan pelanggan lain.
“Ivy, sugar daddy Axon datang...”
“Aku bisa mendengarmu, Maura!” pekik Axon Benelli. Wajah pria itu tampak kusut. Seperti kurang bersemangat hari ini.
“Kuras dompetnya, Maura!” sahut Alejandro Greeck yang kebetulan melewati meja - meja kami sebelum manghilang ke dapur yang sibuk.
Menghiraukan seruan Alejandro Greeck, Axon Benelli bicara sambil lalu. “Ngomong - ngomong, aku ingin bicara dengan Ivy,” ungkapnya dengan nada harap - harap cemas yang kemudian berniat ke meja kopiku namun di hentikan oleh Maura Langston.
“No, no, kau harus beli sesuatu dulu sebelum bicara dengannya.”
“Astaga, merepotkan saja,” gerutu Axon Benelli yang kini terpaksa berhenti di depan meja counter dan dengan polosnya menuruti candaan Maura Langston. “Aku pesan kopi seperti biasa.”
“Oke, semuanya sepuluh dollar Mr. Benelli,” ucap Maura Langston formal layaknya bicara pada pelanggan sungguhan yang sudah dia hafal pesanannya.
Sebenarnya yang berjasa besar terhadap kemajuan Brewers’s Cup adalah Axon Benelli karena investasinya. Investasi yang kumaksud di sini adalah investasi dalam arti sebenarnya. Seperti menanam modal saham. Bukan karena tiap detik dia mengunjungi cafe ini ketika bingung mengahabiskan penghasilan jutaan dollarnya walau sedang menjadi pengangguran. Dan Maura Langston mau pun Alejandro Greeck selalu menguras dompetnya. Jadi dapat di simpulkan bahwa Axon Benelli juga termasuk salah satu pendiri cafe ini. Namun lebih sebagai investor sungguhan.
Jangan heran karena pria manja itu adalah pewaris tunggal Benelli Corp. Jadi jika dia tidak bekerja selama beberapa bulan seperti sekarang—dan menghambur - hamburkan uang sesuka hatinya untuk hal sepele sekali pun—tidak akan membuatnya bangkrut.
“Yang benar saja Maura!” Aku memekik, ketika melirik mereka dengan ekor mataku dan menemukan Axon Benelli mengeluarkan satu lembar pecahan uang sepuluh dollar dari dompet gendutnya.
“Hehe bercanda, kenapa kau polos sekali Axon?!” tukas Maura Langston yang kemudian menyerahkan uang itu kembali pada pemilik, namun Axon Benelli malah mendorong uluran tangannya.